Bab 5 - Ratu Penggoda

1952 Words
“Astaga, Mel! Kamu teriak kenapa?” Refleks, Nora menutup telinganya karena Mely berteriak tepat di sampingnya. “Aku lupa dengan perintah ibu ratu tadi. Mati aku!” Mely bergegas menghubungi Bima untuk meminta proposal yang akan digunakan oleh Helena. Karena terlalu sibuk bergosip, ia malah mengabaikan pekerjaan pentingnya itu. “Huh, kirain ada apa,” sungut Nora, lalu terkikik geli melihat Mely yang kebingungan. “Kamu memang cari mati, Mel. Siap-siap saja kamu menghadap ibu ratu.” Nora kembali meledek rekan kerjanya tersebut, lalu kembali menoleh kepada pria tampan yang mengakui dirinya sebagai asisten baru atasan mereka. “Ibu ratu?” Pria itu mengernyitkan keningnya. Ia terlihat bingung dengan percakapan para wanita tersebut. “Nanti kamu juga bakal tau siapa ibu ratu kita,” tukas Dewi yang masih menatap karyawan baru divisi mereka dengan sorot mata kagum. “Ck, air liurmu hampir menetes, Wi,” goda Nora seraya mengangkat dagu Dewi yang sejak tadi terbuka seperti orang bodoh. Dewi merengutkan bibirnya, lalu menimpali, “Kamu sendiri juga, huh!” “Kamu namanya siapa tadi? Jovan?” tanya Nora memastikan lebih lanjut. “Jovan Bieber namanya,” celetuk Dewi yang kembali cengegesan menatap pria tampan nan rupawan tersebut. “Itu Justin Bieber, Wi,” tukas Nora seraya mengembuskan napas lelah. Pria itu hanya tersenyum tipis menanggapi celotehan kedua wanita tersebut. “Saya Jovan,” jawabnya yang kembali memperkenalkan dirinya. “Saya Nora. Kalau yang tersenyum bodoh denganmu ini Dewi namanya. Yang sibuk di sana itu Mely, lalu masih ada satu lagi namanya Bima, tapi dia tidak masuk,” terang Nora memperkenalkan dirinya dan para rekannya secara singkat kepada asisten Helena yang baru tersebut. Pria itu mengangguk paham. Manik mata Nora menyipit tajam. Ia meneliti wajah pria bernama Jovan tersebut dengan seksama, lalu bergumam, “Wajahmu tidak asing. Sepertinya aku pernah melihatmu.” “Iya, aku juga berpikir seperti itu,” timpal Dewi yang ikut memandang wajah pria itu. “Sepertinya kamu mirip dengan Tuan Muda Rahardian yang itu deh,” celetuk Nora yang membuat Dewi terkejut, lalu mengangguk mengiyakan ucapannya. “Iya, benar. Kamu mirip dengan Tristan Rahardian yang itu,” tukas Dewi dengan lantang. Mely yang masih sibuk menelepon Bima sampai menoleh. Pria itu tersenyum gugup, lalu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal dan berkata, “Oh ya? Memang sih akhir-akhir ini banyak yang berkata seperti itu padaku sejak gosip dia beredar. Bukankah wajar kalau di dunia ini ada tujuh atau delapan kembaran yang mirip wajah kita?” “Benar juga sih,” timpal Dewi yang langsung percaya dengan ucapan pria itu. “Tapi, kamu benar-benar mirip kalau tidak pakai kacamata,” Nora masih memandang rekan kerja barunya itu dengan lekat. “Nor, tidak mungkin seorang tuan muda mau bekerja di sini menjadi asisten biasa. Jovan cuma mirip doang. Lagian masih ganteng Jovan daripada si Berengsek itu,” cetus Dewi yang langsung menepis pikiran Nora. Kening pria itu langsung mengerut mendengar u*****n yang bergulir dari bibir Dewi. “Jangan diambil hati ya, Jov. Kalau ada hal yang kamu tidak paham, kamu boleh kok bertanya sama aku,” ucap Dewi dengan nada yang mendayu manja. Nora memutar bola matanya dengan malas melihat kelakuan rekannya tersebut. “Tidak apa-apa. Aku sudah sering disalahpahami karena wajahku ini. Aku dengar kalau wanita yang digosipkan itu juga sekarang bekerja di sini. Aku jadi khawatir,” ujar pria itu yang masih bersikap tenang meskipun mendapatkan kecurigaan dari para rekannya. “Justru dia adalah orang yang harus kamu temui setiap harinya, Jov,” timpal Nora yang mencoba untuk menerima kemiripan tersebut dan berpikir ucapan Dewi ada benarnya. “Sorry nih potong sebentar.” Mely tiba-tiba menyela dan berkata, “Anak baru, kamu sudah ditunggu dari tadi sama ibu ra—Ah, maksudku Bu Helena di dalam ruangannya. Sebaiknya kamu masuk melapor deh sebelum dia meneleponku.” Dewi menepuk pundak rekan barunya dan berkata, “Sebaiknya kamu bersiap-siap saja. Hari ini suasana hati Bu Helena sangat kacau. Apalagi kamu sudah terlambat, entahlah kamu bakal diapain sama beliau. Berdoalah.” Namun, pria itu tidak terlihat takut sedikit pun. Justru ia langsung melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut meskipun telah mendengar keburukan dari suasana hati atasan barunya itu. “Aneh,” gumam Nora yang masih melihat pria itu yang telah berlalu dari hadapan mereka. “Aneh apanya sih, Nor? Kerja yuk daripada nanti disemprot,” tukas Dewi yang kembali duduk ke kubikelnya. Akhirnya Nora mengikuti sarannya dan kembali mengerjakan tugasnya yang tertinggal. Sementara itu di dalam ruangan kerjanya, Helena sedang sibuk membaca proposal yang baru saja dikirimkan Bima melalui surelnya. Perhatian Helena teralihkan sejenak ketika terdengar suara ketukan ringan pada pintu ruangannya. “Masuk,” ucapnya yang kembali mengalihkan pandangannya kepada dokumen yang baru saja dicetaknya tersebut. Helena mendengar langkah seseorang memasuki ruangannya, tetapi ia tetap tidak menoleh karena berpikir Mely atau salah satu bawahannya yang lain yang datang membawakan laporan untuknya. Akan tetapi, ketika sosok tersebut membuka suaranya, Helena benar-benar tercengang. Perlahan ia mengangkat wajahnya dari dokumen di tangannya, kemudian menatap tajam sosok pria yang sedang tersenyum padanya. “Maaf sudah membuat Anda menunggu, Bu Helena. Tadi saya sudah melapor kepada pihak HRD kalau hari ini saya ada sedikit keperluan dan datang sedikit terlambat. Saya Jovan, asisten baru Anda.” Pria itu masih bersikap tenang meskipun Helena telah melayangkan sorot mata penuh permusuhan padanya. “Jovan, huh?” Helena tersenyum mencibir mendengar nama asing yang baru saja dilontarkan oleh seorang pria yang memiliki paras yang sama persis dengan Tristan Rahardian! “Kamu pikir kamu menyamar seperti ini, aku tidak akan bisa mengenalimu, Tristan?” Sindiran pedas yang terucap dari bibir Helena tidak membuat pria itu takut. Sudut bibir pria itu terangkat tipis. Ia memperbaiki sejenak bingkai kacamatanya, lalu berkata, “Maaf, Bu Helena. Saya tidak mengerti apa yang sudah Anda bicarakan.” Wajah Helena berubah semakin nanar. Ia meletakkan dokumen di atas mejanya, lalu beranjak dari tempat duduknya dan berdiri di hadapan pria itu dengan angkuh. “Kamu pikir aku akan tertipu dengan penyamaran burukmu ini, hm? Berubah menjadi debu pun aku bisa mengenalimu, Tristan,” desis Helena dengan sinis. Ia berniat merebut kaca mata dari wajah pria itu. Akan tetapi, sebelum ia berhasil melakukannya, pria itu telah berhasil menahan pergelangan tangannya. “Sudah kuduga kalau sebenarnya kamu masih mencintaiku, Helena. Buktinya saja kamu masih bisa mengenaliku walau aku menjadi debu sekali pun. Aku benar-benar terharu mendengarnya,” ucap pria yang tidak lain dan tidak bukan memang adalah Tristan Rahardian! “Kau!” Helena mengertakkan giginya dengan kesal dan berniat memaki pria itu. Dengan satu tangannya yang bebas, ia menarik dasi pria itu. Akan tetapi, tindakannya itu malah memangkas jarak di antara mereka. Refleks, Helena memundurkan langkahnya, tetapi ia malah terdesak sendiri dan bokongnya menempel pada sisi meja kerjanya. Tubuh Tristan semakin mencondong ke arah Helena, lalu kedua tangannya bertumpu pada sisi meja kerja wanita itu. Seulas seringai licik terbit di bibirnya dan kedua manik matanya menelusuri wajah Helena dengan seksama. Padahal baru dua hari ia tidak melihat wanita itu, tetapi ia merasa wanita itu semakin cantik dan menggoda di matanya. Ia benar-benar merindukannya. “Minggir, Tristan atau aku akan berteriak!” ancam Helena. Akan tetapi, Tristan menanggapinya dengan tenang. “Silakan saja kalau kamu mau berteriak, aku tidak sabar membiarkan semua orang melihat kita seperti ini. Setidaknya julukanmu akan bertambah dari ‘Ibu Ratu’ menjadi ‘Ratu Penggoda’. Kamu lebih suka yang mana? Tapi, julukan ‘Ratu Penggoda’ juga lebih bagus untukmu,” godanya. Tristan tahu jika wanita itu hanya menggertaknya saja. Saat memasuki ruangan itu, ia sudah mengetahui bahwa ruang kerja Helena difasilitasi dengan peredam suara sehingga siapa pun tidak bisa mendengarkan percakapan mereka saat ini. Apalagi ruangan yang dikelilingi jendela kaca itu juga tertutup oleh tirai roller blind. Helena menyadari kecerobohannya yang lupa membuka tirai tersebut tadi sehingga menjadikan ruangan tersebut benar-benar tertutup! 'Sial! Dia sengaja membalas ancamanku karena tahu aku tidak bisa berbuat apa pun,' geram Helena dengan kesal di dalam hati. Jika ada seseorang yang memasuki ruangan itu, pastilah mereka akan berpikiran aneh dan menduga dirinya yang telah menggoda seorang karyawan baru, mengingat citra dirinya sudah cukup buruk akhir-akhir ini. Wajah Helena merona merah. Saat ini jaraknya dengan Tristan hanya tersisa lima sentimeter saja. Tangannya masih menggenggam erat dasi pria itu, tetapi akhirnya ia menyadari tindakannya dan segera melepaskannya. Sayangnya, Tristan tidak berniat melepaskan kesempatan tersebut. Satu tangannya mencengkeram pergelangan tangan Helena dengan kuat, sedangkan satu tangan yang lain telah menangkup wajah wanita itu dengan lancang. “Singkirkan tanganmu, Tristan,” desis Helena dengan sengit. “Cium aku dulu baru kusingkirkan,” goda Tristan dengan nada suara yang terdengar berat, tetapi membuat siapa pun yang mendengarnya pasti akan berpikir kalau suaranya sangat menggoda. Sayangnya, hal itu tidak berlaku bagi Helena. Melihat kegigihan wanita itu dalam membencinya, Tristan pun menarik dirinya menjauh dan melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan wanita itu. “Membosankan sekali. Apa kamu harus bersikap dingin terus padaku, Helena? Padahal kamu akan lebih cantik kalau mau bersikap lembut sedikit,” ucapnya. Helena memegang pergelangan tangannya yang sempat dicengkeram Tristan dan melotot dengan tajam. “Aku rasa menghadapi orang sepertimu tidak perlu bersikap lembut, Tristan. Kamu seharusnya bersyukur karena aku masih mau berbicara denganmu,” cibirnya. Helaan napas panjang bergulir dari bibir Tristan. Ia sudah terbiasa dengan sikap dingin Helena, tetapi tetap saja kalimat yang terlontar dari bibir wanita itu seperti duri yang terus menusuk jantungnya. 'Kamu benar-benar seperti gunung es yang kokoh, Helena. Sulit sekali membuatmu mencair. Padahal kalau wanita lain, mereka sudah jatuh ke dalam pelukanku dengan mudah. Tapi, hal itulah yang membuatku semakin ingin memilikimu,' batin Tristan yang berusaha untuk menguatkan dirinya terhadap sikap wanita itu. "Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?" selidik Helena dengan tajam. Sorot matanya menunjukkan ketegasannya. Ia tidak akan memberikan kesempatan sedikit pun kepada Tristan untuk berdalih. "Aku masuk ke sini lewat pintu," jawab Tristan yang tersenyum dengan konyol. "Tristan, kamu pikir bisa mengelabuiku dengan berpura-pura bodoh?" Helena selalu merasa kesal setiap kali berhadapan dengan sikap kekanak-kanakkan pria itu. Ia tahu jika Tristan hanya ingin mengalihkan pembicaraan mereka. Tristan mengedikkan bahunya dengan acuh tak acuh. "Tentu saja aku ke sini melalui wawancara dan ... ternyata aku lolos," ucapnya dengan bangga. "Pembohong," desis Helena dengan sengit. Ia tahu jika divisi human resources mereka tidak seburuk itu sampai membiarkan seorang putra yang berasal dari perusahaan rival mereka masuk menjadi karyawan mereka. Meskipun Tristan menyamar dan memalsukan identitasnya sekali pun, dia pasti akan langsung ketahuan. Akan tetapi, Helena melihat mantan kekasihnya itu malah diterima tanpa adanya masalah. "Bagaimana bisa kamu lolos dengan mudah hanya karena menyamar seperti ini? Aku rasa tidak semua orang bisa kamu bodohi, Tristan!" tukas Helena seraya meraih kasar kacamata dari wajah pria itu. Tanpa sengaja sudut mata di bagian bawah Tristan tergores kuku Helena sehingga menimbulkan luka kecil. Helena tersentak. Ia merasa sedikit bersalah, tetapi demi mempertahankan harga dirinya, ia tidak berniat meminta maaf. Tangan Tristan menyentuh luka tersebut dan ia meringis pelan, tetapi ia tidak menyalahkan wanita itu. “Sebaiknya sekarang kamu keluar, Tristan. Aku tidak membutuhkan asisten sepertimu. Aku akan melaporkan hal ini kepada HRD atas penipuan berencana ini," ujar Helena yang bermaksud untuk meraih gagang interkomnya. Akan tetapi, Tristan bergerak dengan cepat. Menghentikan gerakan tangan Helena dan mengembalikan gagang telepon kembali ke tempatnya. "Sebaiknya kamu tidak membuang waktumu untuk melakukan hal yang sia-sia, Helena. Tidak ada yang bisa memecatku selain Galaksi sendiri," bisik Tristan di telinga wanita itu. Kedua bola mata Helena terbuka syok. Ia benar-benar tak percaya Galaksi akan membiarkan Tristan, yang selalu menjadi rivalnya selama bertahun-tahun, bekerja di Bamantara Group! Jarak di antara mereka kembali terpangkas karena aksi Tristan sebelumnya. Degup jantung Helena telah berpacu cepat. Ia dapat merasakan napas hangat yang menggelitik tengkuknya. Baru saja ia berniat mendorong pria itu menjauh, tiba-tiba saja seseorang memasuki ruangan tersebut tanpa permisi dan memergoki Helena dan Tristan dalam posisi yang menimbulkan persepsi yang negatif!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD