1. Gara-gara Kucing

1895 Words
Bertahun-tahun kemudian ....  “Vina, cepat turun!” Teriakan Mama di bawah sudah terdengar nyaring. Aku yang baru saja selesai dandan langsung buru-buru keluar kamar dan berjalan cepat menuruni tangga. “Lama banget dandannya?” “Kata Mama suruh nunjukin penampilan terbaik?” Mama tersenyum. “Memang iya.” “Curiga, ini, jangan-jangan aku mau dijodohin.” Aku menuduh dengan dasar yang sangat lemah. “Ada urgensi apa Mama sama Papa jodohin kamu? Mama minta kamu berpenampilan baik karena yang punya acara malam ini orang penting.” “Sepenting apa, Ma?” “Jangan banyak tanya. Ikut aja.” “Lah! Jangan-jangan Mama juga enggak tahu?” mataku memicing. Mama ini mencurigakan sekali. “Dia teman Papamu. Entah teman apa, tapi yang jelas saling kenal.” Mataku kembali memicing. “Serius, aku mencium bau-bau film kuno. Disuruh dandan cantik, tahu-tahu dijodohin. Ogah, Ma! Udah enggak jaman!” “Enggak, Vin! Udah ah, buruan kita ke mobil sekarang. Papamu udah nungguin di dekat lokasi.” Aku mengangguk pasrah. “Baiklah, Kanjeng Mami.” Aku dan Mama keluar rumah dan bergegas masuk mobil. Tentu saja, aku supirnya. Mana mungkin aku durhaka meminta Ibu Negara jadi supir. Jujur, entah kenapa aku agak cemas. Jarang sekali Mama memintaku dandan cantik demi menemani beliau ke sebuah acara. Acara yang bahkan tidak kutahu sama sekali. Aku hanya ikut saja karena Papa juga memaksa. Yang jelas bukan acara pernikahan. Ini sudah Mama tekankan sejak kemarin. “Aku beneran enggak dijodohin, kan, Ma?” tanyaku di tengah perjalanan. “Kalau iya, aku mau putar balik.” Mama berdecak sebal. “Itu lagi. Enggak, Vin, enggak.” “Terus apa? Jujur, dong, Ma. Jangan bikin aku deg-degan. Mencurigakan banget soalnya.” “Papamu akan mengenalkanmu di depan teman-temannya. Bagaimanapun, kamu yang akan mengambil alih perusahaan mulai bulan depan.” “Ini suatu hal yang perlukah, Ma?” “Sangat perlu karena salah satu dari mereka ada yang pernah berjasa besar untuk perusahaan kita ketika diambang rugi. Ada kemungkinan dia mau berinvestasi lagi. Papamu harus menyakinkan dia kalau kamu layak meneruskannya.” “Terus aku harus promosiin diri, gitu? Mana bisa. Maksudku, aku bahkan belum mulai terjun ke lapangan langsung.” “Ya enggak promosiin diri juga. Intinya biar kenal aja. Jadi misal suatu saat ada pertemuan, dia udah paham.” Aku menghela napas panjang. “Aturan ini Mas Danish aja, bukan aku.” “Jangan diungkit lagi, Vin. Kita udah ngerundingin ini dengan kepala dingin. Jangan plin-plan.” “Iya, Ma.” Bicara Mas Danish, dia adalah kakakku satu-satunya. Di saat rata-rata perusahaan orang lain dilanjutkan anak laki-laki, kasus keluargaku justru sebaliknya. Kakakku memilih untuk hidup di Jogja dengan dunia perkampusannya—dia adalah dosen— dan membiarkan adik perempuannya melanjutkan usaha keluarga di Jakarta. Ini sempat dilematis karena di saat Mas Danish menolak, aku juga sempat menolak. Namun, pada akhirnya aku setuju setelah mempertimbangkan banyak hal. Aku harus bisa membuktikan bahwasannya anak perempuan juga bisa menjadi atasan yang baik. Tidak semua pimpinan harus laki-laki. Dua puluh menit berlalu, aku menghentikan mobil di halaman sebuah rumah megah tiga lantai. Banyak mobil yang parkir di sana. Sepertinya memang ada acara besar di dalam. Mama sejak tadi menjadi penunjuk arah karena beliau yang tahu alamatnya. Sebelum masuk, aku dan Mama menunggu Papa. Papa sudah on the way dari hotel tempat beliau bertemu salah satu teman yang juga akan pergi ke acara ini. “Itu Papamu, Vin.” Mama menunjuk arah pintu masuk. “Oh iya, bener.” Tangan Papa terulur mengisyaratkan agar aku dan Mama segera mendekat. “Selama di dalam bersikap apa adanya aja, Vin,” ucap Papa begitu aku sudah berdiri di depan beliau. “Ya iyalah, Pa. Emangnya aku mau ngapain? Atraksi?” “Kok malah atraksi?” “Ya habisnya kalimat Papa itu ambigu.” “Enggak. Maksud Papa, kamu tetap jaga image, tapi jangan terlalu dibuat-buat.” “Oh ...” Aku mengangguk paham. “Oke.” Papa dan Mama melangkah masuk lebih dulu dan aku mengekor di belakang. Kami langsung disambut pelayan begitu tiba di depan pintu. Aku cukup kaget ketika melihat ruang tamu disulap layaknya ballroom pernikahan. Namun, seperti yang kubilang tadi, ini bukan acara pernikahan. Mungkin semacam acara makan malam yang mewah? Pasalnya, ada banyak bunga dan hiasan di ruangan ini. “Ini acara apa, sih, Pa? Mewah amat.” “Ulang tahun cucu pertama pemilik rumah ini. Kayaknya ulang tahun ketiga.” Aku langsung menganga. Bukan main! Ulang tahun balita saja sudah seperti ini? “Lebay amat, Pa.” “Udah, jangan protes.” Semakin masuk, semakin banyak aku bertemu orang-orang. Papa mengenalkanku pada beberapa teman beliau, dan aku hanya iya-iya saja untuk basa-basi. Aku ingat pesan beliau di luar tadi. Tetap jaga image, tetapi jangan terlalu dibuat-buat. Demi apa pun, acara seperti ini sangat membosankan bagiku. Orang-orang hanya akan saling pamer sana-sini. Menyombongkan usahalah, mobil barulah, pencapaian anaklah, bahkan sampai pamer barang branded. Ada pula yang merendah untuk diinjak—eh, salah, maksudku merendah untuk meroket. Aku tidak mau munafik. Aku selalu bersyukur dilahirkan dari orang tua yang langsung memberikanku sendok emas di tangan. Itu memudahkanku dalam banyak hal. Namun, terkadang aku merasa tidak cocok hidup ala sosialita. Semuanya serba diatur, harus jaga image, pilih-pilih teman, dan masih banyak lagi. Rasanya sulit untuk menjadi diri sendiri. Tidak sampai di situ, aku juga malas menghadapi orang-orang yang berwajah palsu. Banyak yang saling menjilat demi mendapat keuntungan. Aku tidak bermaksud mengeneralisir, tetapi itulah yang sering kutemui belakangan ini. Terkadang aku protes ke Papa, tetapi beliau bilang kalau beliau hanya menjaga hubungan baik saja, tidak lebih. Bicara ‘jilat-menjilat’, aku khawatir kalau suatu saat aku akan masuk dalam kubangan itu. Itu membuatku agak takut. Sepertinya aku harus memahami ulang tentang bedanya ‘menjilat’ dan bekerja keras dalam mengambil hati seseorang dengan cara yang tepat dan elegan. Maksudku, tidak sampai menghalalkan segala cara. “Ma, kita enggak bawa kadokah? Kan katanya ulang tahun.” “Itu urusan Papamu. Kita tinggal ikut saja.” “Ah ... okey.” Acara tak kunjung selesai, membuatku bosan setengah mati. Aku juga diminta tersenyum sepanjang acara. Pipiku lama-lama terasa pegal. Aku sudah melihat bocil yang ulang tahun. Dia bahkan terlihat belum paham dengan pesta megah yang diadakan kakeknya. Dia hanya fokus pada kue berbentuk mobil-mobilan di depannya. “Ma, ini masih lama, ya?” aku mulai tidak tahan. Rasanya benar-benar menyebalkan harus hadir di acara ulang tahun balita yang bahkan sama sekali tak kukenal. Sungguh konyol! “Kayaknya masih lama, Vin.” “Aku pengen kamar mandi, Ma. Di mana, ya?” Ini alibi. Lebih tepatnya, aku ingin kabur. “Itu tanya pelayan coba. Nanti pasti diantar.” “Oke.” Aku menepi dari gerombolan-gerombolan yang semakin lama tampak memuakkan. Aku bertanya pada salah satu pelayan, lalu dia menunjukkan arah menuju kamar mandi. Tanpa babibu lagi, aku langsung ngacir. Bukannya ke kamar mandi, aku malah belok menuju arah yang berlawanan. Tepatnya ke arah halaman belakang yang luar biasa luas. Aku terdiam untuk sesaat. Kupikir halaman belakang rumah Om Dilan dan Tante Dean sudah paling luas, ternyata ini lebih lagi. Harusnya halaman ini bisa untuk bermain bola. “Ah ... nyamannya.” Aku duduk di salah satu kursi malas yang ada di dekat kolam ikan. Halaman belakang juga sedikit dihias, itu artinya kalau tamu datang ke sini masih boleh. Bukan sedang menyusup. Di sini juga ada meja berisi makanan dan minuman, tetapi tidak sebanyak yang di dalam. Aku baru saja membuka ponsel dan scroll sosial media ketika tiba-tiba aku dibuat terkejut oleh seekor kucing putih yang melompat ke pangkuanku. Aku sempat berteriak, tetapi kemudian buru-buru membekap mulut. “Pus, ngangetin aja kamu ini!” aku menyentil pelan kepala kucing itu, lalu membawanya ke pelukan. Ponsel kuletakkan di sisi kiri agar aman. Kucing ini putih bersih dan tidak bau. Sepertinya dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Karena dia tiba-tiba muncul di rumah ini, pastilah pemiliknya masih anggota keluarga. Dulu aku memelihara kucing, tetapi sudah tidak lagi karena tak sempat. Apalagi setelah beranak pinak, aku semakin kewalahan. Daripada aku menelantarkan, lebih baik kukasihkan semua kucing-kucingku ke salah satu temanku yang juga pecinta kucing. Kucing itu mengeong pelan di pangkuanku. Wajahnya lucu sekali. Badannya gemuk, tetapi tidak terlalu berat. “Siapa tuanmu, Pus?” tanyaku sembari mencium pelan wajahnya. Dia tidak marah, malah menggerakkan ekornya lucu. “Mau kuajak pulang, Pus?” Kucing itu kembali mengeong, lalu melompat turun. Aku mengikuti ke arah mana dia pergi. Mataku langsung mengerjap ketika menyadari dia berhenti di depan sebuah kaki. Kaki itu mengenakan calana pendek dan sandal jepit. Pelan-pelan pandanganku naik, dan aku tersentak ketika melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap sedang berdiri di dekat sebuah pintu. Laki-laki itu mengenakan kaos polos berwarna putih, celana cream selutut, dan sendal jepit hitam. Mataku menyipit karena wajahnya tak begitu jelas kelihatan. Yang pasti, dia mengenakan kacamata. “Siapa, ya?” tanyaku pelan. Di acara semegah ini, ada laki-laki berpenampilan seperti itu. Ini jelas bukan hal yang lumrah. Minimal bajunya harus panjang dan kakinya bersepatu. Tapi ini? Tiba-tiba, kucing tadi kembali berlari ke arahku dan melompat ke pangkuanku. Laki-laki itu kini mendekat karena tampaknya dia khawatir kucingnya akan kabur. Aku segera berdiri, lalu megangguk sejenak. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku berdebar. “Maaf, ini kucing milik Masnya, ya?” tanyaku hati-hati. Semakin dia mendekat, perlahan wajahnya semakin terlihat jelas. Terlebih setelah wajahnya tersorot lampu. Kini, aku tertegun cukup lama. Aku menatap laki-laki itu lurus dan lekat. Dia juga melakukan hal yang sama. Jujur, aku seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Wajahnya tampak tak asing. “Berikan kucing itu.” “A-ah, ini, ini.” Aku menyerahkan kucing yang kugendong, tetapi kucing itu malah melompat turun dan naik ke atas kursi yang tadi kududuki. Kucing itu mengeong lagi. Aku kembali menatap laki-laki itu, dan dia kini sedang melepas kacamatanya. Begitu wajah tanpa kacamatanya terpampang jelas, aku refleks mundur satu langkah. Tidak, tidak mungkin dia orangnya. Aku pasti salah ingat, kan? “Kenapa menatap saya seperti itu?” Aku menelan ludah, lalu menarik napas panjang. “Jangan bilang, Masnya ini Alan Dzaka?” Sebelah alisnya terangkat sebelah. “Kamu kenal saya?” Mataku mendelik, mulutku pun langsung menganga. Jadi benar, laki-laki ini adalah manusia arogan itu. “Saya menolak kenal orang sombong macam Masnya.” Entah dorongan dari mana— mungking juga terdorong dendam masa lalu yang belum tertuntaskan, aku menginjak kakinya cukup keras lalu buru-buru pergi. Namun, baru saja aku lari beberapa langkah, lenganku sudah ditarik dan aku di dorong ke arah tembok. Aku menahan napas, terlebih saat manusia arogan ini memposisikan dirinya di depanku dengan jarak yang cukup dekat. “Siapa kamu berani-beraninya menginjak kaki saya?” tanyanya sembari menatapku tajam. Aku belum sempat menjawab ketika tiba-tiba aku mendengar suara Mama memanggilku. “Vin! Vina! Kamu di mana?” Detik itu juga kuinjak lagi kakinya, masih bonus kutendang betisnya, baru kemudian aku buru-buru pergi meninggalkannya. Aku mengusap dadaku yang sudah berdetak tak karuan. “Ma, aku di sini, Ma.” Aku mengembuskan napas lega begitu bertemu Mama. “Ke kamar mandi kok lama banget, sih? Ditelepon juga enggak diangkat.” “Mama telepon? Eh, mana hapeku? A-ah, iya, di kursi belakang. Bentar, Ma, aku ambil dulu.” Begitu ke belakang lagi, ponselku sudah tidak ada di atas kursi. Laki-laki tadi, maksudku si manusia arogan, juga sudah tidak ada. Kucingnya pun sama saja. Di halaman belakang tak ada tanda-tanda kehidupan. Mereka menghilang bersama ponselku. Sebentar ... masa iya ponselku dia ambil? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD