SATU

1644 Words
Semua orang yang berada di dalam ruang rapat mengeluarkan aura yang begitu tegang pagi ini. Tidak ada dari mereka yang berani berbicara ataupun berbisik. Bahkan kalau bisa, mereka akan menahan napas agar lebih khusuk untuk menghadapi sang bos besar yang sedang membaca sebuah laporan dengan wajah serius. "Bagaimana pembangunan Hotel yang ditangani Pak Abduh?" sang Bos memulai mengabsen proyek yang sedang berjalan. "Sudah berjalan lima puluh persen Pak, dan nggak ada kendala apapun." salah satu dari mereka menjawab, lebih tepatnya adalah orang yang ikut menangani proyek tersebut. "Pembangunan Resort di Lombok?" "Sudah delapan puluh persen Pak, dan berjalan lancar." Menegakkan punggungnya, tangannya menggenggam pena, kemudian dia melanjutkan. "Andi, kemarin jam setengah tiga, apa yang kamu lakukan di kafe JS? Kamu lupa kalau di jam itu seharusnya masih jam kerja?” Matanya menatap dalam namun penuh peringatan. “Dan Cakra, kalau kamu mau menelpon pacar kamu sampai puas, kamu hanya perlu mengundurkan diri dari kantor dan kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau." Ketegangan semakin kental terasa, bagaimana tidak, jika sang bos besar bahkan tahu jika karyawannya mangkir dari tugas kantor meskipun hanya beberapa menit saja. Ini benar-benar membuktikan, jika mereka tak akan bisa membohongi bos mereka meskipun itu hanya seujung kuku. Merasa tak memiliki pembelaan diri, dua orang lelaki yang namanya disebut tadi hanya bisa menunduk takut. "Raya!" panggilnya pelan. Matanya menatap Raya dingin. "Tujuan kamu di kantor ini untuk apa sebenarnya?" karyawan yang dipanggil Raya itu menatap bosnya dengan wajah pias. "Untuk menggunakan kantor ini sebagai studio infotainment atau untuk bekerja?" dengan wajah yang masih pucat, Raya menelan ludahnya pelan. Apalagi bosnya sekarang langsung menatapnya dengan tatapan tidak bersahabat. Jadi, jangankan untuk menjawab, bernapas saja rasanya susah. Jadi, tak ada dari tiga orang pembuat kesalahan itu yang berani menjawab bos mereka. "Saya tahu, perusahaan tak akan bisa berkembang dan maju tanpa adanya karyawan. Tapi perusahaan tidak membutuhkan karyawan yang tidak berkompeten. Perusahan ini memiliki aturan, dan tak sepatutnya dilanggar." semua orang yang berada di sana hanya bisa diam tanpa berani berucap sepatah katapun. "Jadi, apa karena hal tersebut kalian jadi merasa bisa berbuat sesukanya?keluar kantor saat jam kerja, ngerumpi ketika pekerjaan di atas meja masih menumpuk, atau melakukan hal-hal di luar urusan kantor." seolah belum ingin mengkhiri ceramahnya, bos tersebut menatap si pembuat kesalahan dengan datar dan dingin. "Orang bodoh dan mau bertanya, itu lebih baik dari pada orang yang merasa pintar tapi suka melanggar aturan." sungguh, semua orang yang mengikuti rapat merasa jantungnya bertalu-talu karena takut. Bos mereka memang ahli sekali dalam hal menyindir. Laki-laki yang menggunakan kemeja warna biru dengan setelan jas hitam itu menumpukan tangannya di atas meja, wajahnya masih terlihat kaku dan tercetak jelas kemarahan di sana.  Melanjutkan kembali membolak-balikkan dokumen yang ada di depannya, membaca, dan menelitinya agar tak ada apapun yang salah di sana. Menutup dokumen tersebut, dia kembali berbicara. "Saya akan memberikan kalian penawaran menarik." Tak ada dari mereka yang tak mendengarkan dengan seksama penawaran menarik apa yang akan dikatakan oleh bos mereka. "Jika ada diantara kalian merasa sudah tidak ingin bekerja di perusahaan ini, kalian bisa langsung menyerahkan surat pengunduran diri kepada saya. Saya akan langsung ACC detik ini juga." dan setelah kalimat itu meluncur dari bibir sang bos, mereka hanya bisa menunduk tanpa berani mengangkat kembali kepala mereka, apalagi menatap bos mereka. Terkejut tentu saja. Belum juga mereka sembuh dari teguran yang diberikan, sudah diberikan lagi ‘penawaran’ luar biasa seperti itu. Dan bukan hanya orang-orang yang tadi di absen karena membuat kesalahan, tapi juga anggota meeting yang lain. Bahkan ada diantara mereka yang berbicara dalam hati mereka : "Gila aja, gue dapet kerja disini itu barokah banget, gimana mau resign." "Mending gue di larang nggak ngomong selama kerja deh dibanding harus resign." "Mending gue putusin cewek gue deh dibanding keluar dari sini." Realistis saja, lelaki yang memiliki uang akan mudah mendapatkan pasangan. Mungkin memang begitulah anggapan lelaki itu. Begitulah kira-kira yang mendengung di kepala mereka. Bagaimana tidak, bekerja di perusahaan tersebut harus melewati masa-masa sulit sebelum benar-benar di terima sebagai pegawai tetap dan yang pasti gajinya juga sangat menggiurkan. Keterdiaman mereka membuat sang bos mengerti jika dia sudah berhasil membuat karyawannya paham jika perusahaan tak memerlukan orang-orang yang suka menyalahi aturan. Dengan begitu, mereka akan lebih baik lagi dalam bekerja. "Diamnya kalian saya anggap jika kalian tak berniat untuk memberikan saya surat resign. Betul?" mereka semua mengangguk kaku. "Kalau begitu, kalian akan lebih baik dalam bekerja, tidak melanggar apa yang seharusnya kalian taati!" nada bicara sang bos menandakan jika ucapannya adalah final. Jadi mereka kembali mengangguk. "Kalau begitu, ini yang terakhir kali saya dapati kalian membuat kesalahan. Karena hanya Keledai yang bisa masuk ke lubang yang sama untuk kedua kalinya." mata tajamnya langsung menghunus semua orang yang ada di sana. Dan pasti mereka tidak akan mau disamakan dengan Keledai tentu saja kan. Begitulah kegiatan di ruang rapat setiap satu bulan sekali. Sang bos besar akan mereview semua kegiatan yang dilakukan karyawannya. Baik itu masalah pekerjaan yang mereka tangani sampai tindakan mereka yang dirasa sangat tidak pantas. Di luar sana, masih banyak orang yang kurang beruntung tidak bisa mendapatkan pekerjaan, dan di sini saat mereka memiliki pekerjaan tak seharusnya bertidak seenaknya sendiri. "Saya punya sedikit proyek pribadi untuk kalian." semua mata masih fokus dengan bos mereka dan menunggu kalimat lain yang akan keluar dari bibir yang 's****n seksi' milik sang bos. "Saya menginginkan desain rumah mewah." semua orang yang ada disana masih mendengarkan dengan seksama. Menunggu, rumah seperti apa yang diinginkan. Tentu saja kalimat itu dia tujukan untuk bagian desain. "Kalian hanya perlu memberikan kepada saya desain rumah mewah yang ada dalam bayangan kalian." Ya, dia tak akan menjelaskan secara detail keinginan proyek pribadinya itu seperti apa. Dalam pikirannya, karyawannya pasti akan lebih berpikir luas dibandingkan dibatasi dengan keinginan dia sendiri. Laki-laki dengan tinggi 178 cm itu berdiri dan merapikan jasnya yang membut karyawan perempuannya menahan napas. Bukan rahasia lagi jika Aldaka Ganendra adalah magnet para perempuan. Karena dalam satu tatap, mereka pasti akan terpikat oleh lelaki itu. Hanya saja, mereka tak akan mendapatkan perhatian Aldaka lebih dari seorang karyawan di perusahaannya. "Rapat selesai." Begitu katanya, kemudian berjalan diikuti oleh asisten pribadinya dengan langkah lebar. Menyisakan hembusan napas lega bagi karyawan di sana. **°°** Tak asing lagi bagi Daka suasana sepi di rumahnya. Pun, dengan malan ini. Masih sama dengan malam-malam sebelumnya. Belum ada perubahan sejak bertahun-tahun yang lalu. Lelaki itu berdiri di ruang kerjanya dengan menghadap ke arah foto yang terpajang rapi di dinding. Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku celana pendek yang di pakainya. Matanya memandang fokus foto kedua orang tuanya dalam diam. Rindu itu terlihat sekali di matanya. Tak bisa ditutupi apalagi dibantah. Hanya foto itulah, media yang bisa digunakan untuk menyalurkan rindu yang selalu bergemuruh di dalam hatinya. Jika dilihat di luar sana, bagaimana dinginnya lelaki itu, tak akan pernah ada yang menyangka jika sebetulnya di dalam hatinya menyimpan duka begitu besar. Bagi sebagian orang, ditinggalkan oleh orang tua bertahun- tahun yang lalu mungkin sudah tak lagi kentara rasa sedihnya. Tapi bagi Daka, hal itu tak mudah. Dia begitu menyayangi kedua orang tuanya, sampai dia merasa ingin bisa segera menyusul mereka. Tapi tidak, Tuhan tidak akan mengampuni dosanya, jika dia melakukan hal itu. Meskipun kehidupan Daka tak sebaik yang terlihat, dia tak akan bertindak bodoh seperti yang sering dilakukan beberapa tahun lalu. Dia sekarang sudah lebih dari dewasa untuk bisa memutuskan mana yang baik dan tidak. Mana yang harus di lakukan, dan tak boleh dilakukan. Meskipun kesunyian merongrong hatinya, bersyukur adalah satu-satunya jalan untuknya merasa bahagia. Karena bukan kebahagiaan yang seharusnya membuat orang bersyukur. Tapi bersyukurlah yang membuat orang bahagia. Kebanyakan dari orang lain, mereka akan sedih karena kekasih mereka. Entah karena kekasihnya meninggal, atau dikhianati. Tapi tidak dengan Daka. Lelaki itu justru merasa sedih karena kedua orang tuanya yang telah meninggalkannya. Menarik nafas panjang, Daka berlalu dari sana untuk menuju meja kerjanya. Untuk mengusir kesunyian hatinya, dia memilih menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan. **°°** Daka terbangun saat waktu masih menunjukkan pukul tiga pagi. Dia duduk dengan kepala yang pusing karena tertidur beralaskan kertas-kertas yang berada di atas meja kerjanya. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali saja, tapi setiap hari. Dengan sempoyongan dia berjalan ke arah pintu yang menghubungkan dengan kamarnya, kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan mengambil wudhu untuk melakukan sholat malam, sampai nanti adzan subuh berkumandang dan melakukan sholat subuh. Dia baru akan beranjak dari sajadah yang digunakan alas untuknya berdoa. Kebiasaan yang dilakukannya sejak dia 'sadar' dari keterpurukan yang membelenggunnya beberapa tahun yang lalu. "Mas Daka!" ketukan pintu membuat Daka berjalan ke arah pintu dan membukanya. Matahari sudah menyapa bumi Jakarta, kehangatan mentari pagi juga menelusup kedalam kamar bernuansa coklat tersebut. "Ya Bu." "Mas Daka mau sarapan apa pagi ini?" Ibu Kasih, adalah asisten rumah tangga yang paling senior di rumah Daka. Beliau bekerja sejak Daka masih berumur lima tahun. Karena itulah, beliaulah satu-satunya asisten rumah tangga yang dekat dan sedikir ‘berani’ kepada lelaki itu. Bukan berani yang seperti menentang, tapi berani untuk menasehati. Mengingatkan Daka jika lelaki itu melakukan kesalahan. Daka berpikir sejenak sampai dia meminta sesuatu untuknya sarapan. Perempuan paruh baya itu pergi untuk membuatkannya sarapan yang dimintanya. Sedangkan dia harus bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Menjalani aktifitas yang sama memang tidak akan pernah membuat Daka lelah, karena saat dia merasa putus asa hanya orang tuanyalah yang selalu ia ingat. Dulu, ayahnya berjuang untuk mendirikan perusahaan ini dengan kerja keras. Dia tak ingin membuat kedua orang tuanya kecewa karena keteledorannya. Dan satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah juga dengan cara bekerja keras seperti yang dilakukan oleh ayahnya. Bahkan kalau bisa, lebih keras dari beliau. Memang, hidupnya terlalu monoton, tapi dia menikmatinya. Sangat. Menyelesaikan sarapannya, kemudian Daka pergi ke kantor dengan mobil sport berwarna putih miliknya. Mobil kesayangannya. Mobil pertama yang dibelinya umtuk menyenangkan dirinya sendiri. Dia memang memperkerjakan seorang sopir di rumahnya, tapi dia jarang meminta sopir tersebut untuk mengantarkannya kemanapun jika memang tak mendesak. **°°**
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD