9. Mengunjungi dia yang telah pergi

1324 Words
Kamar dengan nuansa hitam itu kembali hening. Sang dokter yang bernama Juna itu dengan telaten mengoleskan salep pada luka gigitan di bahu kanan Aldo. "Maaf, kalau boleh tau. Ini kenapa bisa dapat luka gigit Al?" Juna bertanya dengan sedikit santai, sedikit penasaran saat melihat bahu pria itu berdarah dan ada luka gigitan disana. Mereka bisa dibilang akrap. Sudah berteman sejak berada di sekolah dasar dan berpisah saat mereka kuliah di tempat yang berbeda. Aldo memilih tetap di tanah air sedangkan Juna memilih mengemban pendidikan diluar negeri. Sempat putus kontak, namun sahabatnya yang sekarang berprofesi sebagai seorang dokter itu kembali menghubungi Aldo saat dirinya hendak menikah dengan gadis berdarah Eropa. Semenjak saat itu mereka kembali akrab, dan tentu saja Juna lah yang selalu merawat Aldo ketika sakit karena sahabatnya itu punya kenangan buruk di rumah sakit. Membuat pria itu enggan menginjakkan kaki di tempat itu lagi. "Biasa, digigit anjing." Aldo menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Juna menurut sudut pandangnya. Aldo tidak salahkan? Mana ada manusia yang menggigit orang lain dengan brutal seperti itu? Aldo membiarkan sahabatnya itu mengobati luka di bahunya. Sementara Aldo, matanya terus terfokus pada pintu kamarnya yang beberapa saat yang lalu kembali dibuka membawa gadis itu keluar dari kamarnya. "Dih! Sialan! Bos lo takut banget gue grepe-grepe apa Lix?!" Di balik pintu itu Aca tengah menggerutu. Tatapan hausnya membuat Aca di usir dari kamar Aldo, tentu Felix ikut menemaninya karena gadis itu takut sendirian. "Mentang-mentang badan bagus gitu, dikira gue tergoda apa?! Najis!" "Tapi, iya sih dikit. He he." Tak ada habisnya, umpatan dan cacian terus Aca lontarkan untuk tuan rumah. Telinga Felix dibuat lelah karena mendengarnya. Ingin rasanya Felix membekap mulut Aca dan menyuruhnya diam. Tapi apa daya, dia tak punya keberanian untuk berurusan dengan Aca. Takut jika Aca juga akan menggigitnya. "Kok lo diem aja sih?! Ngemeng kek! Gue heran deh, kok lo bisa tahan gitu sih kerja sama dia?" Aca mulai kesal lagi pada Felix. Pria berkaca mata itu hanya mendengarkannya sambil menunduk sedari tadi, tak ada niat untuk ikut mengucapkan sumpah serapah untuk Aldo. "Maaf nona, tuan Aldo tidak seburuk yang nona pikirkan. Tuan itu baik, hanya saja wataknya memang tegas." Felix menaikkan kaca mata nya yang melorot, pria itu berusaha menjaga citra bosnya di depan orang lain. "Halah, bacot! dahlah, gue mau balik! bye!" "Anu, tapi lutut nona ha-" "Kagak usah lebay lo. Gue bukan tuan lo yang apa-apa langsung ke dokter. Mana di bilang Rabies lagi, pala tuan lo tuh Rabies!" Felix tak bisa lagi menahan Aca. Gadis itu sudah menuruni tangga. Keputusannya untuk pulang sudah bulat. Sepersekian menit setelahnya, Juna keluar dari kamar. Pria itu menepuk pelan bahu Felix yang tengah termenung menatap tangga. Dia tidak kesurupankan? "Bengongin apa, Lix?" Pria berkaca mata itu terlonjak kaget. Sedikit manarik nafas dalam lalu kembali menoleh pada Juna yang sudah berada di samping kanannya. "Ah, tidak. Apa pengobatannya sudah selesai?" Juna mengangguk sebagai jawaban. "Tadi Aldo bilang ada luka lain yang harus di obatin. Luka siapa? Kamu?" Felix menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bagaimana ya cara menjelaskannya, Felix bingung. Dia hanya sedikit menggelengkan kepalanya. "Loh, si anjing mana?" Suara berat Aldo kembali terdengar. Pria itu baru saja keluar dari kamarnya mengenakan kaos hitam tanpa lengan dan celana pendek di atas lutut. Felix dan Juna kompak menoleh. Apa mereka salah dengar? Sejak kapan pria itu memelihara binatang berbulu dan menggonggong itu? "Ah, maksudnya, Aca dimana?" "Maaf tuan, nona Aca sudah pulang. Saya sudah bilang untuk tidak pulang dulu agar lututnya diobati, tapi nona menolak." Aldo mengkerutkan keningnya. Entah kenapa dia tidak suka mendengar kabar bahwa Aca sudah pulang. Aldo yakin dia bukannya khawatir, hanya saja tidak gentlemen membiarkan seorang wanita pulang dalam keadaan terluka. Itu bertentangan dengan moto hidupnya. ... "Hai pa, apa kabar?" Gadis dengan rambut terurai sepinggang itu menatap sendu sambil tersenyum pada sebuah batu nisan yang tertancap di gundukan tanah. Adam Pratama, nama itu tertulis di sana. Nama dari seorang pria yang sudah lama meninggalkan buah hatinya. Aca mengibas-ngibaskan telapak tangannya kearah mata, mencegah buliran putih itu keluar dari sana. "Aca bawa dua kabar nih, buat papa. Ada yang baik, ada yang buruk. Papa mau denger yang mana dulu nih?" Meskipun tak ada jawaban Aca tetap bermonolog sendiri. Seram juga kalau ada yang menjawab. Tangan gadis itu berhenti sebentar mengelus batu nisan dan beralih mencabut beberapa rumput liar yang tumbuh di sana. "Kabar buruknya, matan istri papa kagak berubah juga. Setelah sekian tahun selalu berakhir di pecat oleh tempat kerjanya, sekarang mama udah naik pangkat hampir jadi buronan because bawa kabur duit perusahaannya. Keren nggak tuh, pa? Mantan istri papa loh itu." Aca merubah posisi jongkoknya menjadi duduk bersimpuh di atas tanah tanpa alas apapun, tak peduli dengan dress nya yang akan kotor. "Tapi kagak usah sedih. Karena kelakuan mantan istri papa yang udah another level itu, Aca jadi dapet suami. Kurang keren apa lagi coba? Agak tua sih, tapi tajir pa. Oke kan? Bisa numpang idup, bodo amat kalau jadi benalu. Toh dia yang mau kok. Buat nutupin berita gay katanya." Aca berhenti sejenak. Tenggorokannya seolah tercekat saat ingin mengeluarkan kalimat berikutnya. Mengenang masa lalu yang kelam didepan pusara yang menjadi tempat pelarian saat sedih dan berbagi cerita. Serta mengunjungi dia yang telah lama pergi, bukanlah perkara yang mudah bagi Aca. "Pa sejujurnya, kalau Aca ngebayangin lagi gimana pernikahan mama sama papa, Aca jadi takut tahu nggak? KDRT, masalah finansial, diomongin yang nggak-nggak sama orang. Aca nggak akan ngerasain hal itu kan pa?" Lolos sudah air mata yang sudah ia tahan sejak tadi. Mengenang masa dimana Aca kecil bersembunyi dibawah tempat tidur berharap teriakan, suara barang yang dilempar, suara tamparan dan tendangan dari kedua pasangan yang tengah bertengkar dengan hebat itu tak terdengar lagi. Kenangan itu sudah lama terjadi, namun Sekarang entah kenapa tubuh Aca kembali dibuat gemetar kala ia ingat bagaimana ia menahan takut di kolong tempat tidur sambil memeluk erat sebuah boneka beruang berwarna cokelat miliknya. "Aca akan baik-baik aja kan pa? Aca nggak mau berakhir gantung diri kayak papa." Menikah, adalah satu kata yang berarti malapetaka bagi Aca. Dulu, Aca percaya bahwa akan ada pangeran berkuda putih yang akan membawanya keluar dari lubang hitam itu, pangeran yang akan memperlihatkan beta indahnya pelangi, dan betapa berwarnanya dunia ini. Tapi itu dulu. Sejak sang papa memilih untuk mengakhiri hidupnya, sejak sang mama memilih untuk menelantarkannya, dan sang mantan kekasih yang juga melakukan kekerasan mental dan fisik pada dirinya, membuat Aca sadar bahwa dongeng itu memang hanyalah sebuah dongeng. Tak akan sada seekor katak yang berubah menjadi pangeran, tak akan ada pengeran yang akan mencari mu hanya bermodalan sebuah sepatu kaca, dan tak akan ada siburuk rupa yang mencintai mu apa adanya. Bagi Aca hanya ada para pria yang tak bisa di percaya, kasar, dan egois yang ada dalam hidupnya. Sudut pandangnya tentang pria sudah berubah sejak lama. Tak ada lagi cinta pada pandangan pertama, yang ada hanya rasa was-was. Tapi Aca hebat, dia tak ingin terlihat lemah. Gadis itu menutupi semua luka dihidupnya dengan tawa dan tingkah somplaknya. Bodohnya semua orang tertipu. Tawa menjadi pembungkus lukanya, bersikap sok kuat menjadi kebiasaan baginya. Aca tak hanya menipu semua orang, dia juga menipu dirinya sendiri, berusaha meyakinkan bahwa ia baik-baik saja. "Ck! papa kayak Felix tau nggak. Diajakin ngomong diem aja. Kagak asik! Anak papa mau nikah loh! Kasih tutor malam pertama atau apa kek gitu!" Aca menghapus air matanya, tak ada waktu untuk bersedih pikirnya. Gadis itu mulai berdiri dan menepuk-nepuk bagian belakang dress nya, menyingkirkan tanah yang ada di sana. "Beneran kagak ada nih? Kalau gitu Aca pamit pulang ya. Ngomong sama papa dikacangin mulu." Aca melangkah pergi dari sana. Setidaknya beberapa kekhawatirannya akhir-akhir ini sudah tercurahkan. Dia tentu saja rindu pada sosok yang sudah terkubur di dalam tanah itu. Tapi apa daya, papanya memilih menyerah. Dulu pria itu tak peduli pada anak semata wayangnya yang menangis, memohon agar papanya memilih untuk menetap di sampingnya, pria itu tetap memilih menggantung dirinya di ruang tamu, tepat didepan anak perempuan yang memeluk boneka beruang miliknya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD