A Few Step Ahead

2191 Words
“Bereskan barangmu Dhaffin sekarang juga.” Ujaran dari Edna lagi-lagi kontan membuatnya perlu memutar otak lebih keras daripada biasanya. Kalimat bernada perintah tersebut memang selalu terdengar khas jika Edna yang mengujarkan. Namun ketika punggungnya kian menjauh ada satu bisik manis yang meminta Dhaffin untuk mengikuti wanita perkasa itu. Mencari tahu jawaban yang tidak dapat dia terka sendirian. “Untuk apa?” tanyanya yang nyaring kentara sekali pemuda itu kebingungan. Setelah acara makan siang yang mereka lakukan. Meski ada drama karena Edna membuang masakan buatan Dior. Dan menggantinya dengan makanan sederhana buatannya sendiri. Hanya spring-roll berisi sayuran dan daging sisa perbuatan Dior, namun anehnya rasa yang terkecap dilidah bisa disebut sebagai kelezatan luar biasa. Dhaffin tak menyangka bila rupanya dalam dingin sikapnya Edna cukup mahir dalam hal mengolah makanan di dapur. “Lakukan saja apa yang aku katakan. Tidak perlu banyak tanya.” Jawab Edna lagi, wanita itu sudah berada dalam posisi siaga. Menuntut Dhaffin untuk melakukan apa yang dia pinta. “Kita harus segera pergi.” “Kemana?” diantara banyaknya tanya yang bergemuruh nyaring dikepala. Ada pihak lain pula yang ikut andil ingin tahu urusan sang wanita muda yang terlihat memiliki banyak rencana dikepala. Wanita itu tidak menjawab, membuat si penanya makin gregetan menguak lebih dalam. “Kamu mau pergi lagi Edna?” “Kau tidak perlu tahu.” Sergah Edna, membalikan badannya pula untuk menatap Dior dengan cara yang tak bisa dipercaya. Dia menyalak. “Ini perintah khusus ketua padaku.” “Tapi sebagai wakil kapten team kita. Aku perlu tahu kemana kau akan pergi Edna.” Timpalnya lagi bersikukuh menggantikan Dhaffin mencari tahu. Bagi Dhaffin, dia tak mau terus menerus berlarian tidak tentu arahnya. Entah apa yang jadi titik balik permasalahannya pula, entah apa pula yang menjadi pelaku dari pengejarannya yang mengincar nyawanya. Entah harus kepada siapa lagi Dhaffin menggantungkan harap dan kepercayaan. Semua mengabur tak menentu. “Ini tidak adil bagiku.” Ditengah keributan kecil antara Dior dan Edna, Dhaffin buka suara pula. Wajahnya terlihat kuyu. Sebab terlalu lama menendam emosi dan rasa yang tidak perlu. Meski memang benar dia sempat lupa jika dirinya berada dalam sebuah pengejaran. Namun dia disadarkan akan realita bila dirinya berada dalam bahaya. Dan sekarang entah dirinya berada dipihak yang benar atau yang salah. Keresahan yang menguar dalam dirinya membuat Edna melirik tertarik pada pemuda yang sedang berada dalam pengawasannya tersebut. Sorot mata wanita itu entah mengapa sedikit lebih melembut daripada biasanya. Namun sebentar saja, sampai wanita itu kembali mengubah ekspresi wajahnya lebih membeku. Wanita itu melenggang santai kearahnya, lalu menarik dia untuk ikut melangkah pergi bersamanya. Dengan penuh paksaan tentu saja. Tanpa kata, Edna setengah menyeret dirinya untuk masuk kedalam kamar pribadinya. “Tunggu dulu.. Edna..” Meski berusaha untuk mengelak maupun kabur, tapi wanita itu tidak selemah itu untuk dapat dipatahkan. Dia membuka pintu kamar lalu membawa pemuda itu masuk bersamanya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia menutup pintu yang berada tepat dibelakangnya tanpa menimbulkan sedikitpun suara. Sengaja membuat satu moment situasi dirinya terkurung bersama sang wanita tanpa bisa diterka maunya apa. hanya berdua saja dalam ruangan yang terkunci. “Sebenarnya apa yang kau rencanakan? Apa yang kau sembunyikan? Dan apa yang kau inginkan dariku?” Dhaffin bertanya dengan lantang, ketika seluruh amarah rasanya sudah tidak bisa tertahankan lagi. Pemuda itu mengepalkan tangannya dengan sekuat tenaga. Sedangkan wanita itu tidak sekalipun memberinya sebuah jawaban yang memuaskan selain daripada pandangan yang tak berubah. Hanya pandangan tajamnya saja yang mampu terlihat dan itu bukan lah jawaban yang terbaik yang bisa diberikan. Bukan sesuatu yang Dhaffin harapkan. Wanita itu hanya berdiri dengan sikap siaga dan diam sekilas membuatnya begidik ngeri, apakah wanita ini benar manusia? Apa wanita ini benar-benar wanita? Dimana empati dan simpati serta hati yang seharusnya mendominasi dari sosok kecilnya? Sosok yang diingat Dhaffin sebagai wanita yang menghabisi seluruh penyerang mereka dengan apa saja yang dia temukan. Entah tangan kosong maupun senapan. Tubuhnya yang berdiri tegap dan kaku layaknya robot seperti selalu siaga kalau kalau terjadi sesuatu yang buruk. Dan Dhaffin sejatinya tidak suka itu. Walaupun itu sudah menjadi kebiasaan yang tertanam dalam dirinya sejak lama. Dhaffin tidak menyukai sesuatu yang mengontrol begitu kuat. Untuk dirinya maupun oranglain. “Maaf..” suara feminime nya berkata, Dhaffin tak siap dengan itu dan hanya bisa terdiam. Wanita yang telah dia labeli sebagai robot baru saja menunjukan sikap manusianya. Dan anehnya hanya dengan satu kata itu saja Dhaffin sanggup dibuat untuk terkejut. “Aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun darimu. Aku hanya bekerja sesuai prosedur dan perintah yang ketua berikan padaku. Sudah kukatakan berkali-kali jika aku diberi misi untuk melindungimu. Hanya itu. Soal masalah yang menimpamu, atau urusan yang mungkin memberatkanmu aku sama sekali tidak tahu menahu. Kami semua tidak tahu kronologisnya dengan jelas apalagi detail. Kami tidak punya wewenang untuk mengetahui seluk beluk soal client kami.” Itu adalah sebuah kejujuran. Dhaffin menyakini itu. Wanita dihadapannya ini memang tidak tahu apa-apa mereka hanyalah dua entitas yang terjebak dalam sebuah skenario. Kemudian terkaitan satu sama lain bukan atas dasar kesengajaan. Campur tangan dari pihak ketiga yang membuat mereka menjadi boneka yang bergerak sesuai keinginan orang tersebut. Tanpa tahu tujuan apalagi maksudnya. Dhaffin hanya mampu menundukan kepalanya lagi. Kali ini haruskah dirinya meratapi nasib lagi? Dia yang memang jelas terombang ambing dengan mudah. Haruskah dirinya merasa sedih? Kecewa? Atau marah? Tapi pada siapa dia mesti menumpahkan itu semua. Sebab sang pelindung dihadapannya pun tak tahu apa-apa. Jujur Dhaffin merasa tertekan dan frustasi atas situasi sekarang ini. “Intinya yang bisa kulakukan sekarang hanyalah melindungimu. Dhaffin.” Lanjut Edna lagi. Mungkin wanita itu berusaha untuk membangun sebuah motivasi atau dukungan moril agar dirinya tak lagi terpuruk oleh tanda tanya besar yang makin menghimpit seiring berjalannya waktu. Sebab detik berikutnya Dhaffin merasakan adanya tangan yang terulur padanya. Tepat menepuk bahunya pelan. Membuat Dhaffin dipaksa untuk menengadahkan wajahnya untuk secara langsung menatap pada mata kelam yang memenjarakannya begitu saja dalam waktu singkat. “Percayalah padaku. dan jangan menyusahkanku.” Haruskah? Mestikah Dhaffin mempercayakan masa depannya yang belum pasti pada wanita ini ? pada wanita yang seolah berjanji untuk melindunginya sampai titik darah penghabisan. Mengapa ada sedikit pengharapan jika wanita itu memang benar akan melakukan apa saja untuk dirinya. Ah.. yang benar saja. Dhaffin berusaha menyegarkan otaknya. Atau bila perlu dia butuh seseorang untuk menampar pipinya agar kewarasannya kembali berjalan dengan wajar. Edna adalah seorang agen. Intelijen muda berprinsip berwatak dingin yang terlalu patuh pada perintah maupun misi yang dibebankan padanya. Edna tidak mungkin melindunginya karena sebuah embel embel rasa tak rasional. Jelas wanita itu melakukan apa yang memang seharusnya dia lakukan. Dia bergerak karena adanya alasan logis baginya untuk bergerak. Dan itu adalah sebuah prosedur, sebuah tugas, sebuah kewajiban dan keberlangsungannya sendiri sudah diatur oleh atasannya. “Tugas..” pada akhirnya Dhaffin berucap lagi, setengah memastikan dirinya. “Itu jelas tugasmu untuk melindungiku. Dan aku tidak akan menyusahkanmu.” Edna yang menepikan tangannya sendiri kini menatap sang pemuda dengan tatapan setengah tak percaya terhadap apa yang dia dengar. Matanya terlihat terbuka lebar. Tidak seperti biasanya. bibirnya terbuka seperti hendak memberikan sanggahan. Namun sebelum itu terjadi Dhaffin mengambil alih. Menyuarakan omong kosong yang memenuhi kepalanya akhir-akhir ini. Sebut saja dia sebagai seorang pria pembawa perasaan. Terserah. Karena faktanya itu memang benar. “Itu tugasmu. Melindungku adalah tugasmu aku sudah tahu itu sejak awal karena kau terus mengulanginya setiap saat. Semua ini terjadi karena tugas bodoh yang kau terima begitu saja dari atasan atau siapapun si b******k itu. Ya.. aku tahu..” katanya lagi dengan nada suara yang kian meninggi. Mungkin ini adalah puncak dari emosinya sebut saja demikian. Kepalanya sekarang kosong melompong, Dhaffin tak lagi bisa berpikir dengan jernih. Kekecewaannya terlampau mendalam. Hanya ada rasa kesal dan amarah yang meluap sekarang. Persetan! “Sialnya aku yang kau lindungi ini tidak punya hak. Tidak punya wewenang untuk mengetahui apa yang ada dibalik segala hal terjadi padaku. baiklah. Terserah padamu!” Edna membiarkan pemuda itu berkoar-koar menyuarakan apa yang menganggunya. Memberinya waktu bagi Dhaffin menyalurkan emosinya. Sebagai gantinya wanita itu tetap berdiri tangguh dan kokoh tak terganggu sedikitpun terhadap permainan berbau emosional yang sedang pria itu mainkan. Dia sama sekali tidak peduli terhadap apa yang terjadi. *** “Bereskan barang-barangmu.” Hanya itu yang mampu aku suarakan setelah pria itu selesai dengan pidato panjangnya mengenai betapa nasib yang dialaminya amat tragis dan malang. Meski hadirku disini cukup hanya dengann berdiri dan mendengar celoteh pria itu hingga habis. Dhaffin rupanya berbalik dari arahku menuju ke lemari pakaian dimana beberapa potong kain yang dia sebut sebagai busananya tersimpan apik didalam sana. Diambilnya tas besar yang dulu aku ambil sembarangan sebelum membawa pemuda ini terjebak bersamaku. Dari gelagatnya sepertinya pria itu sudah mulai bisa menggunakan akal sehatnya lagi. Karena dia berkemas sendiri atas kesadarannya sendiri bukan karena paksaan. Meskipun aku bisa melihat jelas betapa sangat tidak ikhlasnya dia mengemasi barang-barangnya sendiri. Masih kesal mungkin. Tapi itu bukan urusanku. Yang penting bagiku adalah merealisasikan apa yang aku terima dari ketua sebagai bentuk dari kesempurnaanku dalam mengerjakan misi. Soal melihat tingkahnya dan menghadapi emosinya yang mudah meledak itu sudah bagian dari resiko yang harus aku terima dan maklumi. Terlihat grasak grusuk, Dhaffin memasukan baju-baju miliknya dengan kasar kedalam koper. Sama sekali tidak mau melirikku yang masih mematung dibelakangnya dalam posisi yang sama sejak awal. Sepertinya dia sedang tidak ingin melihat wajahku, atau kurasa dia muak. Aku memaknai tindakannya sebagai bentuk daripada caranya untuk melepaskan amarah yang sejatinya dia sendiri tidak mengerti mengapa tidak bisa dia persalahkan. Aku rasa dia hanya sedang frustasi untuk menerima realita yang menimpanya jika hidup yang dirasakan akan damai dan tentram hingga mati malah jungkir balik dan apa yang dia sebut sebagai kebebasan terkikis habis karena sebuah ketakutan terhadap sesuatu yang dia sendiri tidak tahu itu apa. seperti batu karang dipinggir pantai yang terhempas ombak hebat. Yang sedikit demi sedikit terkikis. Pelan tapi pasti. Hah.. menyaksikan orang yang sedang meluapkan amarahnya bukan sesuatu yang bisa kusaksikan dengan makan ringan. Karena itu aku memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Membiarkan dirinya untuk menghabiskan waktu sendirian. Yang kurasa memang dia butuhkan. Tepat setelah bunyi decit pintu tertutup setelah kulangkahkan kaki keluar kamar aku mendengar bunyi hempasan dari sana. Ada pula bunyi gemertak dari gantungan baju yang sepertinya ditarik secara paksa. Sepertinya aku mengambil satu tindakan bijak. Membiarkan pemuda itu meratapi hidupnya sekali lagi. Pemakluman. Hidup memang tidak pernah adil bagi siapapun. Kecuali jika orang tersebut bisa menerima apa yang sudah digariskan Tuhan padanya. Dan bagiku yang sudah terbiasa akan perih dan luka. Ketidak adilan sudah jadi makanan sehari-hari. Sehingga tentu saja aku tak lagi mengeluh soal hidup yang tak adil ataupun hal serupa. Bagiku sama saja. Selama aku hidup. “Sebenarnya apa yang sudah ketua katakan padamu?” setelah menghadapi protes kekanakan dari Dhaffin aku bahkan kini dihadapkan dengan ketidaksukaan dari wakil kaptenku sendiri. Seorang pria baik hati yang meraihku dalam teamnya. Terang sekali jika pria ini juga tidak setuju atas tindakan yang kulakukan saat ini. Berusaha membawa Dhaffin keluar dan melakukan pelarian dengan rute yang tentu saja sudah ditentukan diawal sebelum tercetusnya ide ini. “Hanya misi khusus,” kujawab dia dengan dingin. Namun sialnya, dia terlalu hafal perangaiku meski aku begini. Pria itu menatapku dengan intens dan khawatir. Rautnya yang terlihat cemas membuatku perlu dengan sangat kuat menekan rasa manusiawiku dalam-dalam. “Kalau begitu biarkan aku ikut bersamamu.” Tawarnya lagi. Ketika tangannya pula ikut terulur padaku. berusaha untuk meyakinkanku jika aku memang memerlukan dirinya. Tapi tidak. Kutepis tangan itu dengan kuat dan penuh keyakinan. Tanpa rasa takut kutatap pria ini dengan tajam. Berusaha kembali mengenakan topeng terbaikku. Ketenangan. “Tidak Dior!”tolakku tegas. Aku perlu untuk menolaknya. Terus terang saja, kali ini mungkin akan berbahaya dan aku tidak ingin siapapun terlibat kedalamnya. Karena aku sendiri tidak peduli pada hidupku. Namun aku tidak mau ada seseorang yang tulus justru berharap aku bergantung padanya. tidak. Hal itu tidak akan kubiarkan terjadi. “Kau masih memiliki tugas lain disini. Jadi kau tidak perlu melibatkan dirimu dalam urusanku.” “Tapi—“ “Tidak.” “Aku khawatir padamu.” Dior berkata tiba-tiba. Kata-kata yang demi Tuhan meski sedetik bisa membuatku mengurungkan niatku untuk menolaknya. Kutatap dia dengan tatapan yang tajam. Mengenakan topengku lagi yang berusaha mengekspresikan ketidaknyamanan. Ketidaksukaan. Pria itu memegang ujung lengan bajuku. Wajahnya yang terlihat pilu tak bisa begitu saja ku enyahkan. Jelas pria itu tulus sebab tiada sedikitupun kebohongan yang kutemukan padanya. Haruskah aku mengalah? “Ini tugasku. Jangan ikut campur Dior!” tapi mulutku tak bisa bekerja sama dengan hatiku. Pada akhirnya yang keluar dari mulutku, ekspresi wajahku yang kuberikan padanya. seluruhnya bertolak belakang dengan apa yang aku ingin tunjukan. Tapi sekali lagi kuyakinkan diriku jika jalan ini benar. Memakai hati dalam memutuskan perkara tidak pernah berakhir baik. Itulah yang aku yakini. Dan aku belajar dari segala peristiwa menyakitkan dari masa laluku. “Baiklah jika itu maumu. Tapi.. izinkan aku mengantarkan kalian.” Aku memandangnya lagi. Kali ini dengan tatapan yang nanar. “Aku tahu betul sifatmu.” “Aku tidak akan mengikutimu.” “Tidak.” “Aku berjanji.” Aku tak bisa untuk tidak terperangah oleh sebab tangannya yang tiba-tiba menggenggam tanganku dengan begitu erat. Terlalu bingung dan kaget. Sungguh pria ini peduli padaku. dia teramat mencemaskan keadaanku. Kudapati jelas jika sorot matanya terdapat sebuah harapan besar bagiku untuk mengabulkan inginnya ini. Rasa yang tak ingin melepasku menguar didalam sana. Jelas terpatri pada kedua matanya yang perlahan meredup. “Terserah kau saja.” Kulepaskan genggaman tangannya padaku. Sedetik kemudian kudapati senyum lebar yang hangat diwajahnya. “Kau bisa percaya padaku Edna. Karena aku akan bertanggung jawab sepenuhnya pada seluruh anggota teamku. Sesekali jika kau lelah kau bisa bersandar padaku. Aku tidak keberatan sama sekali.” Lanjutnya sambil mengelus kepalaku secara tiba-tiba. Membuat rambutku teracak–acak dengan tangannya. Kubisikan pada sang pencipta atas apa yang kurasa. Apa ini rasa nyaman yang orang sering katakan? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD