Bi Isti memperkenalkan satu persatu nama pembantu di rumah itu. Termasuk empat orang yang dikenal oleh Maya. Maya tak menduga dua orang angkuh yang dulu sering menghinanya, ternyata menjadi asisten rumah tangga. Bahkan kesombongan mereka tidak sirna sampai sekian lama. Setiap pulang kampung bergaya bak artis ibukota. Di kampung mengaku bekerja di sebuah perusahaan besar. Setiap bertemu Maya mereka selalu meledek Maya yang hanya ibu rumah tangga dan sesekali menjadi tukang masak saat ada hajatan di kampung mereka. Juju dan Yuyun meledek Maya dengan mengatakan kecerdasan dan nilai Maya yang selalu bagus di sekolah, ternyata tidak ada gunanya.
"Kalian pasti bingung, kenapa aku perkenalkan nama kalian kepada Non Maia. Jadi, Non Maia setelah mengalami kecelakaan, Non Mai menderita asemnia."
"Amnesia, Bu." Pak Isman meralat ucapan istrinya.
"Oh iya itu. Jadi Non Maia tidak ingat apa-apa. Tidak ingat siapa dirinya, tidak ingat dengan siapapun juga. Non Maia di rumah ini akan memulai semuanya sebagai orang baru. Dia butuh bantuan kalian untuk mengingatkan semuanya. Apa kalian mengerti?"
"Mengerti, Mbak." Serempak semua menjawab.
"Baiklah. Sekarang kalian bisa kembali pada tugas kalian masing-masing."
"Baik, Mbak. Permisi, Non."
"Ya."
Maya membalas anggukan para ART kepadanya.
Setelah para ART di rumah itu pergi.
"Mari Non, Bibi antar ke kamar Non."
"Iya, Bik."
Maya mengikuti langkah Bik Isti. Mereka tiba di depan sebuah pintu. Bik Isti membuka pintu kamar berwarna putih itu. Pintu kamar terbuka. Yang pertama terlihat oleh Maya adalah satu set sofa berwarna coklat tua dan televisi yang cukup besar dinding.
"Mari masuk, Non." Bik mempersilakan Maya masuk ke dalam kamar.
Ada sekat dari bahan kayu yang memisahkan antara ruang tamu kecil dengan ruang tidur. Tempat tidur yang sangat besar dan terlihat nyaman. Dengan seprai polos berwarna hijau tua. Lantai kamar dilapisi karpet berwarna hijau tua juga. Gorden pun berwarna hijau.
Bik Isti membuka gorden. Terlihat taman dan kolam renang kecil di luar sana. Kemudian Bik Isti menggeser bingkai kaca yang merupakan pintu menuju teras.
Maya terpesona melihat hamparan hijau di hadapannya. Taman kecil yang indah dengan kolam renang di tengahnya.
"Sekarang kita ke kamar mandi." Bik Isti menutup lagi pintu kaca menuju teras.
Maya mengikuti langkah Bik Isti menuju sebuah pintu berwarna putih. Pintu dibuka, di hadapan mereka terdapat ruangan yang cukup luas. Di kiri kanannya ada lemari kaca. Lemari kaca itu berisi pakaian sepatu dan tas yang cukup banyak jumlahnya. Maya mengikuti langkah Bik Isti masuk ke dalam ruangan itu. Mereka tiba di depan sebuah meja rias yang cukup besar, dengan berbagai produk yang Maya tidak tahu untuk apa saja barang-barang yang tersusun rapi di kiri kanan kaca besar itu.
"Ini kamar mandi." Bik Isti membuka sebuah pintu. Maya tertegun di depan pintu, melihat kamar mandi yang sangat besar. Lebih besar dari kamar tidurnya di kampung.
"Sekarang kita kembali ke kamar tidur." Bik Isti menutup pintu kamar mandi.
Maya kembali mengikuti langkah Bi Isti menuju ruang tidur. Di ruang tidur hanya ada tempat tidur. Mereka menuju ruang tamu. Maya baru memperhatikan kalau ruang tamu itu menyambung jadi satu dengan sebuah dapur mini. Dapurnya kecil, tapi peralatan dapurnya komplit. Ada kulkas, ada microwave, dan ada alat masak serta alat makan.
"Non Maia orang yang sangat pendiam. Non Maia engan keluar masuk kamar. Kamar ini dulu adalah kamar orang tua Non Maia. Non Maia memilih pindah ke kamar ini setelah ibunya meninggal, karena tidak ingin keluar masuk kamar untuk mengambil makanan, atau minuman."
"Oh. Jadi aku suka memasak, Bik?"
"Iya. Non senang memasak untuk diri sendiri."
"Oh."
"Kalau Non Maia ingin memanggil pelayan, tekan saja bel di dekat tempat tidur "
"Baik, Bik."
"Sebaiknya Non istirahat."
"Iya, Bik."
"Apa Non Maia ingin di masakan sesuatu untuk makan siang?" Tanya Bik Isti.
"Apa menu makanan yang biasa disantap oleh aku selama ini?" Maia balik bertanya.
"Non tidak pernah rewel dalam hal makan."
"Apa bisa aku minta sayur asem, ikan goreng, dan sambal terasi?" Tanya Maya.
"Tentu saja bisa." Kepala Bik Isti mengangguk. Bibirnya tersenyum.
"Terima kasih, Bik."
"Apakah ada yang ingin Non tanyakan, atau butuhkan lagi?"
"Tidak ada, Bik."
"Baiklah, kalau begitu saya permisi. Selamat beristirahat, Non."
"Kapan Tuan Baskara pulang, Bik?" Maya merasa penasaran dengan Baskara.
"Mas Leo, asisten pribadi Tuan Baskara mengabari saya, kalau Tuan Baskara akan pulang malam ini."
"Baik, Bik. Terima kasih."
"Saya permisi, Non."
"Silakan, Bik."
Bik Isti keluar Maya menutup dan mengunci pintu kamar. Maya masuk ke dalam ruangan yang berisi pakaian. Maya ingin membersihkan diri dan mengganti pakaiannya. Maya membuka pintu yang terbuat dari kaca. Maya mencari pakaian yang bisa dikenakan di rumah. Maya menemukan deretan baby doll dengan berbagai motif bahan dan warna. Maya mengambil satu, kemudian ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian. Maya berdiri di depan wastafel yang menampilkan pantulan wajah Maia.
"Kamu cantik, Maia. Kamu punya segalanya yang diinginkan seorang gadis. Tapi sayang kamu tak beruntung dalam hal kisah cinta. Aku berjanji akan membalas dendam pada pria bernama Baskara itu. Akan aku balaskan sakit hatimu padanya. Aku yakin pasti mampu melakukannya. Pria tidak bertanggung jawab. Menelantarkan istri secantik kamu. Aku akan main halus, tapi menusuk sampai ke jantungnya."
Maya bergumam pada pantulan sosok Maia yang ada di cermin.
Sejak mendengar kisah Maia dan Bhaskara, Maya merasa sangat geram kepada Baskara. Seorang pria yang sudah mengucapkan akad nikah, tapi tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami, tidak memberikan hak Maia sebagai istri. Bahkan memberikan rasa sakit di dalam hati Maia. Memberi Maia kepedihan dalam hidupnya, sehingga berujung pada keinginan Maia untuk bunuh diri.
"Kau lihat saja, Tuan Baskara. Kau akan tahu rasanya berada di posisi Maia. Tak dihargai sebagai seorang suami. Kau akan mendapatkan balasan atas perbuatan kamu!"
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian. Maya keluar dari ruangan yang berisi pakaian itu. Maya naik ke atas tempat tidur. Ia berbaring di sana. Tempat tidur yang sangat nyaman dan baru pertama kali ia rasakan sepanjang hidupnya. Mata Maya terpejam, sebentar saja Maya sudah tertidur. Ia melupakan sejenak semua masalah yang sudah terjadi dan mungkin saja akan terjadi dalam hidupnya. Maya ingin mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Maya yakin, ia perlu energi luar biasa untuk menghadapi seorang Baskara. Nama yang sebenarnya tidak asing baginya. Tapi Maya tidak ingin menduga-duga, apakah Baskara yang ini, sama dengan Baskara yang ia kenal dahulu.
*