Trigger

2025 Words
“Giri mana?” Edna berkata, lebih tepatnya menyapa seorang pria yang sedang disibukan dengan kegiatannya mengelap gelas kaca. Pria dengan stelan pakaian bartender tersebut melirik dan terkejut mendapati Edna yang mendekat padanya. Segera pula pria itu mendekat kearah mereka bertiga. Lalu menggiring mereka semua menuju sebuah ruangan kecil yang terletak dipojok bar. Penampakannya terlalu rapi, meskipun ruangan itu lebih terlihat seperti kantor. Pria itu juga memanggil seseorang kembali untuk ikut berkumpul padahal orang tersebut masih sibuk dengan kegiatannya meramu minuman untuk seorang tamu. Yang dipanggil kemudian melirik, dan mengambil langkah santai menuju mereka bertiga yang telah dipersilahkan untuk duduk sebelumnya. Wanita yang satu ini pembawaannya lebih kalem. Tubuhnya sangat indah berlekuk bagai gitar spanyol, Dhaffin tidak bercanda dengan deskripsinya namun yang terlihat memang seperti itu. Dia mengenakan bulu halus berwarna putih yang tersampir dibahunya. Sedangkan tubuhnya terbungkus dress ketat berwarna hitam. Menguarkan kesan wanita misterius yang menggoda. Apalagi dia tersenyum sangat manis dan menawan ketika dirinya berada dihadapan semua tamunya yang didominasi oleh laki-laki. Dior dan Dhaffin. Tatapan matanya sempat mengerling kearah mereka berdua sebelum terfokus pada tamu utama. Edna. “Edna Luxor? Aku sudah menunggu kedatanganmu.” Ucap wanita itu menunduk sesaat sebelum kembali pada posisi awalnya. “Aku sudah menyiapkan semua hal yang kau butuhkan seperti yang diminta oleh Kapten.” Wanita itu kemudian mengambil sesuatu dari dalam laci mejanya. Lantas menyodorkan sebuah amplop berwarna coklat pada Edna. “Isinya adalah tiket, surat-surat keperluanmu dan juga beberapa keperluan pribadi yang akan kalian butuhkan.” Setelah menggenggam tangan Dhaffin sejak awal mereka meniti tempat ini, pada akhirnya pegangan tangan Edna pada Dhaffin terlepas. Pria itu seperti merasakan adanya kekosongan secara mendadak. Rasa kehilangan yang seharusnya tidak kentara keluar disaat seperti ini. Menghilangkan rasa sentimental yang hinggap tiba-tiba Dhaffin pada akhirnya melirik kearah Edna yang membuka amplop tersebut. Kedua matanya begitu fokus meneliti satu persatu kertas yang berada didalamnya. Membiarkan begitu saja Dhaffin yang duduk disisinya tanpa perhatian. Apa sekarang dirinya begitu cemburu pada kertas? Padahal sejak awal dirinya dan Edna kan memang tidak terikat tapi setiap kali wanita itu mengabaikannya dia tak suka? “Apa dia client mu itu?” wanita itu mengambil posisi duduk didepan Dhaffin secara tiba-tiba yang menimbulkan ketersentakan pada pemuda itu. Apalagi wanita itu menatapnya dengan intens. Cara duduknya yang menyilang kaki menimbulkan pahanya terekspos sempurna. Sejenak membuat Dhaffin hilang fokus, padahal wanita itu kentara sekali sedang memberikan penilaian padanya. Sesuatu yang Dhaffin tak sukai sebab membuatnya jengah bukan main. “Siapa namamu Tuan?” “Kau tidak perlu tahu. Itu bukan bagian dari pada pekerjaanmu juga.” Tegur Edna yang kali ini membuat Dhaffin dibuat terpaku lagi. Wanita itu terlihat sedikit kasar pada wanita yang usianya Dhaffin perkirakan lebih tua darinya itu. “Dan berkas yang kau berikan padaku sesuai dengan yang aku mau. Kerja bagus.” Amplop ditangannya dilambaikan sesaat, sebelum pada akhirnya tangannya kembali menaut tangan Dhaffin seperti sedia kala. Seperti kait dan Dhaffin merasa dirinya kembali terpenuhi. “Kuharap kalian bisa menempuh perjalanan dengan selamat.” Ucapnya terdengar dingin dan sinis. “Selamat jalan Luxor.” Edna tidak membalas perkataan wanita itu, Edna lebih memilih untuk berjalan meninggalkannya dibelakang. Lagi-lagi wewenang Dhaffin sebagai seorang manusia tidak lagi berlaku. Edna mengambil penuh seluruh akses untuk mengontrol dirinya secara penuh. Dhaffin merasa seperti boneka saat bersama dengan Edna. Ditarik kesana kemari, mengikutinya dalam diam tanpa adanya sepatah katapun terlontar pada wanita itu. Bukankah semestinya dia perlu untuk bertanya sesuatu? Atau setidaknya marah menyadari jika wanita itu tidak menghargainya seperti manusia biasanya? “Kau terlalu dingin Edna.” Ujaran dari Dior menyadarkan Dhaffin jika dirinya sedari tadi tidak hanya sedang berdua saja dengan Edna. Tapi sekali lagi, Edna tidak menghiraukan perkataan pria yang jabatannya lebih tinggi darinya. Pria itu tersenyum miris tatkala sadar penuh jika wanita yang sedang dia ajak bicara sama sekali tidak menghiraukannya. “Jadi dia itu Giri yang merupakan informan handal dari underground?” “Ya.” Akhirnya Edna buka suara juga. Meski singkat. “Dia tidak sebaik yang terlihat.” “Begitukah? Aku rasa dia cantik dan mengagumkan.” Balas Dior “Ya, begitulah cara dia bekerja. Dan itu efektif sekali untuk mengeruk informasi dari kalian para pria yang menyukai keindahan tubuhnya.” Dior terdiam, namun senyumnya mekar ketika mendapati Edna berkata dengan sedikit ketus padanya. Pria itu juga melirik pada tautan tangan Edna pada Dhaffin. “Ada satu hal yang menggangguku sejak tadi.” “Apa?” “Dhaffin. Kau menarik dia terlalu kasar.” Tunjuknya lagi. Dan memang benar, sejak dia menggenggam tangan Dhaffin didalam ruangan tadi. Cengkraman tangan Edna padanya memang terlalu erat dan keras. Saat itulah Edna menghentikan langkahnya dan kemudian melirik pada Dhaffin yang sejak tadi dia seret kesana kemari. Apa setelah disadarkan oleh rekannya Edna baru sadar bila sejak tadi dia menyeret seorang manusia kesana kemari tanpa ampun? Matanya yang serius dan tajam berubah sedikit melembut, yang tentu saja kembali menimbulkan tanda tanya besar dikepala Dhaffin. Hal-hal yang wanita itu keluarkan dalam dirinya terkadang membuatnya tak bisa menerka. Dhaffin tak bisa berhenti untuk mempertanyakan sikapnya yang bisa berubah dengan cepat bagai roller coaster. Sesaat lembut tapi kemudian dia bisa berubah bagaikan badai kutub utara yang dinginnya luar biasa. “Kau baik-baik saja?” tanyanya pada Dhaffin. Hanya sedikit, tangannya melonggar memberikan akses setidaknya bagi Dhaffin untuk bernapas. Meskipun yang dipegang Edna bukan lehernya, melainkan tangannya. Pertanyaan yang terlihat tanpa dosa itu menimbulkan sedikit letupan amarah pada Dhaffin. Setelah diseret dan bahkan tidak bicara selama perjalanan yang melelahkan ini. Hanya itu saja yang wanita itu bisa katakan ? hanya pertanyaan remeh nan bodoh itu yang bisa dia tanyakan? “Kau baru sadar?” tanya Dhaffin balik dan cukup sinis. Berusaha pula untuk mengalihkan pandangannya dari mata cantik yang sibuk meneliti dirinya. Karena Dhaffin tahu jika dia menatap mata itu lama dia malah akan kehilangan kendali atas dirinya. Dan pada akhirnya dia tak bisa merasa marah bahkan kesal pun tidak. Aneh sekali. Sihir apa yang wanita itu pakai untuk membuatnya tak seberdaya ini? “Aku tidak bermaksud menyakitimu.” Kali ini kelonggaran tangannya semakin terasa. Lagi-lagi Dhaffin dipaksa untuk berpikir dan berspekulasi terhadap apa yang sebenarnya wanita itu pikirkan terhadap dirinya. Tugas? Perasaan? Ambisi? Keegoisan? Kewajiban? Keinginan? Mengontrol? “Kau membuat Dhaffin bingung Edna.” Timpal Dior. Kini pandangan cantik wanita itu berpindah pada sang wakil kapten. “Kau sudah berhasil membuat seorang pria kewalahan menebak isi pikiranmu.” “Jangan bicara omong kosong Dior!” Edna lantang bersuara. Kembali pada sifat lamanya. Entahlah apa memang bisa dibilang demikian. Sebab Dhaffin merasa wanita itu terlalu kompleks. Dirinya bahkan tak tahu yang mana sikap Edna yang sebenarnya. Dia terlalu manipulatif, dan bersikap sesuai yang dia mau tanpa bisa ditebak. Dan ya, apa yang Dior katakan benar. Hanya Edna wanita yang selalu membuat kepalanya penuh. Hanya Edna yang  bisa membuatnya perlu menebak-nebak reaksi yang akan wanita itu perlihatkan dari segala hal yang Dhaffin ujarkan. Bersamanya membuat dirinya perlu menggunakan seluruh keselarasan logika dan perasaan dengan seimbang. Meskipun ketika dia telah melakukannya Dhaffin tetap tidak  berhasil untuk memahami maksud yang ingin Edna sampaikan dari segala tindak tanduknya. Ah.. bikin kepikiran! Beberapa orang tertangkap mata, berjalan menuju kearah mereka bertiga. Terlihat penuh ancaman dan intimidasi berlebih. Beberapa dari mereka bahkan menggenggam balok kayu, besi berkarat, di tangan masing-masing. Apa lagi ini ? “Edna.. itu?” “Ap—“ kata-katanya bahkan belum terselesaikan. Edna membiarkannya menggantung diudara. Pemandangan didepan matanya sekarang lebih menarik ketimbang mesti berkata-kata. Kerumunan orang yang berusaha memblokir jalan untuk mereka. Jalan untuk keluar dari tempat kotor ini. “Mundurlah.” Perintah Dior pula. Sebagai seorang yang minim soal bela diri dan pertahanan diri. Dhaffin menurut dan spontan mundur kebelakang. “Pegang ini.” Edna mengulurkan amplop coklat yang sejak tadi berstagnasi ditangannya. Mempercayakan pada Dhaffin yang berdiri diantara dirinya dan Dior. Dhaffin meraih cepat amplop coklat tersebut, menggenggamnya erat seakan nyawanya berada didalam amplop coklat itu. “Jangan lakukan hal bodoh. Dan pastikan tidak jauh dariku.” Titah kedua dari Edna. Membuat Dhaffin kembali mengangguk patuh. Sedangkan Dior maju terlebih dahulu. Menjadi tameng bagi mereka berdua. “Apa yang kalian inginkan?” tanya Dior sinis. Membuat beberapa orang yang mengancam tersebut tertawa lebar. Mengejek sang wakil kapten. “Serahkan pemuda itu pada kami.” Ucap salah satu diantara mereka. Dan ketika dia berkata demikian beberapa orang mulai maju kearah Dior sembari mengayunkan tongkat kayunya. Menghantamkan benda itu kearah Dior yang tentu saja dengan mudah dapat dihindari Dior. Sebaliknya Dior lantas meraih tongkat yang teracung padanya lalu menendang perut lawannya dengan lutut yang ditekuk kuat-kuat yang langsung saja membuat si lawan tersentak dan jatuh ketanah tanpa sebuah keberdayaan. Mendapati rekannya tersungkur, beberapa orang maju lagi untuk menghabisi. Beberapa lainnya juga menghampiri Edna yang masih siaga melindungi Dhaffin dibelakang tubuh kecilnya. Demi Tuhan, dia merasa takut dan malu berdiri dibelakang punggung wanita ini. Melihat pula betapa siaga dan awasnya Edna dalam upayanya melindungi pemuda lemah macam dirinya. Dia sama sekali tidak bergerak, enggan sebetulnya karena tidak ingin sedikitpun menjauh dari dirinya. Sementara itu disisi lain Dior masih bergumul dengan lawan-lawannya yang berusaha menumbangkan dia. Terlalu banyak, dan situasi ini sama sekali tidak menguntungkan. Seseorang maju sambil menghunuskan tongkat besinya kearah Edna. Edna dengan gesit dan tangkas menendang lepas tongkat besi hingga terlontar. Dengan cepat pula tongkat besi tersebut telah berpindah tangan padanya sebagai senjata untuk melawan mereka semua. Beberapa orang yang maju kena hentak benda itu, entah itu dikepala sebagian diperut, dan yang lainnya di tengkuk. Berlalu dengan cepat, sampai kemudian seluruh lawannya ambruk ditempat. Edna menghajar musuhnya dengan aksi memukai. Tiga orang tadi telah rubuh dengan mudah. Edna terlalu kuat untuk mereka. Brutal sekali wanita ini! “Edna bawa pergi Dhaffin sekarang!” teriak Dior yang kembali lagi disibukan oleh beberapa orang yang kembali datang padanya. Meski sudah ada tujuh orang yang tumbang tapi mereka yang datang melawan seakan tiada habisnya. Terus berdatangan. “CEPAT!” Edna menarik tangan Dhaffin bergerak melangkah maju dengan kedua kaki yang dipaksakan berlari. Spontan pula Dhaffin menggerkan kakinya dengan cepat untuk mengimbangi Edna didepannya. Demi Tuhan, berapa kali dirinya terlibat dengan aksi melelahkan macam ini? pertemuan pertama mereka? Sepertinya. Itu adalah pengalaman berharga yang Dhaffin akan ingat seumur hidupnya karena terus saja berlari tanpa arah. Meski telah kabur dan meninggalkan Dior dibelakang. Rupanya ada beberapa yang tak dapat Dior cegah. Beberapa lolos dari Dior dan mengejar keduanya dari belakang. Ini buruk. “Edna..” teriaknya, berusaha memberi peringatan pada wanita kalem ini. “Mereka mengejar kita.” “Teruslah berlari. Jangan banyak bicara!” perintahnya lagi yang masih pula dalam tempo yang sama. Tidak berkurang sedikitpun. Dhaffin bahkan tidak melihat adanya gurat kelelahan dari wanita ini. Padahal dirinya sendiri saja sudah merasa kelelehan. Bagaimana mereka mengitari gang-gang yang berkelok-kelok belum lagi kakinya yang sudah mulai kesemutan dan mati rasa. Terlalu cepat, dan membingungkan. Tenggorokannya panas, seperti terbakar api. Dan entah didetik keberapa sesuatu menghantam kakinya. Seketika pula dirinya tidak bisa mengendalikan diri, Dhaffin hampir saja tersungkur dan mencium tanah jika saja tangan Edna tidak terulur dengan cepat menjangkau tubuhya. Menahan dirinya untuk tetap berada dalam posisi berdiri dalam pelukannya. “Oy hati-hati!” Dhaffin mengalihkan pandangannya kebelakang dimana beberapa orang yang mengejar mereka berdua telah berhasil hampir menjangkau kami berdua. Dhaffin merasa tak bisa berlari lagi. Terlalu lelah dan pasrah. Dia memang benci rasa itu, tapi dia memang sudah merasa putus asa. Apa dia pria yang manja? Ya, dia merasa dia seperti itu sekarang. Terlalu berat dan mengerikan. Setidaknya kalau dirinya mati bukankah dia tidak akan menyusahkan orang lain seperti sekarang? Tapi memikirkan kemungkinan jika yang berakhir disini bukan hanya dirinya seorang. Dhaffin tidak bisa menyerahkan dirinya semudah itu pada nasib buruk. Sesuatu menggapai punggungnya. Melilit seperti seekor ular yang kuat. Matanya terbelalak lebar menyadari apa yang terjadi. Terlalu terkejut sekaligus bingung. Edna mengangkat tubuhnya dengan  mudah keatas bahunya. Membuat dirinya merasa gagal menjadi seorang pria gagah. Dhaffin tidak percaya dengan keputusan yang wanita itu ambil disaat keadaan genting ini. Terlalu gila! Seumur hidup Dhaffin berimipian untuk menggendong wanita idamannya dengan gaya bridal style saat menikah nanti. Namun yang sekarang justru dirinya lah yang digendong ala karung beras oleh seorang perempuan. “Edna!” runtuh sudah harga dirinya sekarang. Tidak ada jalan untuk kembali. Seluruh kepercayaan diri sebagai seorang pria yang perkasa telah hancur karena Edna. “Jangan banyak protes. Kita tidak punya pilihan lain.” Dia benar-benar perempuan berhati dingin yang tidak memikirkan perasaan seorang pria. Apa dia sedang mengejeknya sekarang? Edna terus berlari tanpa henti, sementara Dhaffin bergantung diatas bahunya. Wajahnya yang menghadap kebelakang membuatnya dapat menonton pelarian diantara mereka berdua dengan si para pengejar yang masih pula terlalu gigih mengejar seolah akan mati jika tak dapat menggapai mereka berdua. Memikirkan posisinya sekarang. Kakinya yang tergantung canggung dan mungkin akan menghantam tubuh Edna. Apakah wanita itu tidak merasakan sakit? Dan Ya, Dhaffin merasa bersalah saat kakinya menyentuh bagian tubuh lembutnya. Oh sialan.. bahkan disaat seperti ini kepalanya malah berfantasi yang bukan-bukan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD