Crisis - 04

1023 Words
Tidak seperti kebanyakan orang, aku dilahirkan dengan perbedaan yang sangat mencolok bahkan terasa sangat aneh jika orang awam mengetahuinya. Ya, aku terlahir dengan kelamin ganda atau biasa disebut sebagai fenomena interseks. Identitasku sangat membingungkan dan banyak orang yang tidak mengerti harus bagaimana jika mereka menjadi sepertiku. Banyak sekali orang yang menyarankanku untuk memilih saja salah satu gender yang membuatku nyaman, tapi sayangnya itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semua itu sulit, sangat sulit. Apalagi orang tuaku juga memperlakukanku dengan egois, ayah memaksaku untuk menjadi laki-laki, sedangkan ibu membesarkanku untuk menjadi perempuan. Itu adalah kondisi yang sangat membingungkan untuk diriku yang masih kecil. Aku juga sudah banyak melakukan terapi dan hasilnya tetap nihil. Aku masih belum dapat menemukan jati diriku yang mana, apakah aku lebih perempuan atau laki-laki. Jika boleh jujur, sebenarnya apapun itu, aku lebih nyaman menjadi diriku sendiri. Maksudku, aku tidak ingin dikategorikan dengan laki-laki atau perempuan, aku ya aku. Tapi dunia masih belum siap menerima itu. Itu akan menjadi membingungkan bagi sebagian orang karena dalam hidupnya mereka sudah terbiasa melihat laki-laki dan perempuan, jika ada individu yang gender dua sekaligus, itu akan terdengar sangat aneh. Aku paham apa yang mereka rasakan, karena jika aku menjadi mereka, aku juga akan bereaksi yang sama seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi bagian dari hidupku dan aku harus menerimanya, karena jika tidak, kemana aku harus mencari petunjuk? Tidak ada, atau lebih tepatnya, belum ada panduan-panduan khusus untuk hidup nyaman sebagai interseks. Orang-orang sepertiku itu sangat minoritas dan itu sangat sulit untuk diidentifikasi sehingga orang-orang pada umumnya tidak mampu untuk menggambarkan betapa sulitnya hidup menjadi seorang interseks. Aku tidak pernah mendapatkan perlakuan yang kasar dari orang-orang, karena aku masih menyembunyikan identitasku yang sebenarnya. Aku mengidentifikasikan diriku sebagai perempuan di hadapan banyak orang, dan itu terpaksa kulakukan, karena mau tidak mau aku harus memilih di antara keduanya. Meskipun begitu, aku selalu tertekan saat memaksakan diri menjadi perempuan yang utuh karena bagiku itu sangat mustahil untuk orang-orang sepertiku. Begitu pula menjadi laki-laki, itu adalah perandaian yang sangat tidak mungkin terjadi. Aku sudah dengar bahwa semakin hari, kesadaran masyarakat terhadap identitas orang-orang interseks semakin tinggi, dan itu benar-benar membuatku bahagia. Karena akhirnya, waktu telah mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Aku sangat bahagia melihat anak-anak muda jadi lebih ramah terhadap label-label seperti itu, aku tidak tahu apakah itu hanyalah bagian dari tren atau bukan, tapi mereka benar-benar sangat progresif. Aku sangat kagum dengan anak-anak generasi sekarang. Di saat anak-anak generasiku lebih fokus pada hal-hal yang tidak penting, anak-anak generasi sekarang banyak belajar tentang hak-hak asasi manusia dan gerakan-gerakan sosial semacamnya dan itu telah memicu masyarakat jadi semakin terbuka terhadap hal-hal baru. Itu bagus, sangat bagus. Aku memuji aksi yang dilakukan oleh mereka karena itu sangat positif dan cukup berpengaruh pada pandangan masyarakat. Aku juga jadi lebih nyaman mengekspresikan siapa diriku yang sebenarnya saat generasi mereka sudah semakin aktif dan dewasa. Interseks adalah bagian dari diriku dan aku tidak bisa menghapusnya. Aku hanya ingin masyarakat bisa menerima diriku apa adanya dan tidak memaksa agar aku memilih salah satu dari dua pilihan yang ada. Itu tidak mudah, terlebih saat aku tidak terlalu nyaman dengan kekakuan gender. Entahlah, aku merasa menjadi perempuan atau laki-laki itu sangat kaku bagi orang interseks sepertiku. Aku tidak bisa memutuskan begitu saja dengan cepat soal genderku. Suatu hari, ayahku berkata padaku bahwa sudah waktunya untukku menjadi laki-laki seutuhnya dan aku menolak, aku tidak mau menjadi laki-laki, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri tanpa ada batasan gender semacam itu, aku malah dibentak dan dianggap sebagai anak yang kurang ajar. Saat aku mengadu pada ibu, dia memelukku dan bersikap seolah-olah memahamiku dengan menganggap bahwa aku memanglah perempuan, bukan laki-laki. Aku kecewa saat mendengar itu, maksudku, aku tidak pernah menyangka ibu dan ayahku bisa seegois ini, mereka berdua sama sekali tidak mau mengerti soal diriku dan hanya ingin memaksakan keinginan mereka padaku. Itu tidak adil, sangat tidak adil karena aku tidak ingin melabeli diriku dengan laki-laki atau perempuan. Aku hanya ingin netral, seperti interseks seutuhnya. Aku terlahir dengan kelamin ganda, yang artinya genderku lebih kompleks dari sekedar laki-laki atau perempuan. Aku harap ibu dan ayah bisa memahami sampai ke arah sana, tapi percuma saja, mereka benar-benar egois, aku sangat kecewa. Karena itulah, setelah aku berhasil mendapatkan pekerjaan, aku segera pergi dari rumahku, meninggalkan ayah dan ibu yang masih saja bertengkar soal genderku. Aku tidak merasa aman berada di rumah yang terus-menerus memperdebatkan genderku, karena itu sangat menggangguku. Aku tidak bisa hidup dengan tenang jika terus-menerus mendengar atau menghadapi konflik yang sama setiap hari. Mereka itu orang dewasa, seharusnya bisa berpikir dengan bijak, tapi mereka tidak, bagiku, orang tuaku tampak seperti anak-anak yang bertubuh besar. Tidak bisa memahami kehidupan anaknya dengan baik dan lebih memilih untuk memaksakan ideologinya pada sang anak. Itu sangat buruk, dan aku tidak ingin berurusan dengan hal-hal semacam itu lagi dalam hidupku. Sampai kapanpun tidak mau. Sekarang, setelah aku tinggal di kota, aku merasakan kedamaian yang luar biasa, aku tidak lagi mendengar keributan orang tuaku yang memperdebatkan genderku. Aku bisa beraktivitas dengan tenang dan bisa lebih mengenal diriku sendiri secara penuh. Itu adalah situasi yang sangat langka jika aku masih memaksakan diri untuk tetap tinggal bersama orang tuaku. Andai saja aku sudah punya keberanian seperti ini dari dulu, mungkin hidupku bisa lebih damai jika dari remaja aku sudah hidup sendirian. Tapi sudahlah, yang berlalu, biarlah berlalu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi soal itu karena pada akhirnya sekarang aku sudah bebas sepenuhnya. Aku bisa melakukan apapun yang kusuka tanpa harus diatur-atur lagi oleh siapapun. Aku juga bisa pergi kemanapun dengan bebas, ini benar-benar surga dunia. Aku harap kehidupanku terus berlangsung seperti ini karena ini adalah kehidupan yang kudamba-dambakan sejak dulu. Masalah gender sebenarnya bukanlah fokus utama dalam hidupku, yang membuatku merasakan itu karena orang tuaku terus-menerus bertengkar soal genderku dan itu membuatku jadi mengalami depresi yang cukup lama. Dan lihat sekarang, aku bahkan tidak lagi mempedulikan genderku lagi karena fokus utama dalam hidupku kali ini adalah membahagiakan diriku. Hanya itu yang sekarang kufokuskan, tidak ada lagi selain itu yang perlu dipikirkan. Cinta? Itu masih belum terlalu kupikirkan, tapi jika aku sudah mengalami perasaan semacam itu, mungkin ya, itu bisa saja akan menjadi fokus utamaku kelak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD