9. Cinta Seorang Anggita

1184 Words
Karena tidak ingin membuat Dimas bertanya-tanya mengenai hubungannya dengan Arjuna, akhirnya Anjani menerima permintaan Arjuna untuk pulang bersama pria itu. Dengan gondok, Anjani masuk ke dalam mobil Arjuna yang terparkir di basement apartemen. Hujan masih cukup deras ketika mobil yang dikendarai Arjuna bergerak meninggalkan gedung apartemen. Arjuna mengendarai mobilnya dengan hati-hati karena jalanan yang licin dan beberapa bagian jalan dipenuhi genangan air. Pria itu hanya ingin mengantar Anjani pulang ke rumah dengan selamat. Awalnya ia tidak sengaja melihat story IG Anjani yang tengah berenang dengan menandai sebuah lokasi gedung apartemen tak jauh dari tempat tinggal mereka. Hujan yang kemudian mengguyur daerah tersebut menerbitkan perasaan khawatir pada hati Arjuna. Arjuna lantas menghubungi salah satu sahabat Anjani untuk memastikan keberadaan wanita itu. Ia sama sekali tak menyangka Anjani justru berada di sebuah apartemen pria berstatus duda anak satu yang juga klien Love Daycare. Namun ada satu kalimat yang diucapkan oleh sahabat Anjani yang masih terus terngiang di kepala Arjuna. “Kalau Om Juna benar-benar sayang Anjani, biarkan Anjani menemukan pria yang tulus mencintainya, Om. Sebagai sahabat, kami hanya ingin melihat Anjani bahagia. Bukan terus-terusan mengharapkan Om Juna, yang bahkan tidak bisa memberikan jawaban ya atau tidak ketika Anjani mengutarakan perasaannya.” Anjani yang kesal pada sikap Arjuna memilih untuk diam sepanjang perjalanan mereka menuju rumah. Ia kesal dengan Arjuna yang sok perhatian padanya, padahal dulu pria itu dengan tega meninggalkan dirinya dengan luka hati yang sekarang masih berdarah-darah. Ia semakin kesal karena jalanan di depan sana justru tersendat entah karena apa. Berdecak kesal, Anjani memilih memejamkan mata. Arjuna bukan tidak mengetahui kekesalan Anjani. Namun pria itu juga memilih untuk diam, karena tidak ingin membuat Anjani semakin kesal padanya. Yang terpenting saat ini, ia hanya ingin mengantar pulang gadis di sampingnya dengan selamat. Jalanan yang macet entah karena apa juga membuat Arjuna kesal. Ia berulang kali mengumpat lirih ketika hingga bermenit-menit mobil tidak bisa bergerak sama sekali. Pria itu semakin kesal, ketika Anggita berulang kali meneleponnya. Padahal ia sudah denga jelas mengirim pesan, sedang mengantar Anjani pulang. Anjani yang terganggu dengan dering ponsel milik Arjuna pun membuka mata. Dengan amarah yang sejak tadi coba tahan, ia berkata sinis, “ponselnya dibuang saja Om, kalau nggak mau jawab telepon. Ganggu orang tidur aja!” Jalanan yang mulai lancar kembali membuat Arjuna urung menjawab, yang membuat Anjani semakin kesal karena merasa diabaikan. “Dasar om-om nyebelin!” Arjuna tersenyum kecil mendengar u*****n Anjani. Menoleh sekilas, ia berucap, “maaf ya.” “Om Juna sadar nggak sih kalau Om Juna tuh nyebelin!” gemas Anjani menatap Arjuna. “Saya tahu.” “Kalau sudah tahu kenapa masih nyebelin? Bisa nggak, Om Juna balik ke luar kota lagi supaya enggak merecoki hidup Jani lagi.” “Kamu tidak ingin saya di sini?” Arjuna bertanya lirih. “Ya!” Anjani menjawab cepat setengah berteriak. “Jani nggak mau Om Juna ada di sekitar Jani lagi dan Jani juga nggak mau bertemu Om Juna lagi sampai kapan pun!” Arjuna menoleh sekilas pada Anjani yang menatapnya nyalang. Pria itu sama sekali tidak terkejut dengan pernyataan Anjani. Ia memakluminya. Karena sekali lagi ia sadar, hubungannya yang memburuk dengan Anjani karena sikap pengecutnya di masa lalu. Hingga tiba di kediaman orang tua Anjani, Arjuna memilih untuk tidak menimpali kalimat Anjani. Karena ia tidak ingin membuat gadis itu semakin kesal padanya. … Arjuna tiba di kediaman sang ibunda ketika hujan hanya tinggal menyisakan rintik-rintik kecil, setelah memastikan Anjani tiba di rumah dengan aman. Meski ia harus menahan diri untuk tidak berkata-kata yang justru akan semakin memancing amarah Anjani. Arjuna memasuki rumah disambut wajah cemberut Anggita. Namun pria itu tetap tersenyum dan tak lupa mendaratkan kecupan ringan pada surai Anggita. Rutinitasnya selama enam tahun ini. Meski mereka hanya terikat sebuah pernikahan kontrak, namun Arjuna tetap berusaha memenuhi kebutuhan lahir dan batin Anggita secara baik. “Ibu mana, Git?” tanya Arjuna berusaha mencairkan suasana, meski hingga mereka memasuki kamar, Anggita masih tetap cemberut. “Ibu sedang istirahat. Kelelahan tadi habis jalan-jalan ke taman dengan Malik.” Anggita menjawab sembari menyiapkan pakaian bersih untuk Arjuna. “Maaf tadi tidak menjawab teleponmu, Git. Saya sedang di jalan. Ada apa?” tanya Arjuna kemudian. Anggita membalikkan badan dan menatap Arjuna dengan sendu. “Tadinya aku ingin meminta diantar ke dokter.” “Kamu sakit?” Arjuna seketika berdiri dan menempelkan punggung tangannya pada kening Anggita. Detik selanjutnya ia bisa merasakan jika sang istri tengah terserang demam. “Kamu demam. Kita ke dokter sekarang ya,” ajak Arjuna kemudian. “Aku sudah tidak apa-apa.” Anggita menolak. Sejujurnya ia hanya terserang demam biasa. Ia menghubungi Arjuna hanya karena ingin diperhatikan oleh pria itu. Namun nyatanya, waktu enam tahun tidak cukup membuat dirinya menjadi penting bagi Arjuna. Karena Anjani masih menempati posisi pertama sebagai orang terpenting di hidup pria itu, selain ibunda Arjuna. Arjuna lantas menuntun Anggita ke tempat tidur. “Kalau begitu kamu istirahat,” ucapnya setelah membaringkan Anggita ke tempat tidur mereka. “Kamu perlu apa? Biar saya siapkan.” “Aku nggak perlu apa-apa, Ar. Aku hanya butuh kamu di sampingku saat ini.” Anggita menarik lembut lengan Arjuna yang membuat pria itu mau tak mau duduk di samping Anggita. “Kenapa kamu melow sekali hari ini, Git? Ada apa?” tanya Arjuna khawatir. “Kamu mau dengar ceritaku, Ar?” “Kapan saya nggak pernah dengarkan ceritamu, Git? Katakan, ada apa?” “Dua hari lalu, orang tuaku menelepon.” Anggita menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya. Karena mungkin Arjuna tidak menyukai topik pembahasan kali ini. “Mereka bilang, kalau kita berencana melakukan program bayi tabung, mereka siap membantu biayanya, Ar.” Arjuna terhenyak mendengar penuturan Anggita. Tentu lah siapa pun mengira, jika salah satu diantara dirinya dan Anggita ada yang bermasalah dengan kesuburan. Karena setelah meninggalnya bayi Anggita, Anggita belum kunjung hamil kembali hingga kini. Sehingga membuat orang tua Anggita berpikir agar mereka melakukan program bayi tabung. Padahal kenyataannya memang mereka selalu memakai a**************i setiap kali berhubungan. Dan rutinitas panas tersebut pun jarang mereka lakukan, karena Arjuna kerap memikirkan Anjani ketika melakukannya. Arjuna tetap memenuhi kebutuhan batin Anggita, karena tak ingin menjadi suami dzalim, meski status pernikahan mereka hanya sebuah pernikahan kontrak. “Aku bingung harus jawab apa pada orang tuaku, Ar. Orang tuaku tidak tahu pernikahan seperti apa yang sedang kita jalani. Tapi aku juga tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada mereka. Kamu tentu tahu, aku adalah anak tunggal. Dan orang tuaku saat ini sudah semakin berumur. Mereka sangat mengharapkan cucu dariku, Ar.” “Kita tidak bisa memiliki anak, Git.” “Apa perasaan cintamu pada Jani benar-benar tidak bisa dihapuskan, Ar?” “Saya masih mencintainya. Maaf.” “Lalu bagaimana denganku, Ar?” “Kita berpisah saja kalau begitu.” Arjuna menjawab pelan. “Kamu bisa menikah dengan pria lain yang mencintaimu dan kalian bisa memiliki anak.” “Apa hanya itu solusinya, Ar?” tanya Anggita dengan raut kecewa. Ia masih menyimpan harapan Arjuna bersedia melupakan Anjani dan mulai belajar mencintainya. Namun sepertinya itu mustahil. “Kamu ingin bagaimana, Git?” “Aku ingin memiliki anak darimu, Ar.” “Anggita ….” “Aku mencintaimu, Ar. Maaf.” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD