2. Peeved!

1540 Words
"Astaga ..." "Hei ...." "What the f**k!" Darren mengumpat dengan suara berat nan nyaring. Pria McKenzie itu mengentakan dua tangannya di atas paha. Sangat kuat. "What the f**k'ing hell are you!!" Belum cukup mengumpat, kini Darren berteriak makin nyalang. Seorang gadis tengah tersungkur dengan menahan nyeri di lutut yang langsung bertabrakan dengan lantai. Kepalanya tak sanggup bergerak dan dia hanya menunduk. Memegang ujung dress-nya dengan tangan yang bergetar. Gadis itu tengah merutuki betapa ceroboh dirinya dua detik yang lalu. Semuanya terjadi begitu cepat dan semua itu disebabkan oleh kaki sialnya. Benar-benar sial. Entah bagaimana sampai Irish Bomb di tangannya bisa mendarat di kepala pria yang tengah duduk sambil menundukkan kepala. "HEI!" Dan kali ini pria itu berteriak. Gadis itu bisa merasakan jika mata pria di depannya tengah melotot padanya. "Maaf," gumam gadis itu. "Maaf?!" geram Darren. Dia mendecih dengan suara nyaring kemudian menggelengkan kepala. "Apa semua gadis hanya bisa berucap maaf ketika melakukan kesalahan?" Lanjutnya menggerutu. Seo Joon memundurkan tubuh. Ia menyikut lengan Jonathan sambil matanya terus menatap pria bermata biru yang tengah menyolot dengan tatapan mengerikan. "Sepertinya dia akan kambuh," bisik Seo Joon. Jonathan mendesah frustasi. Lagi-lagi dirinya yang harus memberanikan diri. Jonathan akhirnya berdiri. Sempat menepuk dua pahanya dengan kasar kemudian berdecak, akhirnya pria Indonesia itu mengambil langkah menghampiri gadis yang tengah tersungkur di depan kaki temannya. "Darren, dia tidak sengaja. Kulihat dia tergelincir." Jonathan berusaha menjelaskan situasi. "Tidak sengaja?" tandas Darren. Lagi-lagi pria itu terkekeh sinis setelah menyergah ucapan temannya. Darren tertawa sinis sambil terus menggelengkan kepala. "Kenapa kalimat sial itu sepertinya terlalu melekat dengan takdirku. Tidak sengaja," tekan Darren. Pria itu tak henti menggoyangkan kepala tanda tak percaya. Jonathan tidak ingin kembali menyahuti ucapan Darren. Pria Indonesia itu lebih memilih mengulurkan tangannya untuk membantu gadis yang seolah tak mampu lagi bergerak di atas lantai. "Berdirilah," ucap Jonathan. Tak ada jawaban dari sang gadis. Ia terlalu takut, juga malu. Jonathan menarik napas lalu membuangnya dengan cepat. Pria itu langsung menaruh kedua tangan di kedua sisi lengan sang gadis lalu mulai mengangkatnya pelan. Perlahan gadis itu mulai menarik diri, menyeimbangkan dengan tangan Jonathan yang membantunya berdiri. "Ahh ...." Sang gadis meringis saat merasakan nyeri yang hebat di pergelangan kaki kanannya. Ia sampai menggigit bibir dalamnya, menahan semua rasa sakit yang timbul bersamaan. "You okay?" tanya Jonathan. Ia memajukan wajahnya hendak melihat ekspresi gadis yang masih menunduk itu. Hanya anggukan kepala dari sang gadis. "Kenapa binatang seperti kalian harus hidup di antar-" "Tuan," sergah gadis itu. Naluri wanitanya menuntun gadis itu mengangkat kepala. Membuatnya berani bersuara sampai menatap iris biru di depannya. "Aku minta maaf karena kecerobohanku. Aku bersedia mengganti kerugian. Namun, aku tidak akan terima jika kau menyamakan aku dengan bin^tang." Darren mendecih sinis. Otaknya mulai berpikir tidak waras. Terlebih, mengapa gadis ini harus mengganggu imajinasinya barusan? Dia harus bertanggung jawab. "Ganti rugi, katamu?!" tandas Darren sambil memberikan tatapan nyalang. "Bahkan gaji bertahun-tahunmu tak sanggup membeli jas ini." Darren mengibaskan jasnya dengan kasar. "Bin^tang!" "Hei!" Kali ini gadis itu menaikkan suaranya. "Kubilang berhenti mengatakan itu!" kecamnya. Gadis itu melotot, sontak membuat Darren meradang. Dia berdiri dengan kasar dan menghampiri gadis di depannya. "Jaga suaramu!" geram Darren. Telunjuknya hampir menekan wajah gadis di depan. "Kau yang jaga ucapanmu!" Gadis itu tak mau kalah. Dia mengangkat pandang meraih manik berwarna biru itu. Sorot mata yang mengkilat dan siap menerkamnya seperti harimau lapar, tetapi tak serta merta membuat gadis itu gentar. Kemanusiannya sedang dipertaruhkan dan dia terlalu keras kepala untuk mengalah pada pria di depannya. Sementara masih di kursi bundar ini, di bagian lain dari perdebatan ini, seseorang tengah tersenyum. Senyum sinis, menggelitik dan dia terkikik saat otaknya kembali memberi ide yang akan membuat situasi setelah ini menjadi menarik. "Psst ...." Aaron Travis berusaha menarik perhatian Kim Seo Joon yang juga tengah termangu-mangu di tempat duduknya. Pria Korea itu sebenarnya bisa saja membela gadis di depannya. Gadis itu benar. Darren tak boleh menyamakan seorang manusia dengan bin^tang, itu hina. Namun, Kim Seo Joon adalah pria cerdas. Dia tahu situasi sudah cukup mencekam dan akan lebih merepotkan jika dia sampai terlibat masalah dengan Darren McKenzie. Kim Seo Joon lebih memihak pada sifat pengecutnya. Andai saja itu Aaron Travis, Seo Joon akan langsung menghantam rahangnya dengan kepalan tangan. 'Tapi dia Darren. Aku akan mati kalau sampai bersuara,' batin Seo Joon. "Psstt ...." Aaron masih gencar memanggil Seo Joon. Pria itu akhirnya menurunkan tatapannya. Kali ini menatap Aaron yang tengah meminta perhatian lebih. "Wae?" Dia bergumam dengan bahasanya. Aaron tidak menjawab. Hanya mengedikkan kepala yang menunjuk ke arah Darren dengan raut wajah yang memberikan senyuman licik. Tersirat rencana jahat di sana. Seo Joon merengut. Memanyunkan bibir sambil mengangkat setengah bahu kemudian memalingkan wajah. Menatap lantai dansa sambil memangku kaki akan jauh lebih baik ketimbang terlibat masalah dengan Darren. Itu sebabnya Seo Joon menyuruh Jonathan karena pria itu punya trik jitu untuk menjinakkan Darren. "Minta maaf padaku dan enyah dari sini!" Darren memperingatkan agar gadis di depannya tak perlu banyak berdebat. "Aku sudah minta maaf, Tuan, tapi untuk kecerobohanku. Aku tidak akan menuntut maaf darimu karena orang sepertimu sangat menjunjung tinggi arogansi dan ketamak-" PLAK "Hei, Darren!" Jonathan membelalakkan matanya. Dia tidak percaya akan melihat ini. Tangan Darren bergerak sangat cepat dan langsung mendarat di pipi gadis di depannya. Sangat kuat tamparan itu hingga membuat wajah gadis di samping Jonathan terlempar ke arahnya. "Bin*tang tetaplah bin*tang. Tidak ada yang akan berubah dari sifat para bina-" "Darren hentikan omongan itu, sialan!" hardik Jonathan. Dia langsung membalikkan tubuh gadis di sampingnya. Jonathan bisa merasakan bagaimana tubuh mungil itu tengah bergetar sambil tangannya tak mau lepas dari pipi kananya. Gadis itu bersembunyi lewat uraian rambut yang mendadak berantakan ketika Darren dengan gampang mengempaskan tangannya. "Jangan bela dia, Jo. Dia pantas mendapatkannya!" kecam Darren. Darahnya benar-benar mendidih. Semua gadis terlihat hina di matanya dan gadis di depannya ... entah mengapa Darren ingin sekali menghabisi gadis ini. "Darren, kau sangat tidak gentle." Aaron tiba-tiba bersuara. Di mana dia sedari tadi? Dia hanya jadi penonton, tapi yang dilakukan Darren barusan benar-benar keterlaluan. "Oh ya? Apakah kau juga gentle? Pecundang Travis?" Darren balik menyerang Aaron. Kali ini sorot mata biru yang kini menjadi gelap karena amarah, berpindah menatap tajam si pria Travis yang masih duduk memangku kaki. Jonathan mendesis sambil menggeleng frustasi. Dia mencoba untuk mengesampingkan Darren dan lebih mencemaskan gadis yang kini tengah terisak di sampingnya. "Ayo, kubantu kau untuk pergi." Jonathan memegang tubuh gadis itu dari samping. Dia mulai menuntun jalan gadis itu. "Mau kau bawa ke mana dia, hah?" Darren berteriak. Dia masih belum puas menyiksa gadis itu. Tidak. Bahkan Darren belum memulainya. Jantung pria itu masih berdegup kencang. Pembuluh darahnya seolah membesar dan instingnya masih menginginkan gadis itu untuk lebih mendapat perlakuan yang layak dia dapatkan karena telah berani mengusik seorang Darren McKenzie. "Bung ...." Seo Joon akhirnya bertindak. Entah apa yang mendorongnya untuk akhirnya mau berdiri dari tempat duduk. Mungkin karena sifat kejantanannya meronta melihat temannya menyakiti seorang gadis yang bahkan hanya melakukan kesalahan kecil. Kim Seo Joon menggeleng dengan raut wajah datar. "Jangan buang tenagamu untuk sesuatu yang tidak penting." Mendengar ucapan barusan, gadis yang hampir meninggalkan tempat perdebatan itu lantas membulatkan matanya yang masih tertutup rambut. Dia masih menunduk sebab mendadak telinganya pening karena tamparan tangan besar itu sejujurnya hampir membuatnya pingsan, akan tetapi kesadaran gadis itu masih menolongnya dan membuatnya bisa bertahan. Namun, perkataan pria barusan seolah menambah kehinaannya. Sudah dibilang binatang, masih juga ditampar dan sekarang, orang itu menyebut dia ... 'sesuatu yang tidak penting'? 'Mereka benar-benar tidak punya perasaan,' batin gadis itu. "Kau benar Joon." Darren kembali bersuara. Dia memutar wajah menatap punggung gadis yang masih melangkah pelan berusaha kabur dari kenyataan. "Makhluk seperti mereka memang tak pantas mendapat perhatian. Apalagi dari orang seperti kita." Kim Seo Joon mengangguk sambil menepuk pelan bahu Darren. Dalam hati, pria Korea itu sebenarnya tak sampai hati ingin berkata seperti itu, akan tetapi Kim Seo Joon tahu persis jika dia bersuara besar itu akan membuat Darren malah mengalihkan pukulan padanya. Menegur Darren dengan menasihatinya akan membuat pria itu merasa sedang digurui dan itu tidak bagus. Darren malah makin marah nantinya. Satu-satunya cara untuk mengendalikan emosi pria McKenzie itu adalah dengan menjadi seperti dirinya. Berpikir seperti Darren dan buktinya trik itu berhasil. Tak ada kalimat lagi yang keluar dari mulut Darren McKenzie walau matanya masih mengekori punggung gadis pelayan bar. "C'mon, sit down." Seo Joon menepuk-nepuk punggung Darren. Masih dengan tangan yang mengepal dan rahang yang mengeras, Darren akhirnya kembali membanting tubuh ke sofa. Darahnya masih mendidih. Dengan sorot mata mengerikan masih terus memantau dua orang yang sedang berjalan pelan menembus keramaian di depan. Sementara Aaron, dia malah terkekeh sinis. Terlebih saat dia melihat Seo Joon bernapas panjang dengan wajah pucat. "Jelas-jelas kau sangat takut Joonie." Aaron mencibir dengan nada pelan tak sampai terdengar di telinga Joon. "Baby, tolong ambilkan Irish Bomb di bar," bisik Aaron pada gadis di sampingnya. Gadis itu tersenyum lalu berdiri. Masih sempat Aaron meraih bokongnya dengan tangannya kemudian memajukan wajah dan berbisik dengan nada pelan, "jangan sampai kau tergelincir kakimu sendiri. Aku tidak ingin Darren juga memberikan tanda tangan di pipimu." Aaron menutup ucapannya dengan memasang seringaian. Gadis itu tersenyum samar. Ia menggeleng pelan. "I will be carefull, Baby," ucap gadis itu. Sebuah kecupan kilat di bibir dari Aaron sebelum akhirnya kakinya berdiri sempurna. _______
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD