Chapter 1

1199 Words
"Apakah kau ayahku?" Lagi, sebuah gelengan kepala menjadi sebuah jawaban atas pertanyaan yang sudah ribuan kali aku lontarkan. Dengan menyeret tubuh lunglaiku, aku kembali merunduk dan mengelus perutku yang menuntut untuk diisi. Suasana kota masih saja meriah padahal sudah tiga hari pasca festival diadakan. Festival untuk merayakan sepuluh tahun kedamaian. Satu dekade yang lalu, Raja Iblis berhasil dikalahkan oleh pahlawan. Memberikan rasa damai dan tenang bagi umat manusia. Namun, tidak untukku. Semenjak seminggu setelah ditinggal pergi oleh ibuku, aku hidup sendiri di jalanan. Tanpa ada rumah ataupun uang. Aku menjadi gelandangan di umur yang masih belia. "Apa yang kau lakukan di depan restoranku?!" Aku tersentak dengan bentakan seorang wanita tua. Ia membawa sebuah sendok sayur dan siap melayangkannya padaku. "Pergi sana! Kau membuat pelangganku takut! Dasar anak kotor!" imbuhnya lagi dengan nada yang lebih tinggi. Sadar diri, aku beringsut mundur dan cepat berlari meninggalkan restoran sekaligus bar itu. Akan tetapi, tak lama aku berhenti. Tenagaku lenyap. Makanan sisa yang aku temukan di pinggir jalan tiga hari yang lalu sudah tak bisa menopang tubuhku. Tenggorokanku kering, mulutku tak bisa lagi mengeluarkan air liur. "A ... Air, makanan ...." Tanpa sadar, aku mulai meracau. Dengan mata setengah terbuka, aku mencoba meraih halusinasiku. Aku mengikuti fatamorgana yang tercipta, hingga akhirnya, tubuh mungilku terjatuh. Beruntungnya, bukan tanah yang menangkapku. Sebuah air, air yang sangat banyak hingga membuat tubuhku berangsur tenggelam. Tunggu, aku tak bisa berenang! Ini bukan keberuntungan! "Hah!" Dengan kesadaran penuh, aku mengangkat kepalaku ke udara. Menghirup banyak oksigen yang dibutuhkan paru-paruku. Mata biruku meneliti ke bawah, posisi tubuhku terduduk dengan air yang hanya setinggi perutku. Ah! Air! Kedua mata itu langsung berbinar dan dengan sigap tanganku mengambil air dan meminumnya rakus. Aku tak peduli sekitarku lagi, aku hanya ingin minum. "Segarnya!" seruku tersenyum bahagia. Setidaknya, air ini bisa kugunakan untuk pengganjal rasa lapar. Setelah itu, aku mulai memperhatikan sekitar. Sebuah hutan mengelilingiku. Sudah sejauh ini aku berjalan rupanya. "Kalau nggak salah, kata Ibu, ini namanya Danau Vallhara," cicitku berbicara pada diri sendiri. Bicara soal Ibu, kejadian tadi membuatku ingat pada beliau. Wanita memiliki wajah yang masih muda serta warna mata yang sama denganku, biru muda. "Nak, sepertinya Ibu akan segera mendapatkan undangan dari Tuhan," cakap ibuku kala itu, saat keadaan masih baik-baik saja. "Undangan? Ibu akan berpesta di surga?" tanyaku polos sambil memegang erat tangan ibu yang semakin mengurus. Tubuhnya juga semakin lemah dari hari ke hari. Bahkan ia sudah tak bisa bangkit dari posisi tidurnya. Masih kuingat jelas senyum lembutnya kala itu. "Iya. Namun, kau tak bisa ikut." Tentu saja aku merengek. Aku ingin terus bersama ibu. Karena hanya ibu satu-satunya yang aku punya. Namun, beliau menggeleng. "Tidak, Nak. Kau harus tetap di sini. Kau ingin bertemu dengan ayah, bukan?" Aku mengangguk antusias. "Kalau begitu carilah. Aku yakin kalian akan segera bertemu," lanjut ibu sebelum mata birunya tak lagi terbuka. Angin malam menyadarkanku dari lamunan masa lalu. Tubuhku mengigil, ditambah bajuku yang basah kuyup. Segera, aku keluar dari danau itu dan berjalan kembali ke pemukiman. Meski aku tahu tak ada tempat tinggal untukku, setidaknya di sana lebih hangat daripada di hutan. "Dingin," lirihku menggosokkan tangan ke tubuhku. Nihil, usahaku menghangatkan badan sia-sia. Rasa dingin ini sudah menusuk ke dalam tulang. Brak. Ah, sial. Aku justru menabrak seseorang dan terjatuh. "Hei, bocah! Kalau jalan liat-liat dong! Bajuku jadi kotor, bukan! Memangnya kau bisa menggantinya?!" Sosok pria yang aku tabrak itu memarahiku. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arahku dengan tatapan mengejek. "Ma-maafkan aku," sesalku merunduk. Tubuhku gemetar, karena takut serta rasa dingin yang belum juga hilang. "Oh? Sepertinya dia cantik, Fred," Seseorang di sampingnya merendahkan tubuhnya. Tangannya yang tertutup sarung tangan menyentuh daguku dan mengangkatnya ke atas. Aku mulai melihat wajahnya. Tubuhnya sedikit gempal begitu pula dengan wajahnya. Ia memiliki rambut berwarna hitam sama seperti ibuku. "Apakah kau ayahku?" Pertanyaan polosku sontak membuat terkaget. "Apaan ini? Kau punya anak?" tanya lelaki bernama Fred tadi. Ia tertawa keras dan memukul punggung lelaki di depanku itu. "Mana ada! Pacar saja nggak punya. Bocah ini ngelantur!" elaknya sambil cemberut. Hal itu menjadi jawaban untuk pertanyaanku tadi. Jawaban yang kembali membuatku kecewa. "Tapi, Fred. Lihat matanya. Sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat." "Kau kenal ibuku?!" teriakku tanpa pikir panjang. Mataku berbinar, kembali terisi sebuah harapan. Fred menjatuhkan lututnya. Ikut menyesuaikan tinggi badanku. Tangannya menompang ke arah dagu, menatap serius ke wajahku. "Ibumu? Apa namanya Stella?" tanyanya. Aku mengangguk senang. Senyuman lebar yang sudah lama tak kukeluarkan. Melihat reaksiku, kedua lelaki itu kembali tertawa. Jauh lebih keras dibandingkan yang tadi. Aku hanya terdiam dan menunggu mereka selesai tertawa. "Bocah. Aku tahu siapa ayahmu," kata Fred dengan senyum misterius. "Sungguh?!" tanyaku tanpa peduli senyum seperti apa itu. "Ayahmu sudah mati sepuluh tahun yang lalu." Tubuhku membeku. Termasuk senyumanku. Aku seolah terkena sihir menjadi batu. "Dia dibunuh dan dimusnahkan. Keberadaannya sudah tidak di sini lagi. Bahkan, kematiannya justru dirayakan oleh semua orang setiap tahunnya. Kau tahu siapa?" tanya Fred tak memudarkan senyumannya. Aku terdiam. Otakku tak lagi berpikir apa pun. Aku membiarkan pria itu melanjutkan perkataannya. "Ayahmu adalah sang Raja Iblis. Ya, kau adalah anak dari Iblis keji itu. Dengan kata lain, kau bukan manusia." "Hah?" *** Lilin di sepanjang jalan mulai melakukan tugasnya. Membiarkan ujung sumbunya terbakar serta tubuhnya yang sedikit demi sedikit meleleh. Meski malam ini ada bulan purnama, sinarnya tak mampu membuat terang penjuru kota. Apa lagi kegiatan malam yang semakin ramai. Para orang dewasa mulai meramaikan jalan setapak itu sambil bercanda ria. Seluruh anak-anak telah terlelap dalam mimpinya. Kecuali aku. "Ayahmu adalah sang Raja Iblis. Ya, kau adalah anak dari Iblis keji itu. Dengan kata lain, kau bukan manusia." Melihatku yang berdiri dengan kaku, keduanya saling bertatapan lalu mulai berdiri. Samar-samar, kudengar Fred bergumam sesuatu, "Yah, kudengar rumornya begitu." Sayangnya, pendengaranku menuli. Binar kehidupan tak lagi terlihat di kedua mata biruku. Ujung baju koyakku masih meneteskan air. Namun, tubuhku tak goyah. "Nick, apa aku berlebihan?" Fred mulai menampakkan wajah khawatir. Pria gempal tadi tak acuh, dia justru menunjuk gedung di ujung jalan. Nick bilang di sana ada lah tempat barang gelap dijual. Mereka menerima perdagangan manusia, bahkan anak-anak sepertiku. "Kau tak mendengarkanku?" tanya Fred menyampirkan rambut cokelatnya yang panjangnya sebahu. Dengan wajah geramnya, dia kembali berlutut, dan menarik daguku ke atas. "Lihat matanya, Nick!" Nick memutar bola matanya malas. "Justru karena itu dia akan mahal, Fred! Kau tak mau kaya, apa? Jika dia benar anak Raja Iblis, pasti orang-orang di dunia itu akan membelinya dengan fantastis!" papar Nick tersenyum miring. Meski aku mengabaikan semua percakapannya, kedua mataku tak bisa lepas dari senyuman itu. Senyuman yang entah mengapa mengingatkanku pada sesuatu. "Namaku adalah Iiona Nafa Chiara. Ibuku adalah manusia setengah malaikat serta ayahku adalah Raja Iblis." Bersamaan dengan kalimat yang keluar dari mulutku dengan seenaknya, mata kananku tiba-tiba mengeluarkan darah. Cairan kental itu terus mengalir hingga warna mataku berubah warna sama dengannya. Ya, mataku menjadi heterochromia. Kedua pria tadi tergugu mendengar pernyataanku. Tangan kananku terangkat ke arah mereka dengan ibu jari dan jari telunjuk yang saling menempel. Tanpa kuketahui sebabnya, mata merahku menampilkan lingkaran sihir di sana.          "Morir," kataku singkat lalu menjentikkan jariku. Tanpa menunggu detik yang bergerak, kedua pria tadi menghilang. Hanya ada segumpal darah yang terbang ke arah berlawanan. Seperti mendapatkan serangan yang sangat cepat serta sangat kuat. Yang bahkan tak menyisakan tulang belulangnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD