6. Tak Butuh Pujianmu

1324 Words
“Mohon maaf ibu, untuk gigi gerahamnya, tidak bisa langsung ditambal sekarang. Karena infeksi sudah menjalar hingga saraf, jadi saya menyarankan untuk perawatan saluran akar lebih dulu sebelum dilakukan tindakan penambalan,” terang Arjuna pada salah satu pasien yang tengah ditanganinya saat ini. “Biayanya kisaran berapa ya, Dok untuk perawatannya?” Arjuna pun menjelaskan secara rinci biaya yang diperlukan untuk perawatan saluran akar dan berapa lama waktu pengerjaannya. Pasien dijadwalkan dalam tiga hingga empat kali pertemuan dengan dokter, hingga proses penambalan selesai. Dalam perawatan saluran akar sendiri ada banyak tahapan yang akan dilalui si pasien. Pertama-tama, saluran akar dibersihkan dan disterilkan lebih dulu, kemudian ditutup tambalan sementara. Langkah kedua, apabila sudah tidak ada keluhan, saluran akar diisi dengan bahan pengganti saluran akar, kemudian ditutup lagi dengan tambalan sementara. Setelah itu gigi baru bisa ditambal dan bisa kembali berfungsi normal. Namun karena biaya perawatan saluran akar yang cukup menguras kantong, sehingga banyak pasien yang memilih mencabut gigi dari pada mempertahankannya. “Mahal sekali ya, Dok. Kalau untuk saat ini saya belum ada uangnya.” Pasien yang seorang perempuan muda itu terlihat murung, begitu mendengar biaya yang harus dikeluarkan untuk perawatan satu giginya yang berlubang. “Kalau begitu dicabut saja, Dok,” putus si pasien akhirnya. Arjnua tersenyum maklum, lalu kembali memberi penjelasan. Seperti biasa dengan intonasi pelan dan tenang, agar pasien merasa nyaman. Lalu ia menyarankan pada pasien agar ditambal sementara, sampai pasien bisa mengumpulkan uang untuk melakukan perawatan saluran akar hingga selesai. “Nanti saya bantu kasih diskon untuk biaya perawatannya,” tawar Arjuna sembari tersenyum. “Benar, Dok?” Pasien perempuan itu tampak berbinar. Tidak menyangka dengan kebaikan dokter tampan di depannya. Arjuna mengangguk. “Tentu. Jadi sekarang kita tambal sementara dulu ya, Bu, giginya.” Proses penambalan sendiri tidak membutuhkan waktu lama. Hanya membutuhkan waktu tak lebih dari sepuluh menit, gigi pasien perempuan itu sudah tertutup sempurna dengan tambalan sementara. “Masih ada pasien untuk saya, Sus?” tanya Arjuna pada perawat yang mendampingi, begitu pasien perempuan tadi meninggalkan ruangan. “Sudah tidak ada, Dok. Ibu yang tadi pasien terakhir.” “Kalau begitu saya mau siap-siap pulang, Sus. Terima kasih untuk hari ini.” “Sama-sama, Dok.” Arjuna bersiap pulang setelah merapikan barang-barang miliknya. Ia sudah berjalan keluar klinik, ketika dua perempuan panik datang memasuki klinik seraya menggandeng satu anak perempuan yang menangis, dengan mulut yang ditutup menggunakan tisu. “Sus, tolong, anak ini tadi terjatuh, giginya berdarah,” ucap seorang perempuan muda dengan panik pada petugas bagian informasi. “Mohon maaf ibu, kebetulan untuk siang ini dokternya belum hadir.” “Yah, Sus, terus anak ini gimana?” “Biar saya yang tangani.” Arjuna berjalan mendekat. Ia tidak mungkin mengabaikan pasien yang sudah datang ke kliniknya begitu saja, meski jam praktiknya seharusnya sudah berakhir. Dengan tanggap, ia menggendong anak perempuan yang masih menangis karena kesakitan menuju ruang tindakan. Yang lantas diikuti oleh dua perempuan dewasa yang mendampingi anak perempuan itu. … Anjani termenung di dalam mobil, memandangi bangunan Juna Dental Care yang berdiri gagah di depannya. Ia terpaksa berkunjung ke klinik ini, karena salah satu anak asuhnya terjatuh dengan gusi berdarah-darah. Ia sudah memastikan jika darah tersebut berasal dari dua gigi yang bergoyang dan satu gigi yang setengah patah. Ia sendiri memilih menunggu di dalam mobil untuk meminimalisir pertemuannya dengan Arjuna. Anjani menghela napas dan berharap anak asuhnya tertangani dengan baik di dalam sana. Atau kalau tidak ia akan mendapat masalah jika sampai orang tua si anak menuntut Love Daycare karena dianggap lalai dalam mengawasi anak-anak. Entah berapa lama Anjani menunggu hingga tanpa sadar ia tertidur. Ia lantas mendengar kaca mobilnya diketuk oleh seseorang. Anjani mengangkat kepalanya dari atas kemudi dan mendapati salah satu pengajar Love Daycare berada di balik kaca. “Sudah selesai, Mel?” tanya Jani begitu membuka kaca lebih lebar. “Belum, Mbak. Ini tadi ayahnya Adinda telepon terus nanyain keadaan Adinda.” Pengajar bernama Amel itu menyerahkan ponselnya pada Anjani. “Beliau minta bicara dengan Mbak Jani langsung.” Anjani menerima ponsel milik Amel setelah menghela napas. Ia sudah tidak profesional dengan lepas tanggung jawab atas apa yang terjadi dengan Adinda, hanya karena tidak ingin berurusan dengan Arjuna. “Biar saya hubungi walinya Adinda dengan HP saya aja, Mel, setelah lihat keadaan Adinda,” ujar Anjani kemudian. Bergegas Anjani keluar dari mobil dan melangkah menuju area dalam klinik mengikuti Amel. Mereka segera menuju ruang tindakan dan mendapati Adinda tengan bercengkerama dengan Arjuna dengan riang. Sudah tidak ada raut kesakitan di wajah gadis cilik itu. Sempat terjadi keheningan selama beberapa saat, begitu Anjani dan Amel memasuki ruang tindakan. Sebelum Adinda berseru riang, “Miss Jani, gigi Dinda sudah nggak sakit lagi.” Adinda tampak jauh lebih baik meski harus kehilangan giginya. Anjani tersenyum. “Itu karena Adinda anak pintar. “Dokter Juna baik banget lho, Miss. Katanya nanti kalau Dinda sudah sembuh mau dikasih hadiah eskrim sama Dokter.” “Oh iya? Wah baik sekali ya, Dokter Juna.” “Baik banget. Ganteng lagi kaya Ayah Dinda.” Seluruh orang dewasa di ruangan tersebut pun tersenyum mendengar celotehan Adinda. Anjani lantas meminta dua pengajar yang sejak tadi mendampingi Adinda untuk menyelesaikan administrasi. Dan ia memotret gigi Adinda yang kemudian dikirimkan pada ayah gadis kecil itu. Setelah mendapat balasan dari ayah Adinda yang mengabarkan akan menelepon setengah jam lagi, Anjani meletakkan kembali ponselnya ke dalam tas. Rupanya ia terlalu fokus ketika berbalas pesan dengan ayah Adinda hingga tak menyadari jika kini hanya tersisa dirinya dan Arjuna di ruang tindakan. Anjani tampak sedikit kebingungan memandangi ruang bernuansa putih dan hijau tersebut, tanpa berani menatap pria yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri. “Kalau begitu saya permisi, Dok. Terima kasih atas ….” “Anjani.” Arjuna memanggilnya dengan suara lirih yang membuat Anjani sendiri tak yakin pria itu tengah menyebut namanya. Anjani mendongak, memberanikan diri menatap manik teduh yang juga tengah menatapnya. Selama beberapa saat ia menyelami sepasang manik yang masih membuatnya menggila hingga kini. “Anjani.” Arjuna memanggilnya lagi. Kali ini pria itu berjalan mendekat pada Anjani yang masih terpaku di tempatnya. Anjani terlalu takut. Ia takut tak bisa mengontrol perasaannya, terlebih hanya ada dirinya dan Arjuna di ruangan itu sekarang. Gadis itu bahkan merasa dadanya sulit untuk bernapas hanya karena kini tubuh Arjuna yang semakin dekat dengan tubuhnya. Jarak mereka hanya tersisa satu langkah dan Anjani lebih memilih untuk mengamati lantai granit di bawah kakinya, tanpa berani menatap paras rupawan Arjuna lagi. “Kamu tumbuh jauh lebih dewasa dari yang saya kira, Anjani,” ucap Arjuna dengan senyuman hangat yang tak bisa dilihat Anjani, karena gadis itu masih setia menundukkan wajah. “Dan saya turut bangga dengan pencapaian yang kamu raih saat ini.” Menyaksikan sendiri Anjani memiliki sebuah bisnis yang berkembang dengan sangat baik, tentu membuat Arjuna merasa bangga. Ia telah mendengar dari orang-orang sekitar bahwa Anjani adalah sosok perempuan muda yang ambisius namun sangat ramah pada setiap orang dan tak segan untuk membantu siapa pun yang membutuhkan pertolongan. Hanya saja, ia mendengar kabar yang membuatnya semakin merasa bersalah, jika Anjani selalu menutup diri ketika ada seorang pria yang ingin kenal lebih dekat dengan gadis itu. Anjani tersenyum kecut mendengar pujian yang terlontar dari pria yang ia benci dan ia cintai sekaligus. Memangnya kamu ingin mendengar Om Juna berkata apa, Jani? Anjani akhirnya mengangkat wajah, memberanikan diri menatap balik Arjuna. Gadis itu tersenyum. Namun bukan jenis senyuman ramah yang ia tampilkan. Senyum Anjani kali ini menurut Arjuna adalah jenis senyuman mengerikan yang ia tahu dari mana sumber kesakitan itu berasal. “Terima kasih.” Anjani mulai berbicara. “Tapi Jani sama sekali nggak butuh pujian dari Om Juna,” ucapnya ketus. “Jani sama sekali nggak butuh pujian dari orang yang telah menyakiti Jani dan pergi begitu saja tanpa menjelaskan apa pun, lalu dengan seenaknya datang kembali untuk meminta maaf. Jani nggak butuh!” Usai mengatakan itu, Anjani memutar badan dan pergi dari sana. Meninggalkan Arjuna yang terpaku di tempatnya, tanpa berani mengejar Anjani untuk sekadar mengucapkan kata maaf lagi. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD