Kabar jatuhnya pesawat, membuat Alyn masih ketakutan. Pasalnya, hari ini adalah keberangkatan Regan dan belum ada kabar apapun. Jika tidak salah, Regan naik pesawat yang saat ini sedang dilakukan evakuasi oleh pihak Indonesia karena kebetulan jatuh di perairan Indonesia. Sudah beberapa kali Rere menelepon Alyn, menanyakan jika tidak ada Regan dalam pesawat tersebut. Sayangnya, Alyn tidak mendapatkan kabar dari Regan. Apa mungkin, Regan menjadi korban dalam jatuhnya pesawat dini hari tadi.
Ingin sekali Alyn datang ke daerah jatuhnya pesawat tersebut, tetapi dia masih memiliki tanggung jawab lain untuk ikut andil dalam operasi. Alyn tidak bisa seenaknya pergi walaupun perasaannya campur aduk. Hati mana yang tidak takut ketika seseorang yang sangat dekat dengannya tidak tahu bagaimana nasibnya.
Bukankah, seseorang tidak merasa kehadiran itu penting sebelum kehilangan merenggut. Berulang kali Alyn berdoa, berharap agar Regan baik-baik saja. Sayangnya, semua belum menemukan titik terangnya. Bagaimana bisa Alyn tenang jika Regan belum memberikan kabar. Mungkinkah Regan tidak berangkat dan mereka bisa bertemu kembali? Mungkinkah Regan masih di luar negeri sedang tidur?
Alyn menyesal karena membuang waktunya hanya untuk mengabaikan Regan. Padahal, Alyn tahu betul jika laki-laki itu sangat mencintainya. Setelah putus dan ditinggal Genta ke luar negeri, Regan datang dengan membawa kebahagiaan. Laki-laki yang merupakan kakak Rere itu membuatnya memiliki harapan. Regan selalu membantunya, berdiri di belakangnya, memberikan motivasi ketika dirinya jatuh, menjadikannya Alyn yang kuat, dan mencintainya dengan sepenuh hati walaupun Regan tahu jika selama ini hanya pelampiasan yang sengaja Alyn hargai.
Matanya sembab, entah mengapa ini menyakitkan. Padahal Alyn dengan sombong mengatakan kepada Dimas jika dia akan meninggalkan Regan jika Genta datang. Namun, sebelum Genta datang, laki-laki itu terlebih dulu meninggalkannya. Mungkin lebih baik seperti ini, Regan tidak akan merasa dibuang jika dirinya pergi duluan.
Alyn menatap ponselnya yang sepi, nomor Regan tidak aktif walaupun sejak tadi Alyn sudah berusaha untuk menghubungi. Ketakutan demi ketakutan membuatnya merasa tertekan. Bagaimana jika Regan benar-benar meninggalkannya?
Semua ketakutan itu membuat Alyn merasa hidupnya tidak berguna lagi. Apapun yang dia lakukan tidak akan bisa mengalihkan perasaan khawatir di dalam dirinya. Mengapa rasanya kehilangan sekali walaupun belum tahu apakah Regan di dalam pesawat atau tidak. Bolehkan Alyn berharap lebih? Jika itu bukan Regan-nya?
Alyn mengusap air matanya, lalu mencuci wajahnya. Setelah itu Alyn berusaha untuk menghubungi salah satu orang, Dimas. Belum ada balasan dari Dimas. Pesannya tidak di balas dan teleponnya tidak diangkat. Sampai akhirnya Dimas mengangkat teleponnya.
"Halo, Ralyn? Kenapa?" Tanya Dimas yang entah di mana. Yang jelas Alyn bisa mendengarkan suara berisik di sekitar Dimas.
Alyn meredakan tangisnya, "k-kamu di mana?"
"Aku baru di bandara, Lyn. Pesawat yang jatuh tadi itu ada tunangannya sepupuku. Ini sepupuku mau datang setelah dapat kabar. Kenapa, suara kamu kenapa serak gitu? Kamu habis nangis? Kenapa?" Tanya Dimas yang berubah khawatir.
Alyn tidak bisa membendung tangis kembali. Perempuan tergugu dalam tangisnya, sulit berkata-kata. Wajah Regan terus berputar di kepalanya. Bagaimana kondisinya? Apakah Alyn harus nekat pergi dari rumah sakit dan meninggalkan pasiennya?
"Kamu baik-baik aja? Setelah aku jemput sepupuku, aku ke rumah sakit, ya?" Suara Dimas terdengar sangat khawatir karena mendengar Alyn menangis.
"Dim, tolong lihat daftar korbannya. Apa ada nama Kak Regan di sana? Kemarin dia bilang mau berangkat, hari ini. Aku enggak bisa hubungin dia. Aku enggak bisa datang kesana karena ada pasien. Aku bingung dan aku khawatir. Tolong Dim!"
Dimas terdiam cukup lama, "Dim? Kamu masih di sana?" Tanya Alyn yang bertambah kacau.
"Ah, iya. Aku coba lihat ya, Lyn. Tapi—kamu enggak ada kontekan sama sekali? Mungkin Regan enggak berangkat? Ya udah jangan di jawab. Aku nanti ke rumah sakit aja buat kabarin kamu. Kamu fokus sama kerjaan, jangan dipikirin. Semoga, Regan enggak ikut dalam pesawat. Kamu tenang ya, aku bakalan cari tahu." Ucap Dimas yang berusaha untuk menenangkan Alyn.
"Makasih, Dim."
Hanya itu yang Alyn ucapkan sebelum mematikan sambungan teleponnya. Perempuan itu menatap ponselnya lalu memasukkannya kembali ke dalam saku bajunya. Setelah lebih tenang dan berusaha berpikir positif, Alyn keluar dari dalam kamar mandi untuk menuju ke ruang UGD.
Beberapa anak koas yang hendak menyapa Alyn, mengurungkan niat mereka karena melihat wajah Alyn yang tidak baik-baik saja. Petugas di UGD pun ikutan diam karena tidak biasanya melihat wajah lesu Alyn yang sejak tadi pagi diperlihatkan. Biasanya, masalah sebesar apapun, Alyn tidak akan memperlihatkan di depan orang lain. Namun baru kali ini, Alyn tidak bisa menyembunyikan perasaannya.
Walaupun hatinya sedang hancur, Alyn tetap berusaha untuk menjadi dokter yang profesional. Dia hanya tersenyum tipis ke arah rekannya. Tidak banyak bicara kepada semua orang. Bahkan sejak turun dari mobil, Alyn lebih banyak diam. Sesekali tangannya meraih ponselnya, berharap agar ada pesan masuk.
Helaan napasnya terdengar kasar namun tetap berusaha tenang. Dia tidak sanggup jika harus kembali mengenang kehilangan. Mengapa semua orang yang dekat dengannya harus pergi? Kedua orang tuanya? Abangnya? Genta walaupun tidak meninggal. Lalu, sekarang Regan akankah sama meninggalkannya?
Naura berjalan mendekat ke arah Alyn dengan keberanian yang dia miliki. Sebenarnya terlalu lancang, bahkan Naura mendapatkan tatapan tidak suka dari beberapa tenaga medis yang lain karena terlalu berani mendekati Alyn.
Naura mengambil duduk disamping Alyn, meletakkan sebuah minuman kaleng di dekat Alyn. Alyn menoleh lalu tersenyum tipis. Tidak banyak bicara namun mengambil kaleng minuman itu dan membukanya. Meminum isinya sampai setengah isinya.
"Saya enggak pa-pa!" Ucap Alyn yang sudah tahu pertanyaan yang ada di benak semua orang di ruangan ini.
"Kalian semua enggak perlu khawatir karena saya baik-baik saja." Lanjut Alyn tersenyum.
Mereka hanya mengangguk, tidak berani berkomentar. Dengan melihat wajah Alyn yang seperti ini saja sudah membuat mereka tahu, jika ada masalah serius sampai membuat perempuan itu tampak frustasi.
Alyn beranjak dari ruangan itu, "ada operasi sebentar lagi, saya sudah ditunggu Dokter Andi."
"Iya, Dok." Hanya itu yang mereka katakan karena benar-benar bingung harus merespon apa.
Alyn berlalu dari ruangan UGD untuk bersiap-siap. Semoga saja setelah keluar dari ruangan operasi, ada kabar baik yang setidaknya membuat dirinya tenang. Alyn kembali menatap ponselnya, belum ada pesan yang masuk ke dalam ponselnya.
Wajahnya menunduk, "Kak, kalau sampai ada kesempatan kedua. Aku akan dengan senang hati menerima Kakak dengan baik. Merubah semua rasa terpaksa ini menjadi cinta. Aku akan berusaha lebih keras agar bisa menghargai kehadiran Kakak selama ini. Biarkan aku minta maaf terlebih dulu, Kak. Biarkan aku berjuang untuk jatuh cinta. Jangan pergi dengan cara seperti ini. Aku mohon!"
###
"Dokter Ralyn?"
Alyn menoleh ke belakang ketika ada yang memanggil namanya. Alyn tidak banyak bereaksi, hanya berdiri dan tampak menunggu perempuan yang memanggilnya tadi untuk mendekat kepadanya. Naura tersenyum kikuk pada Alyn, namun akhirnya memberi sebuah kotak makanan bewarna merah muda kepada Alyn.
"Em, ini dari Ibu saya, Dok. Tadi sore Ibu saya datang dan membawakan dua makan malam. Sebenarnya, saya sering cerita tentang Dokter kepada Ibu saya dan Ibu saya langsung suka pada Dokter. Tadi, Ibu saya ingin bertemu dengan Dokter Ralyn, tapi karena saya tahu Dokter sedang butuh waktu sendiri jadi Ibu hanya menitipkan ini." Ucap Naura yang seperti tidak enak hati.
Alyn tersenyum, menerima kotak makanan itu. "Terima kasih banyak, sebenarnya saya bisa kok bertemu dengan Ibu kamu tadi. Lain kali, kalau misalkan Ibu kamu datang dan ingin bertemu, bilang saja. Selama tidak ada yang gawat dengan pasien, saya pasti bisa menemui beliau. Sampaikan terima kasih saya untuk makan malamnya."
"Oh iya, saya akan makan di rumah karena ingin pulang lebih awal. Ada hal penting yang ingin saya lakukan sekarang. Jika banyak yang bertanya tentang keadaan saya hari ini, kamu tidak harus bilang apa-apa. Mereka tidak perlu tahu kenapa saya seperti ini." Lirih Alyn mengenang semua masalahnya.
Naura mengangguk, "setiap orang pasti memiliki masalah, Dok. Saya harap, masalah Dokter bisa segera selesai."
Alyn tersenyum lalu mengelus lengan Naura pelan dan berjalan keluar dari rumah sakit. Benar saja, setelah Alyn pergi, beberapa anak koas dan tim medis dari UGD mendekat padanya. Bertanya tentang Alyn seharian ini. Namun seperti yang Alyn minta, Naura lebih memilih untuk diam.
Alyn masuk ke dalam mobilnya dan hendak segera pulang. Kepalanya sedikit pusing karena seharian ini bekerja terus-menerus, ditambah lagi dengan kekhawatiran atas Regan yang belum terselesaikan.
Jalanan cukup ramai karena malam minggu. Sesekali Alyn menatap ke arah taman kota yang ramai dengan pasangan yang sedang bersama. Air matanya sesekali jatuh, namun dia hapus dengan kasar.
Setelah lima belas menit, Alyn baru sampai di rumahnya. Satpam sudah membukakan pintu ketika Alyn membunyikan klakson. Keningnya berkerut ketika melihat sebuah mobil warna biru terparkir di halaman rumahnya. Alyn langsung bergegas masuk ke dalam dan mendapati Dimas sedang duduk sendirian di ruang tamu sambil menyesap kopi buatan bu Indah yang kebetulan belum pulang.
"Dim," sapa Alyn yang meletakkan sepatunya di rak sepatu.
Dimas menoleh lalu tersenyum tipis ketika melihat Alyn mendekat, "aku baru aja datang."
Alyn mengangguk, "gimana tentang kecelakaan itu? Sepupumu mana?"
Alyn celingak-celinguk mencari sepupu Dimas. Karena Dimas bilang hendak menjemput sepupunya di bandara.
"Langsung ke rumah tunangannya, Lyn. Tunangannya ditemukan sudah meninggal. Semua yang ada di dalam pesawat itu termasuk kru dan juga penumpangnya, meninggal. Setelah proses identifikasi, sepupuku pergi bareng keluarga tunangannya. Aku sebenarnya mau ikut, tapi aku 'kan harus nemenin kamu," jawab Dimas yang membuat air mata Alyn mengalir.
"Terus?" Alyn mengusap air matanya dengan punggung tangannya. "Apa ada orang yang kamu kenal? Maksud aku—" Alyn sulit untuk melanjutkan ucapannya.
Paham dengan maksud Alyn, Dimas menggeleng. "Aku sempat melihat daftar korban, tapi aku enggak lihat ada nama Regan di sana. Jadi, aku telat dengar semua nama penumpang yang meninggal karena harus menenangkan sepupuku dulu."
Alyn mengusap wajahnya kasar dan air matanya berlomba untuk keluar. Sungguh, Alyn ingin marah tetapi pada siapa? Menelepon Rere hanya akan memperkeruh keadaan saja. Sampai akhirnya ponselnya berdering. Alyn mengambil ponselnya, lalu menatap layarnya.
Air mata Alyn berhenti, matanya membulat seketika. Perempuan itu mengangkat ponselnya dan memberi tahu siapa orang yang menelepon dirinya.
"Angkat," perintah Dimas.
"Halo?" Lirih Alyn berusaha untuk tetap tenang.
"Halo Yang, astaga kamu di mana aja sih? Aku khawatir lho," gerutu orang diseberang sana.
"Kak Regan? Kakak baik-baik aja? Kakak enggak ikut pesawat itu? Kenapa Kakak enggak ngabarin aku sama sekali?" Tangis Alyn kembali pecah.
"Yang, aku baru beli pulsa ini. Kamu kemana aja sih? Aku kirim pesan di w******p lho. Aku kira kamu tadi sibuk, makanya aku enggak telepon biasa."
Alyn menatap ponselnya kembali cukup lama lalu menepuk keningnya. Dimas tidak paham dengan apa yang Alyn lakukan karena telepon Regan memang tidak di loudspeaker.
"Astaga Kak, aku enggak tahu kalau matiin dataku. Pantas aja enggak ada pesan yang masuk." Jujur Alyn yang baru saja menghidupkan datanya. Pesan-pesan pun berdatangan satu-persatu.
"Syukurlah kamu baik-baik aja. Aku sempat khawatir karena kamu enggak aktif. Untungnya aku ketinggalan pesawat, Yang. Semalam begadang, malam perpisahan gitu sama yang lainnya. Eh, malah sampai siang baru bangun. Aku dapat kabar kalau ada pesawat yang jatuh. Nah, aku langsung hubungin kamu setelah tahu kamu telepon aku berulang kali."
Alyn menghela napas lega, "jangan kaya gini lagi ya, Kak. Jangan bikin aku khawatir. Cepet pulang kesini, aku pengen peluk yang lama banget. Aku takut banget, sampai enggak bisa fokus ngapa-ngapain."
"Iya Sayang, besok aku pulang kok. Janji deh, enggak bakalan bikin kamu khawatir. Besok bisa jemput enggak? Atau aku langsung ke rumah sakit?" Tanya Regan dengan lembut.
"Aku jemput di bandara, setelah itu Kakak harus nemenin aku ke rumah sakit. Nungguin aku sampai selesai kerja. Enggak mau tahu! Hukuman buat Kak Regan karena bikin aku khawatir dan nangis. Tuh, sekarang Dimas ketawa. Dia senang banget kalau lihat aku menderita kaya gini." Adu Alyn karena Dimas sedang menertawakannya.
"Ember banget sih," ketus Dimas yang membuang mukanya ke kanan.
Alyn tersenyum melihat kelakuan Dimas. Dia juga senang karena tidak ada hal buruk yang terjadi kepada Regan. Jadi, apakah ini kebaikan Tuhan untuk memberikan kesempatan kedua untuknya?
"Aku sayang banget sama Kak Regan. Aku mau minta maaf karena selama ini aku udah jahat sama hubungan kita. Mulai sekarang, aku bakalan berubah. Lebih perhatian, pengertian, enggak egois lagi dan maunya cuma dingertiin." Ucap Alyn.
"Kamu ngomong apaan sih? Kamu bilang begitu bikin aku takut. Kamu enggak berniat ninggalin aku 'kan? Aku paling takut kalau semuanya terjadi?" Lirih Regan.
"Enggak! Aku sayang sama Kakak, buktinya aku takut kehilangan Kak Regan. Sangat takut!"
###