2. Terlalu Rumit

1537 Words
Lelah menangis semalaman, membuat Anjani terlambat bangun pagi. Ia mungkin masih akan bergelung di balik selimut hangatnya, jika saja suara sang mama yang menggedor pintu kamar tidak membuat telinganya sakit. Anjani menyahuti panggilan sang mama dengan malas, tanpa membuka pintu kamar. Gadis itu lantas berdiri di depan cermin besar di sudut kamar. Memerhatikan maniknya yang sembab dan penampilannya yang mengenaskan. Anjani menertawakan dirinya, bersorak akann kebodohannya, karena lagi-lagi, penyebab tangisnya masih sama seperti enam tahun lalu. Arjuna Fusena. Anjani lantas menghela napas, kemudian melangkah pelan menuju kamar mandi. Ia harus segera bersiap untuk segera pergi bekerja. Meski ia adalah pemilik Love Daycare, tetapi ia tidak pernah absen berangkat berkerja untuk sekadar mengawasi kinerja timnya. Ia tidak ingin menjadi bos yang malas, tentu saja. Anjani Wiryaatmaja adalah seorang gadis berusia 24 tahun lulusan D3 keperawatan. Ia sangat menyukai anak kecil. Sehingga tak heran, begitu menyelesaikan kuliahnya, alih-alih mengabdikan diri menjadi perawat di rumah sakit atau klinik, Anjani justru mendirikan usaha tempat penitipan anak atau daycare. Selain karena gadis itu melihat peluang usaha tersebut yang cukup menjanjikan di kawasan tempat tinggalnya. Karena mayoritas warganya adalah para pekerja kantoran. Love Daycare digagas Anjani dua tahun lalu. Berdiri disebuah rumah dua lantai, yang hanya berjarak satu blok dari kediaman orang tuanya. Anjani dibantu timnya yang berjumlah dua belas orang dalam mengoperasikan Love Daycare. Yang terdiri dari tiga orang pengajar, lima orang pengasuh, dua admin, satu ART dan satu security. Anjani sendiri selain sebagai pemilik, ia juga merangkap sebagai pengajar. Sepuluh menit kemudian, Anjani sudah keluar dari kamar dan menemui kedua orang tuanya yang telah menunggunya di meja makan. Gadis itu berusaha untuk bersikap baik-baik saja dan tersenyum menyapa orang tuanya. Seperti kebiasaannya, Anjani lantas mencium bergantian pipi kedua orang tuanya. Lalu ia mengambil tempat pada samping kiri Suseno—sang papa. “Kamu baik-baik saja, Nak?” Sinta—sang ibu yang sejak kemarin siang begitu khawatir dengan perubahan sikap sang puteri bertanya. Gerakan Anjani yang hendak menyendok nasi terhenti di udara. Gadis itu meletakkan kembali sendok nasi pada wadah nasi yang berbahan tempered glass, dan memandangi secara bergantian papa mamanya. “Jani baik-baik saja, Ma. Jani hanya kecapaian,” jawab Anjani beralasan. “Tapi sejak pulang dari acara peresmian klinik Arjuna, kamu mengurung diri di kamar. Kamu juga melewatkan makan malammu. Kamu kenapa sebenarnya, Nak?” desak Sinta khawatir, karena tak ingin kejadian enam tahun lalu, di mana sang puteri mengurung diri di kamar selama satu bulan terulang kembali. Hingga saat ini ia dan suami bahkan belum mengetahui apa penyebabnya, karena Anjani memilih bungkam. Dan kejadiannya pun sama, setelah Anjani bertemu dengan Arjuna. Ada apa sebenarnya? Anjani jelas tidak akan menjawabnya. Ia menatap sang papa yang lebih mudah luluh dan berkata, “Jani sarapan dulu ya, Pa. Ngobrolnya nanti lagi kalau Jani sudah pulang kerja.” “Ya, lebih baik kamu sarapan dulu, setelah itu berangkat kerja,” sahut Suseno. “Tapi kamu harus selalu ingat satu hal, Nak. Papa dan Mama akan selalu ada untukmu. Dan siap mendengarkan apapun yang ingin kamu bagi dengan kami.” Suseno menggenggam tangan sang puteri sembari tersenyum lembut. Pria pendiam itu merasakan ada sesuatu antara Anjani juga Arjuna, entah apa. Kecurigaannya muncul enam tahun lalu, ketika mendapati wajah sembab sang puteri sepulang menemui Arjuna. Lalu anak semata wayangnya itu mengurung diri sebulan penuh di kamar dan selalu menghindar setiap kali orang-orang membicarakan tentang Arjuna. Akan tetapi ia memilih untuk tidak menanyakan lebih jauh, karena tak ingin menyaksikan puterinya semakin tertekan. Yang terpenting baginya adalah, Anjani tumbuh menjadi gadis ceria, pekerja keras dan mandiri. Sementara ini, ia akan mengamati lebih dulu sikap Anjani. Jika memang ada yang berubah dengan sikap sang puteri setelah bertemu kembali dengan Arjuna, maka ia sebagai orang tua pun akan bertindak. Anjani tiba di Love Daycare lima belas menit kemudian, setelah hanya menghabiskan setengah isi piringnya. Usai memarkirkan Jazz miliknya, Anjani turun dan menyahuti satpam yang menyapanya dengan ramah. Rutinitasnya setiap pagi, sebelum anak-anak diantarkan oleh para walinya, adalah memberikan briefing kepada timnya. Kali ini briefing diadakan di ruang kelas. Anjani seperti biasa mengevaluasi kinerja timnya pada hari kemarin. Jika semuanya berjalan baik, waktu briefing jauh lebih singkat. Namun jika mendapati masalah sekecil apapun itu, maka Anjani dan timnya berusaha untuk memperbaiki. Agar tidak mengecewakan para klien Love Daycare. … Arjuna berusaha melupakan tatapan kebencian Anjani hari kemarin. Ia sangat paham dengan apa yang Anjani rasakan. Maka dari itu, ia berada di sini untuk memperbaiki hubungannya dengan Anjani yang telah ia rusak enam tahun lalu. Salahnya. Semua salahnya yang pergi begitu saja tanpa berusaha memberi jawaban atau pengertian pada Anjani. Jika tak seharusnya perasaan cinta diantara mereka ada. Arjuna pun memiliki perasaan yang sama dengan gadis yang tak lain adalah puteri dari kakak tirinya itu. Hanya saja selama enam tahun ini, ia berusaha mengubur perasaannya, meski hal itu percuma. Karena ia tetap mencintai Anjani. Namun logikanya memaksanya untuk mengingkari perasaannya. Status keluarga yang mengikat mereka, tak bisa ia lupakan begitu saja. Ia tak ingin mengikat Anjani yang seharusnya bisa mendapat pendamping hidup yang seumuran dengan gadis itu. Bukan lelaki tua seperti dirinya. “Ar, Ibu perhatikan kamu sejak tadi melamun. Ada apa?” Dewi—ibunda Arjuna yang duduk dikursi roda menghampiri sang putera, yang sejak tadi ia perhatikan tengah melamun di kamar sembari menghadap jendela. Arjuna berbalik dan tersenyum mendapati sang ibunda berada di hadapannya. Pria itu menumpukan lututnya pada lantai, agar bisa sejajar dengan sang ibu. “Kamu belum jawab pertanyaan Ibu, Ar. Ada apa?” Dengan suaranya pelan, Dewi kembali bertanya. “Tidak ada apa-apa, Bu. Saya hanya sedang memikirkan permintaan Anggita yang ingin menyusul kemari.” “Ya malah bagus kalau Anggita menyusulmu ke sini. Rumah ini jadi tambah ramai. Ibu jadi banyak teman ngobrol.” Dewi sudah membayangkan kondisi rumahnya yang akan semakin ramai jika benar istri dari sang putera akan tinggal di sini. “Iya, Bu. Nanti saya bicarakan lagi dengan Anggita ya, Bu. Baiknya bagaimana. Karena Anggita juga punya tanggung jawab dengan pekerjaannya di sana.” Arjuna berdiri lalu mendorong kursi roda sang ibu ke arah tempat tidur. Ia sendiri mengambil tempat di bibir ranjang. Persis menghadap sang ibu. “Nanti biar Ibu yang bicara dengan Anggita ya, Ar. Anggita pasti senang kalau ibu yang meminta.” Arjuna melihat senyum pengharapan di wajah sepuh sang ibu. Sudah bertahun-tahun sang ibu memintanya untuk kembali ke kota ini dan kembali tinggal bersama. Namun selama ini, ia belum berani untuk sekadar menatap Anjani dari kejauhan. Karena ia khawatir, ia tak akan bisa mengontrol perasaannya lagi, yang sudah coba ia pendam selama bertahun-tahun. Hidupnya terbilang rumit sejak dulu. Silsilah keluarganya juga cukup rumit. Ayahnya menikah lagi dengan perempuan lain ketika ia masih berumur dua tahun. Lalu sang ibu yang berstatus janda dipersunting oleh Pak Bakri yang adalah ayah dari Sinta atau kakek dari Anjani. Dari pernikahan sang ibu dan Pak Bakri, lahirlah Wulan yang lebih muda empat tahun darinya. Ia dan Sinta sendiri terpaut umur lima belas tahun lamanya. Dan ia tak ingin semuanya bertambah rumit, jika ia benar-benar memiliki hubungan spesial dengan Anjani. Terlebih pula, ia tidak ingin membuat keluarga besar dari pihak ibu Anjani kecewa padanya. Bagaimana pun, ia telah berhutang budi pada Pak Bakri—kakek Anjani yang telah menyekolahkannya hingga ia memiliki gelar dokter gigi, “Ar, kamu melamun lagi. Kamu tidak mau cerita ke Ibu, ada apa?” Dewi kembali mendesak sang putera dengan suaranya yang lemah. Arjuna tersenyum kecil. “Tidak ada apa-apa, Ibu. Ibu tidak perlu cemas.” “Benar tidak apa-apa?” “Iya.” Arjuna mengangguk mantap. “Mungkin saya hanya gugup karena hari ini adalah hari pertama Juna Dental Clinic menerima pasien. Dan Ibu tahu, sudah ada sepuluh pasien yang membuat janji hari ini.” “Kamu seperti baru pertama menangani pasien saja. Padahal sudah bertahun-tahun jadi dokter. Atau jangan-jangan kamu gugup karena pasien-pasienmu itu cantik-cantik?” kelakar Dewi. Arjuna turut tertawa melihat sang ibu yang pagi ini jauh lebih bersemangat dari sebelumnya. Sewaktu ia tinggal di luar kota, ia kerap mendapat laporan dari Wulan jika ibu mereka kerap murung dan tidak berselera makan. “Mana saya tahu, Bu, kalau pasien saya cantik-cantik. Kan saya belum lihat profil mereka, Bu.” “Ibu kan cuma bercanda, Ar,” ucap Dewi masih dengan tersenyum. “Ibu tahu, kamu berbeda dengan ayahmu. Buktinya rumah tanggamu dan Anggita masih adem ayem sampai enam tahun ini.” Arjuna tidak menjawab apa-apa. Pria itu memilih tersenyum lalu memeluk sang ibu. Ibunya benar, rumah tangganya dan Anggita memang baik-baik saja meski belum dikaruniani seorang anak. Namun tidak ada seorang pun yang tahu, jika faktanya, pernikahannya dengan Anggita hanya sebuah pernikahan kontrak. Enam tahun lalu, seminggu setelah Anjani mengatakan mencintainya, Arjuna memutuskan untuk menikah. Dan ia menikahi Anggita dengan perjanjian hitam di atas putih. Kebetulan saat itu, Anggita membutuhkan sosok suami untuk calon bayinya karena ayah dari bayi yang dikandung Anggita tidak bersedia bertanggungjawab. Sayangnya, bayi Anggita meninggal seminggu setelah kelahiran, karena kelainan jantung. Pernikahan kontrak yang ia jalani dengan Anggita tak lain karena ia ingin Anjani melupakannya. Dan Arjuna sendiri berharap ia mampu menghapus perasaan yang tak seharusnya ada pada gadis itu. Sayangnya, hingga enam tahun berlalu, perasaan yang ia miliki pada Anjani masih bertahan di dasar hatinya sana. Dan entah sampai kapan perasaan itu akan bertahan di sana. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD