ANTARA JANJI DAN PILIHAN

863 Words
Malam itu langit bersih, penuh bintang. Angin berhembus pelan, membawa aroma bunga melati dari halaman depan rumah keluarga Pramana. Di dalam, suasana terasa hangat. Karin sedang membantu ibunya menata piring di meja makan, sesekali menatap jam dinding dengan gelisah. “Tenang saja, Karin,” ujar Bu Retno lembut. “Mereka pasti datang sebentar lagi.” Karin mengangguk, mencoba tersenyum. Tapi hatinya tak tenang. Ini bukan sekadar makan malam biasa. Ini makan malam yang bisa jadi awal dari perubahan besar dalam hidupnya. **** Tak lama, suara mobil terdengar berhenti di depan rumah. Pak Budi membuka pintu dan menyambut dua tamu yang telah dinanti. “Selamat malam, Wijaya! Selamat datang!” ucap Pak Budi hangat sambil menjabat tangan sahabat lamanya. “Selamat malam, Budi,” balas Pak Wijaya dengan senyum ramah. Di sampingnya berdiri seorang pria muda dengan postur tegap dan raut wajah tenang namun datar. Pak Wijaya menepuk bahu putranya. “Ryan, ini sahabat lama Ayah. Namanya Budi Pramana.” Ryan mengangguk singkat, mencoba bersikap sopan. “Senang bertemu, Pak.” “Senang bertemu juga, Ryan,” jawab Pak Budi dengan ramah. “Ayahmu banyak bercerita tentangmu.” Ryan tidak menanggapi lebih jauh. Ia hanya mengangguk lagi, kemudian mengikuti ayahnya masuk ke ruang tamu. Suasana rumah terasa terlalu hangat dan terlalu damai untuknya—jauh dari kantor penuh marmer dan ruang rapat tanpa senyum. **** Di ruang tamu, Bu Retno menyambut mereka dengan senyuman lembut dan teh hangat. Ryan sempat bertemu pandang dengan Karin, yang sedang berdiri di samping ibunya. Makan malam pun berlangsung dengan percakapan ringan. Tentang masa muda Pak Budi dan Pak Wijaya, sedikit tentang toko bunga, dan kenangan lama yang membuat kedua sahabat itu tertawa kecil. Ryan tetap tenang dan formal, sesekali menyuap makanan, namun pikirannya seolah melayang entah ke mana. **** Setelah makan malam selesai, Pak Wijaya menatap Pak Budi dan Bu Retno dengan pandangan lebih serius. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi dan menarik napas panjang. “Budi, Retno... aku rasa ini waktu yang tepat.” Karin menegang. Pak Budi mengangguk. Bu Retno menggenggam tangan putrinya di bawah meja. Ryan melihat gelagat itu, mengangkat alis sedikit. “Apa yang tepat, Ayah?” Pak Wijaya menatap putranya. “Ryan, ada sesuatu yang ingin Ayah jelaskan. Dan Ayah harap kamu mendengarkan dulu sampai selesai.” Ryan hanya memandang ayahnya, ekspresinya tetap datar. “Dulu, ketika Ayah dan Pak Budi masih muda, kami membuat sebuah janji. Janji yang mungkin terlihat sederhana saat itu. Tapi berarti banyak bagi kami berdua. Jika kami sama-sama memiliki anak... dan jika waktunya memungkinkan... kami ingin menyatukan mereka.” Ryan menoleh pelan ke arah Karin, lalu kembali pada ayahnya. Wajahnya kini menegang. “Menyatukan?” ulangnya pelan. “Ayah maksud... menjodohkan?” “Kami lebih suka menyebutnya memperkenalkan. Memberi kesempatan,” jawab Pak Wijaya tenang. “Bukan paksaan, Ryan. Hanya... harapan lama dari dua sahabat.” Keheningan menggantung seperti asap di udara. Karin duduk diam, membeku. Bu Retno hanya menunduk, sementara Pak Budi menatap Ryan dengan pandangan penuh empati. Ryan menyandarkan tubuhnya ke belakang kursi, lalu berdiri perlahan. Ekspresinya mulai berubah—bukan lagi datar, melainkan penuh tekanan yang ditahan. “Jadi… Ayah membawaku ke sini, menyuruhku bersikap ramah, lalu menjatuhkan ‘pengumuman kecil’ bahwa masa depanku ternyata sudah direncanakan dari puluhan tahun lalu?” “Bukan begitu, Ryan. Kami tidak pernah—” “—memaksaku? Tidak? Lalu ini apa?” suara Ryan mulai meninggi. “Kau menyebutnya kesempatan. Tapi bagiku, ini jebakan. Aku tidak mengenal mereka, tidak pernah mendengar nama Karin sebelumnya, dan sekarang kau ingin aku tiba-tiba... cocok?” Karin menunduk dalam-dalam. Suara Ryan memang tidak diarahkan padanya, tapi kata-katanya terasa seperti gelas pecah yang mengenai lantai hatinya. Pak Wijaya mencoba tetap tenang. “Ryan, ini bukan tentang merampas hidupmu. Ini hanya awal dari perkenalan. Kau bebas memutuskan, tapi kau juga harus menghormati niat baik.” “Niat baik?” Ryan tertawa sinis. “Ayah tidak pernah ada ketika Ibu meninggal. Tidak pernah ada ketika aku memutuskan kuliah sendiri. Tapi sekarang, Ayah datang membawa ‘niat baik’ dengan janji masa lalu?” Pak Budi membuka suara. “Ryan, Ayahmu hanya ingin yang terbaik. Kami tahu ini mengejutkan. Tapi tidak ada paksaan. Kami percaya, kamu berhak memilih. Sama seperti Karin.” Ryan memejamkan mata sejenak, menarik napas. Ia lalu menatap Karin yang diam-diam berdiri dan berkata lembut, “Aku pun tidak diminta setuju, Ryan. Aku juga tidak tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang membicarakan hidupku. Tapi... kita bisa memilih. Atau tidak memilih sama sekali. Tak ada yang akan memaksa.” Kata-kata itu seperti air dingin di tengah bara amarah. Ryan terdiam. Lalu, perlahan, ia menghela napas berat dan menatap ayahnya. “Aku pulang malam ini. Tapi ini belum selesai, Ayah.” Ia lalu melangkah menuju pintu, tak menoleh lagi. Di teras, ia berhenti sejenak, mengangkat wajahnya ke langit malam yang gelap. Suara tawa kecil keluarga Pramana yang tadi memenuhi rumah kini menghilang, digantikan oleh suara jangkrik dan langkah kakinya di jalan kecil menuju mobil. Di dalam rumah, suasana sepi. Karin menatap pintu yang baru saja tertutup. Pak Wijaya duduk kembali dengan napas berat. “Aku... seharusnya tidak terburu-buru,” gumamnya. Pak Budi menepuk bahunya. “Setidaknya dia tahu sekarang. Sisanya... biarkan waktu yang bicara.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD