"Ugh." Gad- ralat, wanita yang masih meringkuk di tempat tidur itu melenguh kala merasakan silau dari luar jendela. Ia mengerjapkan mata menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya. Hendak menegakkan badan dan bersandar pada kepala ranjang membuat sesuatu dibawah sana terasa ngilu.
"Ugh, sh …." Ia membenarkan bantal dan duduk bersandar. Badannya terasa sakit seolah tulangnya mau terlepas dari kulit. Kepalanya juga sedikit pusing. Tapi yang membuatnya sangat-sangat tak nyaman adalah rasa sakit di bawah sana.
Ia mencoba mengingat kejadian semalam. Dan seketika membuat hatinya mencelos seketika. Harta yang ia jaga untuk calon suaminya kelak diambil paksa oleh pria tak dikenal semalam.
"Sudah bangun, eh?" Suara seseorang membuatnya menoleh. Ia melotot tak percaya, pria itu. Pria yang samar-samar masih ia ingat, adalah pria yang tanpa mengatakan apapun memaksanya dan merenggut harga dirinya sebagai seorang wanita.
"Kau!" Gigi Ara terdengar bergemeletuk.
"Sebaiknya kau segera bangun dan membersihkan diri. Kita harus bicara." Pria yang tak lain adalah Saska itu masih bersandar di pintu. Arah pandangannya tertuju pada bawah leher wanitanya yang tak tertutup sempurna oleh selimut hangat miliknya.
"Pergi kau! Pergi dari sini, tak ada yang harus dibicarakan dengan pria b******k sepertimu!" teriak Ara dengan tatapan matanya yang tajam. Meski dalam hatinya ia menangis, namun ia tak akan terlihat menyedihkan untuk yang kedua kalinya seperti semalam.
Saska melangkah mendekati Ara. Ia bersedekap d**a dan menatap Ara dengan pandangan tak terbaca. "Sebelumnya harus kau tahu, ini adalah apartemenku." Saska berucap datar namun tak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Ara.
"Jangan bercanda! Ini apartemenku, jika kau tak segera pergi dari sini aku akan menelepon polisi," ancam Ara.
Drt … drt ...
Ponsel Ara bergetar di atas nakas. Dengan hati-hati ia mengangkat panggilan dan menatap tajam Saska yang tak melepaskan pandangannya sedikitpun.
Tentu saja Saska tak dapat melepas pandangan sedikitpun dari Ara, karena yang ada di pikirannya sekarang adalah rasa iba juga niatnya bertanggung jawab. Entah kenapa ia merasa bahwa Ara adalah wanita yang baik, dan apa yang ia lakukan semalam murni karena kesalahannya dan ia akan bertanggung jawab apapun yang terjadi. Mungkin saja kebetulan ini bisa membawanya pada sebuah jalan keluar untuk hubungan kedua orang tua juga kakaknya.
"Halo," jawab Ara saat panggilan telah terhubung.
["Halo, bagaimana tidurmu semalam? Kau sudah sampai apartemen barumu, kan?"]
"Sangat tidak nyenyak. Kau! Bagaimana bisa menyewakan apartemen dengan penjagaan terburuk seperti ini?" maki Ara pada pria di seberang sana. Dengan tetap menatap tajam pada Saska.
["Hei, apa maksudmu. Apa terjadi sesuatu denganmu? Ada masalah apa dengan apartemen barumu? Disana merupakan salah satu apartemen dengan peringkat terbaik, tahu. Aku hanya ingin memberitahumu bahwa nomor apartemenmu adalah 238, resepsionis juga pasti memberitahumu bukan? Saat kau bertanya padaku kemarin, aku sangat sibuk jadi tak bisa membalas pesanmu."]
Tunggu! Pikiran Ara seolah terbuka. 238? Tapi mengapa semalam ia seolah masuk nomor 233? Ara mengambil kunci dan melihat nomor dibalik kartu itu. Dan benar saja disana tertera no 233.
Entah kenapa Ara mulai merasa takut sekarang. Ia mematikan sambungan telepon dan menatap pria yang masih berdiri menatapnya dengan pandangan aneh.
"Ini apartemenku," ucap Saska datar.
Memberanikan diri Ara mulai menggerakkan kakinya. Rasa ngilu amat terasa di bawah sana membuatnya meringis. Ia mencoba berdiri namun kembali terduduk. Ia benar-benar tak bisa berjalan pagi ini.
Saska tersenyum tipis, ia mendekati wanitanya dan dengan sekali gerakan menggendong Ara untuk ia antarkan ke kamar mandi.
"Kyaaaa! Apa yang kau lakukan, b******k! Lepaskan aku." Ara berteriak dan berusaha memberontak.
"Diamlah. Kau tak akan bisa sampai kamar mandi dengan merangkak." Saska tak mempedulikan ucapan wanitanya dan tetap menggendongnya ke kamar mandi. Sesampainya disana ia menjatuhkan Ara ke dalam bathtub berisi air hangat.
"Argh …." Ara meringis saat tubuh bertemu air.
"Bersihkan dirimu. Setelah itu kita bicara,” ujar Saska yang segera berbalik badan menuju pintu dan keluar dari kamar mandi. Membiarkan Ara membersihkan diri dan memikirkan semua yang telah terjadi.
Ara segera menyandarkan kepalanya setelah Saska pergi. Pikirannya kembali pada ucapan seseorang yang baru saja menghubunginya, juga pernyataan pria yang baru menurunkannya dari gendongan bahwa ini apartemen miliknya.
***
Ara berjalan tertatih keluar dari kamar mandi hanya menggunakan jubah mandi. Dengan perlahan ia mencari baju dan segera memakainya.
Setelah selesai ia keluar kamar dan mendapati Saska duduk di ruang tamu. Disana juga tampak seseorang yang Ara tahu adalah resepsionis semalam.
"A, Nona Ara." Resepsionis itu menunduk saat melihat Ara berjalan pelan ke arahnya.
Ara hanya menatap Saska dan pria resepsionis bergantian. Ia kemudian duduk di sofa kosong di sebelah kanan Saska.
"Maaf atas ketidaknyamanan anda, Nona. Saya sangat minta maaf," ucap si resepsionis dengan tak berani menegakkan kepala menatap Ara.
"Apa maksud anda?" tanya Ara yang mulai gusar. Tiba-tiba saja perasaannya tidak enak.
Kemudian resepsionis itu menjelaskan bahwa entah Ara atau wanita yang menyebut nama Saska telah salah mengambil kunci.
"Seperti itulah yang sebenarnya, Nona. Entah anda atau wanita itu telah salah mengambil kunci. Saya mohon maaf atas kekeliruan ini."
Ara hanya diam. Saat ini yang ada dipikirannya adalah apa yang harus ia lakukan sekarang. Karena sudah jelas, semua terjadi karena kekeliruan. Dan bisa juga karena kecerobohannya yag kurang teliti.
***
"Jadi kuputuskan, kita harus menikah."
Brush!
Nyaris saja teh hangat dari mulutnya menyiram pria tampan di hadapannya. Ara terbatuk dan menepuk-nepuk dadanya. "Apa pria ini gila?" batinnya.
Saska meraih tisu di atas meja dan mengusap lembut wajahnya yang sedikit basah akibat semburan teh hangat Ara.
"Jangan bercanda," dengus Ara dengan memutar bola mata malas. Mengabaikan bahwa ia telah menyiram wajah tampan pria dihadapannya. Pria dengan rahang tegas, sorot mata tajam dan hidung mancung serta kulit terawat seputih kaum hawa.
Saska membuang tisu bekasnya ke tempat sampah yang berada tak jauh darinya. Kemudian tangannya terangkat dengan jari-jari tangan bersatu dan siku bertumpu pada lututnya yang bertumpu. Ditatapnya Ara tanpa ragu, "Semalam aku tak menggunakan pengaman. Dan aku tidak menjamin kau tidak akan hamil satu atau dua minggu kemudian."
Ara menatapnya tak gentar. "Itu tidak mungkin, aku tidak mungkin hamil dan tidak mungkin menikah dengan pria sepertimu," ucapnya dengan nada sedikit kasar.
"Pria sepertiku?" Alis Saska mengernyit tajam.
"Haruskah aku menjelaskannya?!" Menekan kata diakhir kalimat dengan gigi bergemeletuk. Kedua tangan yang berada di atas pangkuan pun terkepal kuat.
"Itu tidak seperti yang kau pikir. Kita harus tetap menikah, aku tidak ingin anakku disebut anak haram," ujar Saska.
"Sudah kukatakan, aku tidak akan hamil!" teriak Ara yang mulai kesal. "Bukankah seharusnya kau senang? Kau sudah terpuaskan tanpa kumintai pertanggungjawaban,” cibir Ara dengan tersenyum remeh dimana kedua tangannya kini bersedekap.
"Kau ingin aku membayarmu?" tanya Saska dengan setengah memiringkan kepala.
"Sialan kau! Aku bukan w************n!" geram Ara hingga menggebrak meja.
"Bagus, kalau begitu kita menikah,” potong Saska mutlak dan tak menerima penolakan. Ia sudah membulatkan tekad bahwa ia akan bertanggung jawab entah Ara suka atau tidak, akan ia buat Ara menerima pertanggung jawabannya.
"Kenapa kau begitu ingin menikah denganku? Jika kau takut aku hamil, aku tidak akan hamil. Dan bagaimana jika kita menikah dan nyatanya aku tidak hamil? Maaf, aku tidak bercita-cita menjadi janda,” ujar Ara tanpa keraguan sedikitpun. Ia serius, karena jika ia menikah, ia bisa kehilangan tujuannya datang ke ibu kota.
Seulas senyum tipis, amat sangat tipis terpatri di bibir Saska tanpa Ara sadari.
"Sekarang keluar! Aku bisa ikut gila jika meladeni pria gila sepertimu!" Ara menoleh ke luar jendela menatap atap gedung tinggi yang dapat ia lihat dengan jelas. Ia baru menginjakkan kaki di apartemen barunya semalam, tapi nahas, sebuah insiden mengharuskannya berhadapan dengan pria yang entah, ia lupa namanya.
"Aku tidak akan pergi sebelum kau mengatakan, ya," jelas Saska tanpa merubah posisi duduknya.
"Grr …." Ara menggeram marah. Pria ini benar-benar keras kepala. Kemudian sebuah ide muncul di otaknya. "Baiklah, aku akan mempertimbangkannya jika kita bertemu lagi." Karena Ara akan pindah dari apartemen ini.
"Baiklah," jawab Saska santai. Ia yakin, kemanapun wanitanya pergi, ia akan menemukannya kembali.
Ara bangkit dari duduknya, melangkah dengan jalan yang aneh menuju pintu dan membukanya lebar mempersilahkan tamu gilanya keluar dari apartemennya.
Pria itu mengikuti perintahnya, bangun dari duduknya dengan satu tangan masuk ke saku celana. Dan saat melewati Ara, ia dapat mendengar jelas apa yang Ara katakan.
"Semoga kita tak pernah bertemu lagi."
Jebles!
Pintu bercat coklat itu akhirnya tertutup rapat. Namun ada satu yang Ara lewatkan, ia lupa, benar-benar lupa siapa nama pria yang telah menghabiskan malam dengannya karena sebuah kesalahan. Entah memang kesalahannya, atau kesalahan wanita itu yang salah ambil kunci.
Ia memijit kepalanya yang terasa berat, ingatan semalam juga keterangan yang diberikan resepsionis masih terekam jelas. Ia harap, harapan pria itu tidak akan terjadi, ia tidak ingin hamil, tidak mungkin hamil atau menikah sebelum merebut haknya kembali.
TBC ...