ting!
Khansa yang sedang menonton drakor di televisinya, sontak langsung menoleh ke arah ponselnya yang berbunyi. Khansa mem-pause drakornya dan meraih poselnya yang ada di nakas dekat kasur. Terdapat pesan masuk dari Darrel! Khansa memutar kedua bola matanya malas.
Dia lagi, dia lagi.
Darrel : Khansa?
Darrel : Udah makan, kan?
Darrel : Gue gak mau maag lo kambuh
Darrel : Soalnya, kalo lo sakit ngerepotin orang
Darrel : Sa?
Darrel : Dibaca doang gak dibales?
Darrel : Jangan sampai lo lupa waktu gara-gara nonton drakor
Khansa tersentak ketika membaca pesan terakhir dari Darrel. Kok tau?
Khansa : Iya. Gue udah makan daritadi
Darrel : Nah, bales dong. Biar gue gak khawatir
Khansa menahan bibirnya untuk tak terbentuk menjadi sebuah senyuman. Terkadang perlakuan posesif Darrel membuatnya baper. Tetapi, Khansa selalu menyadarkan dirinya agar tak mudah baper pada mantannya sendiri.
Ia meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula yaitu di atas nakas. Lalu kembali melanjutkan menonton drakornya di televisi.
Baru beberapa menit yang lalu Khansa mendapat pesan dari Darrel, mantannya. Tetapi, kini ponsel Khansa kembali bergetar menandakan ada seseorang yang meneleponnya.
Khansa pun kembali melakukan hal yang sama seperti tadi. Mem-pause drakornya sejenak, kemudian meraih ponselnya yang ada di nakas. Beberapa detik setelahnya, ia memutar kedua bola matanya lagi ketika melihat siapa yang menelepon dirinya.
Jefran is calling...
Dengan malas-malas, Khansa menggeser tombol warna hijau yang ada disana. Ia bisa mendengar bahwa Jefran sedang berdeham di seberang sana.
"Kenapa, Jef?" Tanya Khansa, To The Point.
"Khansa? Lo ada di rumah, kan?"
"Iya di rumah kok, Jef. Kenapa?"
"Kalo gitu bukain pintu buat gue, dong. Gue udah di luar nih, panas."
Mata Khansa membulat. Ia berdiri dari duduknya, kemudian membuka gorden di jendela kamarnya. Mengintip di bawah. Ternyata benar, Jefran si badboy duduk di atas motornya, di depan rumahnya. Menyadari Jefran menatap ke atas, Khansa segera menutup kembali gorden-nya.
"Khansa? Lo gak ijinin gue masuk, ya?"
Bukannya menjawab, Khansa justru mematikan sambungannya dan langsung berlari menuruni tangga dengan langkah tergesa-gesa.
Sampai di pagar rumahnya, ia langsung disuguhkan pemandangan yang sangat memesona ini. Jefran si badboy yang tengah duduk di atas motornya dengan sikunya yang bertumpu di tangki motor miliknya. Dan juga, pantulan sinar matahari di belakang Jefran, membuat Khansa melongo, terpesona dan ingin pingsan saat itu juga.
"Kenapa? Terpesona kan, sama gue?" Tanya Jefran, pede. Eh, tapi bener.
Khansa menggelengkan kepalanya, sambil mengumpat dirinya di dalam hati. Seketika, Khansa tersentak ketika mendapati wajah Jefran yang babak belur. Sudut bibir berdarah, pipi seperti habis ditampar, bawah mata ada memar dan pelipisnya yang berdarah.
Khansa bergidik ngilu ketika melihat Jefran. "Kenapa, hm? Kok ngeliatinnya gitu? Masih terpesona ya, sama kegantengan gue?"
Khansa mencebikkan bibir bodo amat. Bahkan, disaat wajahnya yang sudah babak belur begini, Jefran tetap saja sangat pede.
Perlahan, tangan Khansa mengusap-usap pipi Jefran yang memar karena tamparan. Terlihat jelas bekas tangan yang ada disana.
Jefran tersenyum melihat Khansa yang mengelus pipinya itu. Ia kemudian turun dari motornya dan tangannya yang terangkat untuk memegang tangan Khansa yang masih bertengger di pipinya.
"Lo abis berantem lagi ya, Jef?" Tanya Khansa, menatap lekat manik mata Jefran.
Jefran menahan untuk tak berteriak saat itu juga. "Enggak kok. Kan lo ngelarang gue buat berantem. Gak mungkin lah, gue ngingkarin janji gue ke lo."
"Terus ini kenapa? Kok memar gini? Di tampar siapa, sih? Bilang sama gue."
Jefran semakin melebarkan senyumnya. "Di tampar sama Papah," jawab Jefran tanpa dosa dan santai.
"Kok bisa sih, Papa lo nampar sama anaknya sendiri?" Tanya Khansa dengan nada rendah.
"Lo gak ada niatan ngajak gue masuk ke rumah gitu?" Tanya Jefran, mengalihkan pembicaraan. Ia paling malas ketika membahas tentang Papanya itu.
Khansa mengangguk, lalu mencekal tangan Jefran untuk mengajaknya masuk ke dalam, Jefran sedikit tertegun ketika tangan Khansa mencekal pergelangan tangannya. Khansa juga menyuruh pak Satpam rumahnya agar memasukkan motor besar milik Jefran ke pekarangan rumah Khansa.
"Wuahhh gue udah kesini terus padahal, tapi kok masih terpesona sih gue sama rumah ini?? Gede pisan!" Teriak Jefran seperti biasa ketika memasuki rumah besar milik Khansa.
"Udah gak usah lebay, lo duduk aja di sofa sana. Gue ngambil P3K bentar," titah Khansa yang diangguki oleh Jefran.
Setelah mengambil kotak P3K-nya, Khansa segera berjalan menuju Jefran duduk. Ia pun duduk di sebelah Jefran sambil membuka kotaknya, mengeluarkan kapas serta alkohol.
Jefran meringis ketika obat itu bersentuhan langsung dengan luka-lukanya. Khansa menatap Jefran khawatir, "sakit banget ya?"
Jefran menaikkan sudut bibirnya, lalu meringis dan mengaduh, membuat Khansa yang sedang mengoles dibuat menjadi lebih lembut lagi. "Khansa, sakittt. Gue... gak kuat." Jefran maju lebih dekat lagi ke Khansa.
"Bentar lagi selesai. Sabar, ya?"
"Gak bisa, Khansaaa... sakit," ujar Jefran dibuat-buat sambil melingkarkan tangannya di leher Khansa.
Khansa yang menyadari itu, sedikit terkejut dan melirik sekilas tangan putih yang melingkar di lehernya. Setelah itu, ia berlagak tak perduli dan kembali mengobati luka-lukanya Jefran lainnya.
Setelah selesai, Khansa segera ingin melepaskan diri dari Jefran, tetapi tangan Jefran yang melingkar di lehernya menjadi semakin kuat dan tak membiarkan Khansa pergi kemana-mana.
"Jefrannn, minggir. Mau beresin ini," titah Khansa yang tak dipedulikan oleh Jefran.
Malahan, Jefran mendekatkan hidungnya ke hidung Khansa dan menggeseknya lembut.
"Thank you, udah ngobatin luka-luka gue, Khansa. Bahkan, nyokap gue gak perduli sama luka-luka yang dibuat Bokap gue ini." Khansa mengangguk.
"Lo mau hadiah, gak?" Tawar Jefran, yang dibalas gelengan cepat oleh Khansa
"Ck, mau ya? Gue maksa nih," ujar Jefran sambil mengerucutkan bibirnya sebal. Karena jarak mereka yang cukup dekat, hampir saja bibir Jefran bersentuhan langsung dengan bibir milik Khansa.
"Jefran, lo gak boleh m***m di rumah gue, ya!" Peringat Khansa dengan mata tajamnya.
"Enggak kok, Sayang. Gue kesini niatnya mau ngasih itu donat buat lo terus pulang," kata Jefran sambil menunjuk donat yang ada di meja.
"Ya udah, pulang gih."
"Ngusir calon imam nih ceritanya?" Jefran semakin mendekatkan diri.
"Jefran..." cicit Khansa pelan.
"Apa, hm? Gue juga mau ngingetin lo, supaya makan, mandi, sholat, jangan lupa ngerjain pr, jangan begadang dan besok sekolah gue jemput."
"Ya Lewat chat kan bisa."
"Gak bisa. Gue maunya kesini. Ngeliat princess gue yang paling cantik ini." Jefran mengelus pipi Khansa lembut sambil tersenyum semanis mungkin.
"Di rumah lo, gak ada siapa-siapa kan, princess?" Tanya Jefran membuat bulu kuduk Khansa meremang.
"Mau ngapain sih, Jef? Pulang ya."
"Gue mau kasih lo hadiah karena udah ngobatin gue." Detik itu juga, Jefran langsung mendekatkan bibir tebalnya ke pipi kanan Khansa.
Sontak, mata Khansa membulat. Yah... Ia pikir...
Di sebelah Khansa, Jefran malah nyengar-nyengir sendiri. "Itu hadiahnya. Gak mungkin lah, gue m***m sama lo. Cowok itu seharusnya ngejaga cewek, bukan ngerusak. Eh tapi gapapa, kan?" Tanya Jefran ketika menyadari bahwa daritadi Khansa hanya diam.
Khansa menarik bibirnya, membentuk sebuah senyum yang sangat manis. Hal itu, membuat jantung Jefran berdetak tak karuan dan jatuh cinta pada Khansa yang kedua kalinya lagi.
"Gak papa kok, Jefran. Makasih ya, hadiahnya."