5. Call Me, Kenzo

944 Words
"Kenapa kita tidak menggunakan kelas ekonomi?" Itu adalah pertanyaan ketiga yang terlontar dari bibir Alexa. Demi Tuhan, Kenzo merasa ingin menyumbat telinganya agar terbebas dari suara berisik Alexa. Pria tampan itu menarik napasnya perlahan lalu mengembuskannya. "Gadis kecil, apa kau tahu berapa jam perjalanan kita?" tanyanya dengan nada ramah dan tentunya perasaan yang disabar-sabarkan. "Aku ingin sekali merasakan kelas ekonomi." Gadis kecil itu merengek. Diam-diam Kenzo mengeraskan rahangnya. Oh, andai saja jendela di dalam pesawat bisa dibuka ia akan melemparkan Alexa dari pesawat saat ini juga. "Alexa, perjalanan kita lebih dari sebelas jam." Alexa memperbaiki posisinya, bibirnya mencebik. "Orang lain baik-baik saja," katanya. Kenzo nyaris putus asa, ia adalah putra dan pewaris kekayaan keluarga Yamada, ia mampu menyewa pesawat bahkan keluarganya juga memiliki satu pesawat pribadi. Dan yang terpenting adalah sekarang ia membawa putri salah satu konglomerat di Inggris, apa pantas jika mereka duduk di kabin ekonomi? Membawa Alexa di kelas bisnis saja ia merasa kurang pantas, tetapi mau bagaimana lagi karena kelas pertama telah penuh terisi. "Lebih baik kau tidur." Akhirnya Kenzo memilih mengucapkan kalimat yang tidak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan Alexa. "Aku tidak bisa tidur tanpa Mommy di sampingku," gumam Alexa. Biasanya ia ditemani oleh ibunya hingga ia tertidur dan baru akan ibunya meninggalkan saat ia benar-benar telah tertidur. Baiklah, satu kesulitan kembali muncul. Kenzo semakin menyadari jika dirinya dalam bahaya besar. Sangat besar malah karena gadis bertubuh kecil itu bukanlah balita melainkan seorang bayi yang mungkin harus ia Ninabobokan. "Apa kau ingin menyalakan lampu?" tanya Kenzo. Anggukan lemah Alexa sedikit membuat Kenzo sedikit merasa panik, ia takut jika gadis kecil itu menangis. Kenzo memang memiliki beberapa orang keponakan, tetapi bukan berarti ia harus memperlakukan Alexa seperti keponakannya bukan? Oh, ayolah. Dia tampaknya sungguh-sungguh dan hendak menangis. Setelah menyalakan lampu baca untuk Alexa, Kenzo kembali duduk lalu ia berdehem. "Apa kau ingin makan sesuatu?" Alexa hanya menggelengkan kepalanya, ia lalu memeluk boneka lumba-lumba yang ia bawa dari salah satu koleksinya di kamarnya. "Jadi, ini pertama kali kau tidak tidur di kamarmu?" Alexa dengan malas melirik Kenzo dengan lirikan mengabaikan. "Aku pernah kok menginap di apartemen Grace." Kenzo menelan ludahnya, ia tahu siapa yang di maksud Alexa. Grace adalah salah satu kakak perempuannya, anak angkat di keluarga Johanson yang dinikahi oleh putra pertama keluarga itu. "Apa kau ingin menonton?" Kenzo melembutkan nada bicaranya karena bagaimanapun gadis kecil itu tampak sedang berjuang melawan kesedihannya berpisah dari keluarganya untuk pertama kali. Alexa menoleh ke arah Kenzo. "Bukankah kau tadi menyuruhku untuk tidur?" tanyanya dengan nada sangat ketus. Kesabaran Kenzo mulai terkikis, ia telah berusaha dengan baik menghadapi gadis kecil itu, tetapi hasilnya sama sekali tidak ada yang benar. Ia menawarkan semua kebaikan, tatapi semua berujung dengan sikap menjengkelkan Alexa yang seolah menganggapnya musuh. Benar-benar menjengkelkan! *** "Ini adalah liburan pertamaku!" Seru Alexa sambil menyeret kopernya yang berukuran kecil setelah mereka keluar dari pengecekan imigrasi. Ia menolak bantuan Kenzo yang menawarkan diri untuk membawakan kopernya yang berukuran mini dan berwarna pink. Mendengar itu Kenzo mengerutkan keningnya. "Kau tidak pernah berlibur?" Rasanya mustahil jika anggota keluarga Johanson tidak pernah berlibur. "Ini adalah liburan pertamaku sendirian, tanpa bodyguard, tanpa siapa pun dan aku bebas. Terima kasih kau telah memuluskan semua rencanaku," ucap Alexa sambil menyeringai lebar. Kenzo tiba-tiba berdiri di depan Alexa membuat gadis itu menabrak d**a bidangnya. "Apa maksudmu?" Alexa mengerjapkan matanya beberapa kali. "Terima kasih kau telah memuluskan rencanaku terbebas dari bodyguard dan aturan keluargaku," ucap Alexa sambil meraih ponsel yang ada di dalam saku celananya. "Aku akan mencari taksi, menuju hotel dan mencari seorang guide." "Apa kau sinting?" Kenzo bukan hanya terkejut mendengar ucapan Alexa. Tetapi, seribu kali terkejut karena Alexa ternyata memanfaatkanya untuk kepentingan pribadi. Gadis itu ingin bebas dari belenggu keluarganya. Ia membawa Alexa, mendapatkan kepercayaan orang tua Alexa dengan mudah bukan tanpa jaminan. Pertama, keluarga Johanson mengenal kakeknya Edward Pollini sebagai seorang komposer yang tidak diragukan lagi ketenarannya sebagai pianis juga pemimpin orkestra. Kedua, nama baik keluarga Yamada beserta perusahaannya pasti akan menjadi taruhannya jika sedikit saja ia membuat Alexa dalam bahaya. Apa lagi yang Kenzo dengar dari Gabriel, Alexa adalah putri kesayangan ayahnya. Alexa mengulurkan tangannya, gadis itu menepuk pundak Kenzo. "Kau tenang saja, aku jamin keluargamu dan perusahaanmu juga aman, aku akan mengatakan kepada Daddy bahwa kita tidak cocok dan kita putus. Mudah bukan?" Begitu ringan kata-kata itu terlontar dari bibir Alexa, seringan bulu, tanpa beban apa pun. Baiklah, Kenzo mengakui gadis kecil itu pandai membaca situasi, tetapi semua tidak semudah yang Alexa ucapkan. "Kau tinggal di rumahku, rumah orang tuaku sesuai perkataanmu, aku akan mengenalkan kau pada orang tuaku sebagai kekasihku," ucap Kenzo setengah menggeram. Alexa ternganga. "Hah?" Kenzo meraih pergelangan tangan Alexa, ini adalah masalah tanggung jawab. Tadi malam ia telah menyanggupi untuk menjaga Alexa sebaik mungkin, hanya menjaganya selama gadis itu berada di Tokyo, hanya dua minggu. Tidak akan sulit, ia bisa mengatur pekerjaannya nanti, ia bisa pergi ke perusahaan jika situasi sangat mendesak atau mungkin ia juga bisa membagi waktunya. Pria itu menyeret Alexa menuju pintu keluar di mana sopir pribadinya telah menunggu. "Tuan Yamada, aku telah merencanakan liburanku sendiri, aku tidak ingin bersamamu, tidak ingin bersama siapa pun." Alexa berusaha membebaskan pergelangan tangannya. Tuan Yamada. Entah kenapa, ia tidak suka Alexa memanggilnya dengan panggilan seformal itu. "Panggil aku, Kenzo!" Titahnya. Alexa tidak peduli, ia masih berusaha meronta untuk membebaskan pergelangan tangannya yang di cengkeram telapak tangan Kenzo yang lebar. "Lepaskan atau aku berteriak!" Kesabaran Kenzo telah menguap bersama dengan udara yang ia hirup, dengan sekali sentakan ia meraih tubuh kecil Alexa, ia mengangkatnya seolah mengangkat benda ringan lalu meletakkan tubuh Alexa di sebelah pundaknya lalu meraih pegangan koper milik Alexa dan menyeretnya. Melangkah dengan langkah kaki lebar dan tegap menuju pintu kedatangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD