The Lonely Boy

2141 Words
Percakapan antara Edna dan wanita asing itu berakhir dengan Edna yang memberinya senyuman seraya mengatakan sesuatu yang tak dapat Dhaffin pahami. Dhaffin masih berdiri kaku didepan wanita itu ketika dia dengan santainya menjadi pemandu bagi dirinya yang sekali lagi malah berbalik jadi beban wanita itu. Apa sekarang dirinya terlihat seperti seorang pria yang memelodramatisir keadaan? “Apa yang kalian bicarakan tadi?” “Menanyakan arah stasiun kereta api.” Sahutnya cepat sembari mengambil langkah yang sempat terhenti karena pertanyaan Dhaffin yang begitu sepele. Kakinya sekali lagi dipaksa untuk mengikuti kecepatan berjalan wanita itu. Sementara dirinya masih perlu untuk menarik koper berat ditangannya dengan sedikit susah payah. “Kau yakin jalannya benar?” tanya Dhaffin lagi setelah merasa mereka kembali memutar jalan yang dia gunakan tadi sesuai petunjuk yang Dhaffin dapatkan dari memo canggihnya. “Terus saja ikuti jalur ini lalu belok kiri.” “Masih jauh tidak?” “Tidak.. hanya berjarak beberapa mil dari sini.” “Kau lebih percaya pada oranglain ketimbang teknologi dari mesin ini?” “Teknologi tidak selalu membantu. Dan kita butuh tempat beristirahat sebelum kita berdua mati beku.” Balasan Edna yang santai yang kemudian terlihat sedikit antusias mendapati adanya bangunan berupa gedung besar dengan kaca yang melapisi bagian luarnya dan terdapat papan nama yang digantung diatasnya sebagai pengenal. Tentu saja menggunakan bahasa Russia. Dhaffin tidak tahu pasti arti dari tulisan yang tergantung disana karena baginya itu lebih terlihat sebagai simbol simbol semata. “Apa yang tertulis disana?” tunjuk Dhaffin. Dia memang pria yang serba ingin tahu. Edna perlu mewajarkan sisi Dhaffin yang seperti itu dan harus rela untuk mendengar pertanyaan beserta ocehan yang tak henti dari mulutnya bila Edna hanya diam dan tak menjawab. Termasuk ketika sekali lagi dia memilih untuk tidak menjawab, pemuda itu malah mempertanyakan pertanyaan baru padanya. “Bagaimana caramu membacanya?” “Novoslobdskaya vokzal” jelas Edna menggunakan aksen bahasa yang begitu kental. Nyaris menyamai pribumi tadi. “Noposlobdiskaya voksal?” ucap Dhaffin yang secara tak sadar mengikuti pengucapan Edna meski jadinya malah terdengar aneh dan sepertinya tidak berhasil. “Jangan memakai aksen bahasa kita.” Edna berkomentar sekaligus mengkoreksi pengucapan Dhaffin. Wanita itu melangkah dengan mantap menuju kedepan tanpa sekalipun ada niatan untuk melirik kebelakang. Dimana Dhaffin bersusah payah dengan koper yang dia bawa. Mereka berdua mulai memasuki sebuah gedung yang cukup padat oleh beberapa orang yang juga berpakaian tebal. Setidaknya disini lebih hangat daripada diluar sana, sebab bangunan tersebut sudah dipasang penghangat yang cukup untuk dapat memberikan kehangatan pada setiap individu yang berlalu lalang dibawah naungan bangunan ini. Langkah Edna kali ini berhenti pada sebuah tempat dimana seseorang berjaga disana. Melihat dari fungsinya seperti itu adalah sebuah loket untuk pembelian tiket. Edna lantas menaruh tas yang tersampir dibahunya ke lantai lalu menyuruhku untuk mendekat padanya menggunakan isyarat tangan. “Jangan menjauh dariku.” Katanya tegas sambil kembali mengeluarkan sesuatu dari kantung jaket tebalnya seraya memberikannya pada orang yang berada dibalik loket. “Kau pernah sekali jauh dariku dan hasilnya kau hampir ditangkap oleh orang dikenal. Saat ini hanya aku yang mengawasimu aku tidak bisa terus memasang mata jika kau berkeliaran seorang diri.” Jelasnya lagi. Edna yang seperti ini membuat Dhaffin sedikit bertanya dalam hati. Apakah jika bukan padanya Edna juga akan memperlakukan seluruh client pria nya se over protektif ini? apakah dia akan dengan sangat peduli dan mencemaskan setiap tindakan dari para clientnya dengan cara seperti ini? ah.. pertanyaan yang mengganggu itu perlu secepatnya diusir dari kepala. Sebab lagi lagi pikirannya sendiri membuat hatinya sakit sendiri. “Baiklah..” Dhaffin menjawab seadanya. Dan hal itu sempat dilirik oleh Edna meskipun didetik berikutnya wanita itu menarik Dhaffin kembali. Dia menggenggam tangan pemuda itu, untuk lagi-lagi mengikuti dirinya. Kehangatan lebih mulai menjalar dari tangan yang terpaut oleh Edna. Anehnya, hal tersebut membuat Dhaffin merasa lebih nyaman. Sebuah kereta sudah terhenti dijalur yang memang mereka tuju. Terlihat antrian dari orang yang segera menaiki kereta masing-masing menunjukan tiket mereka sebelum benar-benar masuk kedalam. Di pintu masuk berjaga seorang petugas yang diperuntukan untuk mengecek kelengkapan penumpang. Edna dan dirinya pun mengambil tempat untuk mengantri sama seperti penumpang lain. Wanita itu menempatkan dirinya didepan, sehingga untuk beberapa saat dia berdiri dibelakang Dhaffin dengan posisi mengawal. Wanita itu terus mengintai seluruh penjuru yang dia rasa berbahaya memastikan keamanan untuk mereka berdua. “Kita akan kemana ?” tanya Dhaffin sekali lagi karena rasa ingin tahu yang begitu menggebu. Sementara Edna memberikan tiket yang dia terima dari petugas loket kepada petugas yang berjaga di pintu masuk kereta. Sekali lagi mereka terlibat percakapan yang Dhaffin sama sekali tidak mengerti. Sementara itu, si petugas tersebut terus meliriknya dengan cara yang aneh. Senyuman tersungging padaku seusai Edna bercakap dengannya. “Nanti kau sendiri akan tahu kita kemana.” Edna menjawab setelah mereka berada dalam posisi menjauh dari petugas itu. Selain itu wanita itu mengambil alih posisi sebagai seorang pemandu. Membalik posisi mereka tadi. “Dan ada satu hal yang menggangguku.” “Apa ?” “Mengapa petugas tadi tersenyum pada kita?” cara dia melirik Dhaffin serta senyuman yang dirasa mencurigakan membuat Dhaffin merasa tak nyaman. Edna tidak langsung menjawab, wanita itu masih saja sibuk menyusuri gerbong yang terlihat begitu panjang. Bukan karean ilusi optik melainkan memang sesungguhnya sangat panjang. Sebuah lorong terlintas, dengan pintu pintu samping yang berwarna agak sedikit mencolok daripada pemandangan yang Dhaffin dapati saat menginjakan kakinya di tempat lain. Merah burgundy. Menyajikan suasana yang klasik dan hangat. Penggambarannya terlihat seperti cerita-cerita dalam novel klasik terjemahan eropa. Apik juga menarik. “Kau ingin tahu?” Edna bertanya balik. Seperti enggan mengatakan apa yang mereka bicarakan sesaat sebelum mereka berdua memasuki gerbong seperti saat ini. Dia berhenti pada sebauh pintu dihadapannya seraya menggesernya hingga terbuka. “Ini seperti latar yang ada dalam film fantasy, menakjubkan sekali.” Dhaffin terpukau hingga dirinya tak sadar berkomentar hal yang kekanakan semacam itu dihadapan Edna. Ruangan yang dia masuki sekarang memang sedikit kecil, hanya saja didalam sini terdapat dua sofa panjang yang diatur berhadapan. Sebuah jendela terpampang jelas dihadapannya. “Menyambung apa yang aku tanyakan padamu. Sebenarnya aku selalu penasaran saat kau bicara dengan orang-orang asing yang kita temui.” “Kau ingin aku jadi penerjemah bagimu?” Edna menaruh ranselnya sendiri di ujung sofa sementara dirinya memposisikan diri untuk menghimpit Dhaffin hingga pria itu duduk di ujung dekat jendela. “Karena aku tidak mengerti bahasa asing selain inggris. Secara tidak langsung aku ingin kau jadi penerjemahku.” “Aku tidak ditugaskan sebagai kamus berjalan untukmu.” “Paling tidak kenapa sulit sekali bagimu mengatakan apa yang petugas tadi katakan padamu?” Edna terlihat tidak terlalu nyaman dengan pertanyaan dari Dhaffin, wanita itu mengelus shawl yang tersampir melingkari lehernya sendiri. “Dia bilang selamat menempuh hidup baru. Jadi intinya dia menganggap kita sedang berbulan madu—“ “E-EH?!” “Sudahlah kau tidak perlu memikirkannya.” “Oh.. Tuhan.. Aamiin.” Tanpa sadar Dhaffin membekap mulutnya sendiri, untung saja dia berkata begitu saat deru kereta terdengar jelas. Mesinnya sudah mulai bekerja dan memberikan getaran pada kereta serta gerakan pada ban kereta yang terbuat dari besi. “Apa yang kau katakan barusan?” Edna bertanya, mungkin menyadari adanya perubahan dari wajah Dhaffin yang sedikit memerah. “Ti-tidak ada,” Dhaffin berlagak cuek “Anggap saja kau tidak mendengar apapun.” Tambahnya lagi. Dia melirik bila wanita itu nampak curiga meski beberapa detik kemudian dia sudah tak lagi memperlihatkan rasa ingin tahunya. *** Kupandangi sosok pria disampingku. Dia telah tertidur dengan lelap beberapa menit yang lalu. Kepalanya dimiringkan kearah samping dimana jendela berada. Alisku menaut tajam, melihat kondisi pria itu selama pelarian mereka. Sekarang tubuhnya sedikit lebih kurus daripada yang aku ingat. Seorang pemuda sepertinya semestinya hidup dengan santai dan bermain bersama teman sebayanya. Bukannya terikat dengan wanita yang tak biasa macam diriku begini. Seorang wanita yang mendapatkan arti kehidupan dari pada menarik pelatuk dari senapan laras panjang dan menjalani pekerjaan sebagai seorang snipper unggulan. Ditambah lagi ada satu hal berputar dikepalaku saat ini. Sesuatu mengenai masa lalu. Sebuah memori yang kerap kali menghantui melalui mimpi atau bayangan yang berkeping keping selalu mendominasi otakku untuk beberapa waktu, semakin parah ketika aku mendapati sebuah hal yang lama kucari. Kenangan masa kecil. Dimana waktu itu dirinya begitu keras kepala hingga hampir menenggelamkan seorang bocah kecil. Membuatku dihantui rasa bersalah karena bocah itu tak pernah ditemukan oleh pencarian yang dilakukan orang dewasa. Hingga diusiaku sekarang pencarian masih terus dilakukan. Tidak ada petunjuk. Kecuali luka yang aku ingat dari tubuh bocah lelaki itu. Luka  yang sama persis tata letaknya dengan luka yang aku temukan dari Dhaffin. Mestikah aku mengaitkan soal itu terhadapnya yang mungkin saja tidak memiliki keterkaitan dengan diriku dimasa lalu? Apa sekarang aku sedang berdelusi jika bocah lelaki yang tenggelam itu masih  hidup dan berada dihadapanku sekarang? Mestikah ? Aku lagi lagi dirundung oleh kekesalan. Kedua tanganku mengacak rambutku frustasi. Mataku kembali kugunakan untuk menerawang kearah pemandangan langit malam yang tak memiliki cahaya apapun. Gelap gulita seperti apa yang tengah berada dalam diriku sendiri seperti ini. Otakku seperti sebuah mesin cuci yang terus berputar ditempat yang sama. Tak menentukan sebuah hal yang bisa kujadikan sebagai pedoman atau hal lainnya yang mungkin berguna. Keinginan yang kuat terasa begitu kental berada dikedua tanganku yang terkepal. Keinginanku untuk menukar masa itu. Keinginanku untuk menebus rasa bersalah dimasa lalu. Melindungi seseorang. Instingku kembali terbangun secara alami. Menjadi sebuah tameng yang siap untuk berbuat apapun demi keselamatannya. Siap menjadi pedang untuk menebas apapun yang membahayakan. Sebab kali ini mau tidak mau aku tidak lagi diperkenankan untuk berbuat kesalahan. Tak boleh salah dalam mengambil keputusan. Meskipun ini bukanlah pekerjaan utamanya. Membuatku mesti menekan segala hal yang menjadi kebiasaan hidupku sehari-hari. Tanganku merasa keram, sudah cukup lama aku tak memegang senjata apalagi granat. Apa yang tanganku kali ini selalu genggam adalah tangan besar seorang pria lemah yang nyawanya terancam. Tidak bisa diperlakukan sama dengan caraku memegang senjata, sebab dia manusia. Ada batasan rasa yang memaksaku untuk memberikan perlakuan yang berbeda terhadap dia. Tubuhku kini sudah mulai memperlihatkan tanda memprotes, wajar untukku bila aku kelelahan. Semakin menjadi saat rasa letih mulai menjalar kedalam seluruh otot tubuhku. Kedua kelopak mataku memberat. Tapi aku tak bisa untuk tertidur saat tanggung jawab yang diembannya belum selesai. Terlalu berbahaya bagiku untuk jatuh tertidur di muka umum seperti ini. Aku memaksakan diriku untuk terjaga tak peduli berapa puluh jam berlalu. Mengawasi Dhaffin secara penuh. Sebenarnya sebelum pekerjaan ini diberikan, aku sempat menolaknya. Anehnya Ketua Frederic seolah  memaksakan diriku untuk mengambil pekerjaan khusus darinya. Bahkan sampai memberikan pelatihan segala. Aku lebih suka terjun ke medan pertempuran secara langsung. Namun sekarang kehidupanku berubah seratus delapan puluh derajat semenjak Dhaffin berada dilingkaran dalam hidupku—terbalik. Memengang senjata lebih mudah ketimbang terlibat dalam beberapa konflik yang berbau drama. Itulah yang aku pelajari selama berada disisinya hingga detik ini. Tiba-tiba Dhaffin mengerang dalam tidurnya. Sepertinya pria itu merasa tidak nyaman atau mungkin mimpi buruk? Entahlah. Namun tubuhku seolah berinisiatif melakukan tindakan. Tanganku terulur menyentuh kepala pemuda itu. Membelainya secara perlahan. Sampai kemudian sebuah ide terlintas mampir dalam benakku. Sepertinya pemuda itu perlu membenahi posisinya supaya bisa tidur dengan lebih nyaman. Menarik kepala pemuda itu untuk bersandar dibahuku secara spontan. Anehnya aku merasa puas hanya dengan satu posisi ini. Mendengar dengkuran halus dari pemuda itu juga tubuhnya yang lebih rileks ketimbang beberapa saat lalu. “Maaf melibatkanmu.,, Dhaffin.” Ujar Edna miris. Dia menghela napasnya. “Aku akan melindungimu kali ini.” *** “Dia mati benarkan? Sudah kukatakan untuk tidak bertindak sembarangan. Si Egor itu kepala batu memang!” “Berisik Dominik!” pria lain berkata padaku dengan cara yang tidak menyenangkan. “Sudahlah Dominik buat apa kau kesal seperti sekarang? Mana mau Felix mendengarmu. Kau itu terlalu berisik dan banyak mengurusi sesuatu yang  bukan urusanmu.” Satu-satunya wanita diruangan ini balik berkata. Membuat aku mendecih tak suka. Tidak ada yang mendukungnya. Padahal mereka satu kesatuan. “Setidaknya dengarkan aku. Aku kan sudah bilang Vladimir itu licik. Hingga saat terakhir dia memotong begitu saja hubungannya dengan Egor begitu saja. Dia benar-benar melimpahkan soal Egor pada kita. Lagipula buat apa dia masih mau berurusan dengan Edna sih?” “Kau masih menyukai Edna rupanya.” Wanita itu kembali bersuara sambil meneguk kaleng birnya. Setelah isinya habis dia meremasnya hingga tak berbentuk lalu melemparnya kesembarang arah. “Tidak! Ini bukan soal itu Natalie!” aku menyanggah pendapatnya secepat kilat. Meski sebenarnya spekulasinya tidak betul-betul salah. Dia benar aku masih menyimpan rasa pada Edna. “Dia itu penghianat!” Felix berkata tanpa emosi. Matanya menerawang kearah jendela yang telah menunjukan kegelapan malam. “Penghianat sepertinya memang patut diberi hukuman.” Bukankah itu terjadi karena kau menghianatinya terlebih dahulu? Ingin sekali kukatakan itu padanya namun kutahan. Tidak bisa. Sebuah kalimat itu hanya akan menimbulkan percikan api yang jika kumulai akan menimbulkan asap tebal. Aku tahu itu karena aku bukanlah orang yang sekuat itu untuk bisa melindungi orang yang aku sayangi. Aku tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk bisa membela Edna didepan Felix. Karena aku tahu Edna tidak bersalah, dia adalah korban. Korban dari keserakahan dan keegoisan kelompok ini. Termasuk diriku sendiri. “Kenapa kau memasang wajah memuakan begitu Dominik?” Natalie bertanya, memperlihatkan sebuah sunggingan senyum yang kentara sekali sedang mengejekku. “Kau merindukannya?” dia berdecak sebal entah apa sebabnya. Lantas mendekat padaku sambil meraih daguku untuk menatap wajahnya secara penuh. “Saranku lupakan perempuan bodoh itu!” lanjutnya lagi. “Kau terlalu naif jika terus mempertahankan perasaan tak jelasmu itu!” “Itu sama sekali bukan urusanmu!” kutepis tangan yang menyentuhku. Menatap lantai yang kotor dengan sendu, meskipun perapian diruangan ini menyala tetap saja aku merasa hatiku dingin. Hitamnya malam ini mengingatkanku akan surai legam milik orang yang mengisi relung terdalam hatiku. Edna.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD