Bab 10 Tertangkap basah

1747 Words
“Kau tidak bisa memutuskan kontrak secara sepihak,” ucap Bara tegas. Pria itu melipat kakinya yang berada di bawah meja, kemudian bersandar sembari menyilangkan tangan di d**a. Pandangannya lurus ke depan, menatap datar pada perempuan yang terlihat menahan kesal. “Aku tahu konsekuensinya, aku akan menyiapkan uang ganti rugi. Apakah semua itu sudah cukup?” Hanna mencoba bernegosiasi, berharap pria itu mengerti dan melepaskannya. Jujur saja ia tidak nyaman, setelah mengetahui bahwa Bara adalah anak pemilik perusahaan tempatnya bekerja sama. Bara tersenyum miring, kemudian kembali pada posisi duduknya yang semula dan sedikit memajukan tubuhnya. Dia meletakkan tangan di atas meja, dan memangku wajahnya. “Kau kira hanya karena itu? Tidak, uangku tidak akan habis bahkan kerugian ini tidak akan membuatku gulung tikar. Apa pun alasannya, kau tidak boleh membatalkan kontrak.” Hanna menghela napas, ia memalingkan wajah saat dirasa semakin kesal melihat wajah Bara yang angkuh. Kepalanya terus berputar memikirkan cara lain, tetapi tak kunjung mendapatkan ide. Suara tawa pelan membuat Hanna menoleh, Bara tampak tertawa kecil dan membuatnya mengernyit. Pria itu berdiri, Hanna tersentak ketika sebuah tangan menepuk-nepuk kepalanya dua kali. Mulutnya baru saja hendak mengeluarkan sumpah serapah, sebelum pria itu berkata lebih dulu. “Jangan membuat otak kecilmu itu semakin menyusut, lebih baik pikirkan bagaimana cara bekerja dengan baik tanpa mengandalkan wajahmu.” Setelah mengatakan hal itu, Bara berbalik dan melangkah pergi. Meninggalkan Hanna dengan wajah yang mulai memerah, tidak, ia tidak tersipu. Perkataan Sean justru menambah kadar ke tidak sukaannya pada pria itu, masa bodo dengan masa lalu. Hanna akan pergi, meskipun harus berurusan dengan hukum. • Walau kejadian itu telah berlalu seminggu yang lalu, tetapi rasa kesalnya masih terasa sampai sekarang. Hanna gagal membujuk Bara, ingatannya kembali melayang pada kejadian itu. Bahkan Bara dengan sengaja menurunkannya di tepi jalan daripada membawanya ikut bersama ke lab. Ya, Bara mengusirnya setelah terjadi adu mulut dengan Hanna. Pria itu menolak keras pembatalan kontrak yang diajukan Hanna, dan memilih menurunkan perempuan itu di tengah jalan. Bahkan Bara sengaja memperpanjang waktu menginap Hanna di hotel, entah apa yang pria itu pikirkan sehingga begitu curiga terhadapnya. Kini baik Bara maupun Hanna, memilih untuk menghindar. Di saat Bara tengah sibuk dengan urusan launching produk baru, Hanna justru disibukkan dengan mencari keberadaan Mario. Yup. Pria itu tak kunjung membalas pesan maupun mengirimkan telepon balik kepadanya, Hanna benar-benar hampir gila. Dan kini, ia sudah hilang akal sepertinya. Tidak ada pilihan lain, Hanna tidak ingin pikirannya menjadi tidak waras bila harus berlama-lama dengan Bara. Ia memandang ke sekeliling, dan pandangannya pun jatuh pada lemari besar tepat di sisi ranjang. Satu persatu pakaian yang berada di dalam lemari, kosong, dan beralih masuk ke koper. Isinya begitu berantakan, tidak ada satu pun pakaian yang dilipat rapi. Hanna berburu dengan waktu, sebentar lagi pukul delapan malam. Masih ada waktu 55 menit sampai waktu penerbangan, tiket pesawat yang dirinya pesan melalui online satu hari lalu kini telah masuk ke dompet hitamnya. Penerbangan malam sengaja Hanna pilih guna menghindari orang-orang, terlebih lagi pemotretan dengan perusahaan Beauty in simplicity, akan terjadi besok lusa. Setelah perdebatan dan keputusan sepihak yang berlangsung dalam waktu beberapa menit tiga hari lalu, Hanna terus mengurung diri di hotel. Ia benar-benar mengabaikan siapa pun bahkan ponselnya sendiri sengaja dimatikan, sehingga muncul sebuah ide untuk melarikan diri. Lagi pula Hanna telah meninggalkan kehidupannya di Indonesia sejak memutuskan untuk pergi, baginya tidak ada yang tersisa termasuk perasaan berdebar yang tak kunjung hilang. Mengingat kembali hal itu membuat Hanna menghentikan aktivitasnya, ia mengembuskan napas kasar kemudian mendudukkan dirinya di bawah ranjang. Bara mengatakan untuk tidak memutuskan kontrak secara sepihak, tetapi pria itu pula memberikan keputusan sepihak. Bara benar-benar tidak mau memberinya pilihan lain, Hanna terkekeh menyadari bahwa dirinya sempat berharap. Waktu telah berlalu, perasaan manusia bisa saja berubah ataupun tinggal di masa lalu. Dan Hanna benci karena mengalami perasaan kedua, perasaan yang masih tertinggal di masa lalu. Pilihannya ada hanya ada dua, bertahan atau menghindar. Tentu Hanna memilih opsi kedua, menghindar sampai tidak ada waktu sedetik pun untuk memikirkan. Lagi pula sudah terlalu lama untuknya memilih bertahan, karena hanya akan menambah luka di hati. Dering ponsel menyandarkan Hanna dari lamunan, ia meraih ponsel di atas ranjang dan segera menekan tombol hijau tanpa melihat nama si penelepon. Detik berikutnya Hanna menyesal, setelah menyapa, suara menyahut di seberang telepon membuatnya menjauhkan ponsel dari telinga. Nama Tuan Sakha kini terpampang jelas di layar ponsel, Hanna menghela napas menyadari kecerobohannya. Mulutnya seketika bungkam, ia meletakkan ponsel kembali ke ranjang dengan perlahan. Jari telunjuknya yang gemetar telah siap menekan tombol merah, Hanna memejamkan mata dan langsung menekan asal ponselnya. Namun, suara Bara malah terdengar semakin keras. Speaker, Hanna salah menekan tombol matikan sambungan telepon dengan tombol yang membuat suara si penelepon terdengar semakin jelas dan keras. “Ingat! Kau harus bersiap besok, akan ada rapat untuk produk baru. Jangan terlambat!” Hanna memutar bola mata, terlihat malas menanggapi ocehan Bara. Tak berapa lama ia tertawa tanpa suara, biarkan saja pria itu terus mengoceh karena setelah ini Hanna tidak akan lagi kembali ke sini. Matanya tanpa sengaja melihat jam dinding, waktu telah berlalu sepuluh menit dari terakhir kali dirinya melihat jam. Bergegas saja Hanna mematikan panggilan, kemudian menutup koper dan meraih mantel. Setelah memastikan semuanya siap, barulah Hanna melangkah pergi. Ia berjalan dengan santai, alih-alih merasakan waktu semakin sempit. Lagi pula untuk apa cemas, jarak bandara dengan hotel hanya butuh waktu lima belas menit. Seorang resepsionis membungkuk sedikit seraya tersenyum ramah ketika Hanna tiba di lobi, ia terus menarik koper di tangan kanan, dan tangan kiri yang menenteng tas jinjingnya. Hanna tersenyum lebar ketika melihat pintu utama hotel mulai terlihat beberapa langkah di depan. Namun, senyum itu memudar ketika matanya menangkap sosok tak asing berdiri di luar hotel. Terlihat berbicara dengan penjaga, Hanna dapat melihatnya dengan jelas di balik pintu kaca. Bergegas saja ia bersembunyi di salah satu tiang pilar di sana, sesekali mengintip ke arah Bara yang mulai masuk ke hotel. Ya, Bara berada di tempat yang sama dengannya dan yang lebih parah berada tepat beberapa langkah di depannya. Terdengar mustahil, 'kan. Pria yang beberapa menit lalu meneleponnya, kini berada di hotel yang sama dengannya. Bara memata-matainya! Pikiran itu sontak membuat Hanna terkejut, ia hampir saja berseru kesal andai tidak mengingat niat awalnya. Waktu terus berjalan, tidak ada waktu untuknya tetap di sini. Hanna kembali memperhatikan Bara, pria itu tampak berjalan menuju meja resepsionis. Ini kesempatannya! Perlahan Hanna keluar dari tempat persembunyian, ia meraih koper dan memilih untuk menentengnya. Mengambil satu persatu langkah dengan mata yang terus terarah pada Bara, sesekali Hanna berhenti ketika melihat kepala Bara yang bergerak dan kembali melanjutkan ketika mereka tampak berbicara. Sebentar lagi! Tinggal dua langkah lagi sampai Hanna tiba di pintu utama, ia tersenyum haru dan bersiap mengambil langkah lebar. “Apa yang kau lakukan?” Suara itu terdengar di antara suasana lobi yang sepi, senyum Hanna luntur bersamaan dengan tubuhnya yang terkaku. Ia sama sekali tidak dapat menoleh, setelah menyadari kegagalannya yang hampir tiba di garis finish. Suara langkah kaki mendekat terdengar, membuat Hanna semakin gugup dan membeku. • Satu setengah jam sebelumnya, mobil hitam itu terus melaju membelah jalanan ibu kota yang lumayan padat malam ini. Bara baru dapat menyelesaikan pekerjaannya sekarang, satu jam lebih terlambat dari biasa waktunya pulang. Dia menyentuh perutnya yang sedikit perih, merasa malas untuk menepi, membuatnya semakin mempercepat laju mobil. Kota Jakarta semakin dipenuhi oleh gedung-gedung, sebuah butik menarik perhatiannya. Tanpa sadar Bara mengembuskan napas kasar, dia pernah berkunjung ke sana dengan paksaan sang ibu. Wanita yang telah melahirkannya itu seperti ingin lebih dekat dengan pemilik butik, tentu saja Bara tidak bisa menyakiti hati ibunya dengan penolakan. Terlebih ketika sebuah kalimat terlontar, membuat Bara terdiam. Ingatannya tiba-tiba melayang kepada Hanna, perempuan yang berusaha keras agar dirinya membatalkan kontrak. Mengingat kembali pertemuan mereka tadi sore, sontak membuat Bara terkekeh. Dia masih penasaran seberapa besar keinginan Hanna untuk keluar dari kerja sama dengan perusahaan yang dikelola oleh keluarganya, sehingga tanpa sadar Bara menghentikan mobil di sisi jalan. Sebelum melajukan mobilnya kembali ke arah berlawanan dari rumah, ingatan tentang Hanna membuat Bara terlambat menyelesaikan pekerjaan. Tak butuh waktu lama, sebuah hotel mulai terlihat. Mobil hitam itu memasuki pekarangan hotel, kemudian terdiam beberapa saat di sana. Suasana hotel lumayan sepi, tetapi tak jarang beberapa orang keluar dari sana. Bara baru tersadar setelah beberapa detik terdiam, dia mendengus saat melihat hotel tempat Hanna menginap berada tepat di depannya. “Bodoh, apa yang kau pikirkan, Bara?” gumamnya. Bara melirik pada jam tangan, waktu telah menunjukkan pukul delapan malam. Dia mengeluarkan ponsel, lalu menggulir asal layarnya. Terlihat sekali dirinya tengah bimbang, kembali pun rasanya sudah terlambat. Tanpa sadar Bara membuka kontak telepon, menggulir layarnya lagi dan berhenti tepat di kontak dengan nama Hanna. Setelah dalam keadaan bimbang selama beberapa detik, jarinya bergerak untuk menekan kontak itu dan menekan tombol telepon. Bara sedikit terkejut ketika panggilannya langsung diterima sebelum nada dering kedua, Hanna menyapanya di seberang sana. Kegugupan tiba-tiba muncul, membuat Bara berdeham beberapa kali mencoba mengenyahkan debaran aneh di hati. “Ingat! Kau harus bersiap besok, akan ada rapat untuk produk baru. Jangan terlambat!” kalimat itu akhirnya keluar dengan lancar. Mulutnya hendak mengeluarkan suara kembali, tetapi suara grasah-grusuh dari seberang telepon membuat Bara mengernyit. Kemudian panggilan pun berakhir, untuk beberapa saat dia terbengong. Hanna memutuskan panggilan secara sepihak, dan itu tanpa sadar membuat Bara tertawa aneh. Namun, tawanya luntur ketika pikiran negatif mengusiknya. Bara sontak menoleh ke arah hotel, apa sesuatu telah terjadi di dalam sana. Suara grasah-grusuh dalam panggilan tadi kembali menghampiri ingatannya, tanpa pikir panjang Bara keluar dari mobil, mengabaikan mobilnya yang terparkir sembarangan. Seorang penjaga sempat menahannya, kemudian menyapa ketika menyadari itu dirinya. Setelah berbincang beberapa saat, barulah Bara memasuki hotel. Dia melangkah menuju meja resepsionis, bertanya beberapa hal tentang kamar nomor 405 yang ditempati Hanna. Sejujurnya Bara tengah mengulur waktu, entah mengapa dirinya merasa gegabah bila menghampiri kamar tempat Hanna berada lebih dulu. Bara tidak segera mengatakan maksud kedatangannya ke hotel, dia justru memilih untuk memilah kata-kata yang tepat agar tidak terjadi salah paham. “Apa Anda ingin menemui nona Daisy?” seolah seperti kebiasaan, resepsionis segera mengatakan kalimat itu. Bara tersentak, tak percaya bahwa resepsionis mengerti maksudnya. Dia berdeham canggung, kemudian melirik ke arah lain. “Ya, bisa Anda mengeceknya?” “Tentu, Tuan.” Belum sempat resepsionis meninggalkan tempatnya, pandangan wanita itu tertuju ke arah pintu dengan ekspresi terkejut. “Bukankah itu nona Daisy?” Bara mengernyit, dia mengikuti arah pandang resepsionis dan seketika kerutan di dahinya semakin terlihat. Perempuan tampak seperti tikus yang tertangkap basah tengah mencuri keju, seperti dalam kartun anak-anak di televisi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD