De somno expergefactus diu (kembali terbangun dari tidur panjang)

1112 Words
Kusaksikan awan hitam yang bergerak mendekati kami, banyak orang berhamburan untuk menyelamatkan diri. Kutatap beribu makhluk hitam yang melayang-layang di angkasa bersama dengan awan hitam pekat disisi kanan dan kiri. Mereka bernyanyi layaknya senandungan yang begitu memikat hati.   “huc(kemarilah)... Adrea, Huc(kemarilah)...” itulah suara yang menarikku hingga membuatku melangkah untuk mendekati mereka yang melayang-layang dan bersenandung layaknya bisikan para dewi. Merasa seperti terpanggil untuk ikut bersama dengan mereka yang terbang bebas layaknya burung-burung yang menguasai langit biru nan indah yang kini menjadikan langit terlihat gelap karenanya.   Tidak seperti diriku yang terpikat oleh mereka yang memanggilku dengan lembut, orang-orang pergi berlawanan arah dengan langkah kakiku yang terus mendekati mereka para makhluk yang kini menguasai langit luas nan hitam. Namun, ketika kian ku dekati makhluk hitam itu, lenyaplah sudah rasa kebahagiaanku, layaknya kegelapan yang mengusir rasa itu semua dan membelengguku di dalam dekapannya yang erat serta menyesakkan. Bagaikan kepedihan yang teramat pilu hingga melangkah mundur pun sukar dilaksanakan oleh diriku. Semakin dekat, emosiku semakin menggebu-gebu, seperti setitik debu yang berkumpul menjadikan sebuah kabut tebal yang mampu menghalangi pandanganku.   Berjalan, berjalan dan berjalan tanpa henti, meski kurasakan setitik keraguan yang muncul begitu saja dalam hati, namun itu sama sekali tak membuatku berhenti. “Adera!!” sebuah tangan menggenggam erat lenganku, membuatku menoleh ke arahnya… lelaki berkulit putih kemerahan dengan iris mata biru terang serta topi hitam yang ia pakai itu menarik tubuhku hingga menjauhi ribuan makhluk hitam yang melayang di angkasa itu.   Didudukannya diriku disamping tong sampah yang tertutup di sebuah gang yang terhimpit antara dua gedung tinggi menjulang di kedua sisinya, yang ia rasa aman untuk kami bersembunyi dari mereka, ribuan makhluk hitam yang melayang di angkasa, kutatap ia yang kini menatapku dengan lekat seraya berucap “Adrea, sadarlah… mereka adalah Motremus! Jangan biarkan kau dikendalikan oleh mereka!” aku terdiam mendengar kata-kata itu, mengabaikannya yang kini mengguncang tubuhku yang masih terdiam kaku seraya kembali bertanya “hei… kau mendengarku??”, seiringan dengan itu penglihatanku semakin memudar, seperti sebuah kabut yang sengaja muncul untuk menutupi kedua indra penglihatanku, hanya pendengaranku yang kini masih mendengar sebuah panggilan darinya yang berkali-kali memanggil diriku “hei… Adrea?? Adrea?? Adrea?!!” … … “!!!” Kubuka kedua mataku dan berupaya untuk mendapatkan pasokan oksigen sebanyak-banyak yang kubisa, namun aku panik, hingga rasanya nafas pun sukar untuk ku lakukan. Nafasku menjadi tersengal-sengal, merasakan bahwa aku tidak dapat menghirupnya dengan normal namun sebuah suara yang kudengar mampu menenangkan diriku, suara itu terdengar pelan seperti berbisik dengan lembut “hei…hei… tenanglah… tenanglah” hanya kata itu yang terdengar olehku, aku mencoba untuk tenang seperti apa yang bisikan itu perintahkan padaku, hingga akhirnya aku dapat melakukannya. Dapat menghirup udara dengan tenang sampai akhirnya aku bernafas dengan normal.   Pandanganku kini tertuju pada seorang lelaki yang menatapku sebentar sebelum akhirnya ia bangkit dari sisiku, berjalan pergi hanya untuk meraih segelas air putih untukku.   Lelaki itu tinggi, bertubuh tegap dengan kulit putih, rambut hitam dengan potongan undercut messy pada umumnya, hidung yang mancung dengan freckles yang menghiasi hingga kedua pipinya di sana, bibirnya tidak terlalu tebal dan tidak begitu tipis berwarna orange yang tak begitu kentara terlihat, tulang rahangnya terlihat tegas dan kedua matanya berwarna abu dengan sorot tajam namun lembut itu mampu menarik siapa saja yang menatapnya untuk tetap terpaku di sana, layaknya sebuah pemandangan indah yang sayang jika terlewatkan sedetik saja. Ku tetapkan dia adalah lelaki tertampan yang pernah ku temui semenjak aku terbangun dari tidurku dalam peti es saat itu.   Lamunanku terbuyarkan saat dia mengatakan “minumlah”, segera kuraih dan kuteguk air yang berada di gelas itu hingga tak tersisa, kembali kutatap ia seraya berucap “terima kasih.” Kurasakan sakit di sekitaran bahu kananku, kepalaku menjadi sedikit berputar dan ingatanku pun seolah terlempar pada peristiwa itu. Peristiwa ketika aku terjatuh dari jurang yang meninggalkan Julia, Minor serta Mark di sana. Peristiwa yang membuatku segera beranjak untuk menemui mereka yang mungkin saja mengkhawatirkanku. Namun, saat aku melangkah lebih jauh lagi, tubuhku seketika limbung hingga terjatuh di sana yang membuat lelaki tampan itu segera menghampiriku dan mendudukanku kembali di atas matras yang terbuat dari jerami-jerami yang telah dianyam disusun sedemikian rupa hingga matras itu menjadi amat nyaman kala aku terbaring dan terduduk di atasnya.   “apa yang kau lakukan? Jangan dulu beranjak!” titahnya padaku, kugelengkan kepalaku dan bersikeras untuk kembali berdiri “aku harus kembali, mereka pasti mengkhawatirkanku!” suaraku melengking karena serak dan kupaksakan untuk bersuara meskipun perih ketika kupaksakan seperti itu, dan ketika kembali kupikir-pikir rasanya teriakanku yang dipaksakan itu menjadikannya seperti jeritan nenek-nenek tanpa gigi mereka. Meskipun rasa malu ini menjulur dalam diriku, aku tetap menatapnya dengan serius seolah suaraku tadi baik-baik saja “kau baru saja sadar dari koma mu!” aku tertegun, berusaha untuk mencerna apa yang baru saja kudengar dari lelaki tampan itu.   “apa kau bilang??” tanyaku seraya menatapnya yang kini kembali berucap “kau koma, dan ini sudah satu tahun semenjak kau koma” Kutatap dia dengan perasaan tidak percaya, dia mengatakan bahwa aku baru saja terbangun dari koma ku. Tenggorokanku tercekat ketika mendengar ucapannya, terasa sangat kering dan tercekik, pikiranku terus melayang pada kata ‘satu tahun’ yang kurasa itu adalah waktu yang sangat lama hingga kembali kutatap ia dan berkata “seingatku aku terjatuh, seharusnya aku mati” nada suaraku kini terdengar putus asa, jika benar ini satu tahun lamanya maka aku tidak tau apa yang terjadi pada mereka yang berada di bibir jurang saat itu, aku menganggap seolah mereka sudah tak tertolong lagi… dan itulah yang membuat nadaku terdengar putus asa, kutatap ia yang menggelengkan kepalanya dengan tenang dia duduk tepat disampingku seraya menjelaskan bahwa adiknya lah yang menemukanku dipinggir sungai dengan luka yang kudapati disekujur tubuhku. Itu terjadi ketika ia dan teman-temannya hendak menangkap ikan di sungai sekitar wilayah ini. Oke itu penjelasan yang mampu membuatku terdiam dan berpikir bahwa kemungkinan besar dasar dari jurang tempat dimana aku terjatuh adalah sebuah sungai. Berterima kasihlah karena sungai menyelamatkanku saat itu.   “untuk saat ini, lebih baik pulihkan kondisimu terlebih dahulu dan selebihnya kau bisa tentukan sendiri tujuanmu” kutatap lelaki itu pergi meninggalkanku di gubuk itu. Dia adalah lelaki yang memiliki pemikiran dewasa, itulah yang ada dalam pikiranku ketika melihat punggungnya menjauh dan menghilang di balik tirai yang menutupi gubuk ini. … … Aku duduk termenung, mengingat kejadian saat itu. Kejadian ketika dengan bodohnya aku terhempas dari jurang itu, seandainya aku dapat mempertahankan pijakannku atau seandainya aku lebih kuat lagi, maka ini tidak akan terjadi. Pikiranku melayang, mencemaskan keadaan mereka yang berada di jurang saat itu. Apakah mereka akan baik-baik saja? Apakah mereka mencariku?. itulah kiranya pemikiranku saat ini.   “hei” sebuah panggilan membuatku menoleh dan kembali menatap lelaki itu yang saat ini membawa semangkuk bubur untuk kemudian ia serahkan padaku “makanlah, setidaknya ini akan membantumu untuk cepat pulih” kuanggukan kepalaku mengiakan ucapannya dan mengambil mangkuk yang terbuat dari tempurung kelapa yang terasa hangat ketika kusentuh, kembali kutatap ia yang berbalik hendak meninggalkanku “tunggu! Siapa namamu?” tanyaku yang membuatnya berhenti melangkah dan berbalik menatapku, “Rason… Rason Rusk” aku tertegun sebelum akhirnya tersenyum dan memperkenalkan namaku “aku Adrea Hunt, terima kasih telah menolongku, Rason” ucapanku saat ini membuatnya tertegun sebentar menatapku sebelum akhirnya mengangguk dan pergi.   Kutatap mangkuk bubur jagung yang kini menjadi dingin, aku termenung dan kembali tenggelam dalam pikiranku mengenai lelaki bertopi yang memanggil makhluk dalam mimpiku itu sebagai Motremus. Hal yang menghantuiku saat ini adalah siapa lelaki itu? Dan apa itu Motremus? Semakin kalut dalam pikiranku, membuatku semakin tenggelam ke dasarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD