Prolog

1000 Words
Di dunia ini tak ada yang tahu bagaimana cinta bermula, tahu-tahu hati kita telah dikuasainya. Tak ada yang bisa mencegah rasa itu. Ia hadir bagai pencuri yang sembunyi-sembunyi, namun kepergiaannya meninggalkan luka yang begitu dalam. Cinta ... memang tak bisa ditebak. Dan sialnya, rasa itu kerap menghancurkan dunia seseorang. Wanita itu menyandarkan tubuhnya pada tembok dan menyembunyikan dirinya di sana. Dalam diam ia mendengarkan pembicaraan lelaki di hadapannya secara sembunyi-sembunyi. “Apa benar saya yang terpilih untuk kuliah di Inggris, Pak?” Ada jeda sebelum pembicaraan berlanjut. “Baik, saya hanya terkejut dan nggak menyangkanya.” Dapat Chelsea lihat senyum miris yang menghiasi wajah tampan yang begitu dikaguminya. “Tapi, Bapak tahu sendiri jika saya sudah menikah. Rasanya susah untuk meninggalkan istri saya sendiri di sini. Apalagi setelah kehilangan yang kami alami.” Hati Chelsea seakan diremas kuat-kuat, sakit, hingga membuat dadanya terasa sesak bukan main. Kehilangan yang dimaksudkan lelaki itu semua karna kesalahannya. Jika saja ia tak bersikeras untuk keluar rumah saat hujan deras demi membeli sayur yang disukai suaminya. Andai saja, ia tak menghina lelaki itu, hingga merasa bersalah. Mungkin kini bayi mereka telah lahir ke dunia dan berada dalam pelukannya. Kaki Chelsea begitu lemas dan ia telah kehilangan semua tenaga yang dimilikinya. Chelsea berjongkok, menutup mulut dengan kedua tangannya agar lelaki itu tak dapat mendengarkan isak tangisnya yang pilu. Ya Tuhan ... ini semua karna kebodohannya. “Saya mengerti, Pak. Kesempatan emas ini nggak bakalan datang dua kali. Baik ... terimakasih banyak Pak atas tawarannya.” Dengan sisa tenaga Chelsea menyeret tubuhnya untuk menjauhi tempat itu. Ia tak ingin lelaki itu tahu jika ia telah mendengarkan percakapan mereka. Chelsea berlari tanpa tujuan, hingga kakinya membawanya ke taman yang berada tidak jauh dari rumah mereka. Ia menarik napas, lalu menghelanya perlahan, berusaha mengatur napas yang terengah-engah. Chelsea duduk pada bangku taman yang berada di bawah pohon Akasia besar. Ia mengadahkan wajah ke arah langit, menatap kosong angkasa yang begitu cerah, tak seperti hatinya yang kelam. Chelsea tahu, jika ia harus mendorong lelaki itu menjauh. Ia tak boleh egois dan membiarkan lelaki itu jatuh bersamanya. Masa depan lelaki pintar seperti suaminya masih begitu cerah dan tak seharusnya cintanya membuat lelaki itu hancur. Air mata kembali membasahi pipi Chelsea. Ia menepuk-nepuk pelan d**a, mencoba mengusir rasa sesak di d**a, namun tak peduli sekeras apa pukulannya. Rasa menyakitkan itu tak mau hilang, malah bertambah parah. Tangisan Chelsea semakin menjadi-jadi. Ya Tuhan ... bisakah aku melepaskannya? Aku telah kehilangan bayi kami, apa aku harus kehilangan dirinya juga? Bisakah aku hidup tanpanya? Banyak tanya yang bermain di benak Chelsea. Tanya yang membuat dadanya semakin sesak dan ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Melepas berarti mati, namun mengikat lelaki itu pada tiang keegoisannya pun membuatnya merasa sakit bukan main. Apakah ini pertanda, dongeng yang ia tulis harus segera diakhiri? *** Chelsea duduk termenung pada sofa samping jendela rumah. Ia menatap kosong ke depan. Hidupnya kacau hanya karna cinta yang egois. Harusnya, ia tak begitu kerasa kepala dan memaksakan rasa. Lihatlah apa yang telah dirimu lakukan pada dirimu sendiri, Chel? Lihatlah lelaki yang kamu cintai, dia bekerja mati-matian dan mengorbankan masa depannya yang cerah hanya karna kata ajaib yang kamu banggakan—cinta? Inikah cinta yang kau sombong-sombongkan? Naif benar, atau mungkin kau terlalu banyak membaca kisah dongeng? Pijatan lembut pada pundak menyadarkan lamunan Chelsea. Wanita itu tersenyum tipis, ia tahu benar tangan siapa yang berada di sana dan membuat pundaknya terasa sedikit lebih nyaman. Chelsea tak bersuara, ia kembali sibuk dengan pemikirannya sendiri. Lelaki itu menghentikan pijatannya, lalu duduk di sofa yang Chelsea tempati. Ia mengusap lembut wajah cantik wanita itu. Hatinya terasa pilu. Sakit bukan main. Kehilangan yang mereka alami bukan saja meninggalkan beban tersendiri di hatinya, namun ikut mengubah wanita manja yang biasanya sangat periang itu. “Sayang ... kamu mau makan apa?” Chelsea tak merespon. Tatapannya masih fokus pada jendela di sampingnya. Air mata lelaki itu jatuh, dadanya sesak melihat keadaan Chelsea dua bulan belakangan ini. Ia lebih suka wanita itu bersikap manja, merepotkan, dan memarahinya bagai bos yang memerintah bawahan. Ia tak ingin Chelsea berubah menjadi mayat hidup yang tak mampu mengatakan sepatah katapun bila ditanya. Ia akan melakukan apa pun, demi mengembalikan kebahagiaan wanita yang dicintainya itu? Jangankan kehilangan masa depan, ia pun rela jika harus mati demi cintanya. “Chel ... maafin aku,” ucap lelaki itu. Ia menempatkan wajahnya pada pundak kecil Chelsea, air matanya mengalir semakin deras, diikuti oleh air mata Chelsea. Keduanya menangis sesegukan. Hanya isak tangis pilu yang mengisi ruang tamu yang tak begitu besar itu. “Mari kita bercerai, Ga.” Angga terperanjat dan segera mengangkat wajahnya dari bahu kecil Chelsea. Ia menangkup wajah wanita itu dengan kedua tangannya dan memaksa wanita itu untuk melihat ke dalam manik matanya, berharap wanita itu dapat melihat deritanya juga. Bukan hanya wanita itu yang terbelenggu pedih, ia pun merasakan hal yang sama. Ia hancur. “Kamu ngomong apa, Chel? Jangan begini.” Chelsea menatap ke belakang punggung Angga. “Berada di dekatmu terasa begitu menyakitkan, Ga. Aku merasa sesak napas hanya dengan berada di satu ruangan denganmu.” Air mata Angga mengalir semakin deras, dadanya sesak bukan main. “Aku mencintaimu, Chel. Kita bisa bangkit lagi. Aku akan berusaha lebih keras. Aku nggak mau kehilanganmu.” Lelaki itu mengusap lembut wajah Chelsea, “Lihat aku dan bilang sekali lagi kalau kamu mau semua ini berakhir. Jangan bohongi aku, Chel.” Dengan sisa keberanian Chelsea menatap ke dalam manik mata Angga. Luka yang sama terlukis jelas di sana, namun semua ini demi kebaikan lelaki itu. Dirinya hanya akan menjadi beban dan Chelsea tidak mau lelaki itu ikut hancur bersamanya. “Aku mau kita cerai!” ucapnya tegas tak terbantahkan. Tangan Angga terlepas dari wajah Chelsea, ia menatap wanita itu nanar. Hatinya hancur berkeping-keping. Harus seperti inikah pernikahan yang mereka perjuangkan diakihiri? Bagaimana dengan mudahnya wanita itu meminta cerai, jika kata itu adalah pisau yang akan menusuk jantungnya begitu diucapkan. Angga menutup wajah dengan kedua tangannya. Berteriak histeris dan air matanya mengalir semakin deras, Chelsea yang melihat pemandangan menyakitkan itu ikut menangis sejadi-jadinya. Isak tangis keduanya kembali memenuhi ruangan. Mengapa harus ada hati yang patah jika memang cinta itu ada? Mengapa harus ada jiwa yang hancur jika rasa berbalas? Bukankah harusnya pernikahan adalah akhir untuk kisah cinta yang abadi, lalu mengapa pernikahan malah membuat keduanya hancur lebur?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD