"Lagi ngitung bangku kelas, Bu," jawabnya dengan sangat polos. Kemudian teman-temannya langsung memecah tawa. Ya, tentu saja mereka menertawai Ambar yang terlihat aneh. Memang dia anak baru di sekolah ini, tapi kenapa harus bertingkah sekonyol itu juga? Oh ... dasar, anak desa.
"Hahaha ... lucu ya anak kampung!" Suara itu terdengar dari arah samping Ambar, dia tampak tertawa geli melihat Ambar. Sungguh, entah mengapa kata-kata itu membuat hati Ambar tidak senang. Kenapa dia rasanya ingin marah dibilang anak kampung, padahal kenyataannya memang benar dia anak kampung.Bukan, itu bukan sebuah kalimat atas fakta, tetapi itu sebuah ejekan untuk Ambar. Ini adalah kali pertamanya dia mendapat ejekan dari teman sekelasnya.
"Memang aku anak kampung, aku dulu tinggal di desa. Tapi sekarang rumahku sudah pindah di sini, malahan aku punya dua rumah sekarang!" jelas Ambar yang merasa tidak terima dengan kata-kata temannya.
"Baru masuk sekolah aja udah sombong, semoga kamu gak punya teman!" Gadis kecil itu kemudian tidak mempedulikan Ambar lagi. Kembali ke arah pandang sebelumnya, menghadap depan.
"Ya sudah, jangan ribut. Ambar ... sekarang waktunya belajar, jadi ayo fokus belajar." Setelah mengatakan itu, Bu Ami kembali fokus pada pembelajaran. Sementara Ambar hanya mengangguk, dan memilih mendengarkan penjelasan Bu Ami.
Setelah beberapa jam pelajaran berlangsung, bel istirahat berbunyi. Sebagai siswi baru, Ambar perlu beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Ternyata, sekolahnya yang baru ini lebih luas. Bahkan, perjalanan dari kelas menuju kantin cukup jauh.
"Hai, kamu Ambar anak baru itu, ya?" Seseorang membuat Ambar terkejut. Dia menyodorkan telapak tangan untuk bersalaman. "Aku Dita. Kita satu kelas, tapi aku belum sempat kenalan sama kamu tadi."
Mendengar itu, Ambar manggut-manggut. Dia bahkan tidak tahu jika di dalam kelasnya ada Dita. Maklumi saja, Ambar belum mengenali wajah mereka satu per satu. Kemudian mereka berdua pergi ke kantin bersama. Mereka terlihat sangat lucu. Berjalan berdua, saling bergandengan. Senyum Ambar tidak henti-hentinya terlukis di bibir. Ambar senang, karena di hari pertamanya sekolah, sudah ada seseorang yang menjadi temannya.
O0O0O
"Davin, kamu sekolah di mana sih? Kok aku gak dikasih tahu? Kenapa kita juga gak satu sekolahan aja, kan enak kalau kita satu sekolahan, apalagi satu kelas. Kenapa aku gak disekolahin di sekolah kamu, ya?" Beberapa pertanyaan terus bermunculan dari mulut Ambar. Davin yang mendengarkan itu hanya geleng-geleng. Dia bingung bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, apalagi dia juga sudah hampir lupa apa saja pertanyaan yang diajukan Ambar baru saja.
Laki-laki itu akhirnya menuliskan sesuatu di buku kecilnya. 'Pokoknya kamu gak boleh tau. Ini rahasia'.
Membaca tulisan Davin yang menurutnya jelek, Ambar mendengus kesal. Kenapa dia sok misterius. "Masih kecil aja udah main rahasia-rahasiaan. Nanti kalau udah gede kamu mau jadi apa?"
'Jadi apa aja yang penting bahagia'.
"Jadi apa aja, ya? Kamu mau jadi tukang sampah?" tanya Ambar dengan wajah yang begitu polos. Sepertinya gadis kecil itu sekarang sedang mencibir masa depan Davin. Sementara Davin hanya geleng-geleng sambil terkekeh tanpa suara. Kemudian dia mengambil jaring yang berada di dekat pintu belakang rumah. Memberikan salah satu jaring tersebut pada Ambar, lalu dia menunjuk kupu-kupu yang sudah mulai bermunculan.
"Nangkap kupu-kupu?" tanya Ambar setelah membaca isyarat dari Davin. Belum selesai dia menutup mulut, Davin sudah mengangguk.
Dengan semangat, Ambar segera berlari menangkap kupu-kupu yang berterbangan di halaman belakang rumah Davin. Begitupun dengan Davin yang mengikuti Ambar. Hingga setelah Davin berhasil menangkap dua kupu-kupu dan membebaskannya lagi, dia merasa kelelahan. Berjalan ke dapur untuk mengambil minum, kemudian dia kembali ke halaman belakang rumah. Ambar masih setia bermain dengan kupu-kupu. Tangannya memukul-mukul pelan punggung Ambar, dia berhasil membuat gadis kecil itu menoleh. Menyodorkan segelas air putih pada Ambar, Davin lalu tersenyum manis.
"Ini buat aku?" tanya Ambar sambil menerima gelas tersebut dan dibalas anggukan oleh Davin. Tanpa basa-basi, Ambar segera meminum habis segelas air putih itu. Begitu juga dengan Davin yang hanya menghabiskan setengah gelas.
Setelah meletakkan gelas mereka di tepi halaman, Ambar langsung merebahkan diri di atas rumput. "Davin, coba kamu tidur gini kayak aku. Langitnya bagus banget, tahu!"
Davin segera mengikuti ajakan Ambar. Dia merebahkan diri di samping Ambar. Kemudian menatap langit biru yang cerah di sore hari. Benar kata Ambar, langitnya sangat indah. Kupu-kupu yang beterbangan di atas, menghiasi langit biru itu. Semakin terlihat indah. Sangat indah. Melihat Ambar yang kadang-kadang tertawa kecil karena senang, Davin menoleh dan menatap Ambar. Dia tersenyum manis, matanya berbinar. "Aku gak pernah merasa se-senang ini, dan aku gak pernah punya teman kecuali ibu. Tapi semenjak ada Ambar, aku merasa punya dunia baru. Dunia yang lebih menyenangkan."
oOOo
BAB 2 – KEHIDUPAN DI 2006
Desember 2006
"Ambar, setelah pelajaran ini selesai, tolong ikut saya ke kantor. Ada yang ingin saya sampaikan."
"Baik, Bu."
Beberapa menit sudah berlalu, bel istirahat juga susah berbunyi. Seiring kepergian Bu Marni dari kelas, Ambar mengikutinya dari belakang. Sesuai perintah, dia harus ikut ke kantor bersamanya.
"Lihat, tuh. Anak kampung udah sok cakep, caper ke guru pula. Dih, najis!"
"Iya, ih caper banget."
"Emangnya gak ada kerjaan lain, selain caper ke guru-guru? Biar apa coba?"
Kira-kira seperti itu yang berhasil Ambar dengar di sepanjang koridor sekolah menuju kantor. Dia berusaha menulikan pendengarannya, tapi mau bagaimana lagi. Dia tidak tuli. Tuhan memberinya dua telinga yang normal. Sebesar apa pun keinginannya untuk menolak keras mendengar ocehan teman-teman, tentu saja semua itu masih tetap terdengar.
Ngomong-ngomong, Ambar sudah mengganti warna seragamnya sekarang. Seragam yang dulu berwarna merah-putih, kini sudah berganti menjadi warna biru-putih. Dia juga sudah tumbuh menjadi remaja. Dia sudah bukan Ambar kecil lagi. Tapi, kelakuannya masih sama seperti Ambar kecil yang dulu. Selalu ekspresif dalam segala hal.
Tidak terasa, langkah kakinya yang dipenuhi dengan goresan-goresan luka yang dia dapat dari mulut-mulut pedas temannya ternyata sudah sampai pada tujuan. Kini, Ambar sedang berdiri di depan pintu kantor.
"Ayo, Ambar!" Setelah membuka pintu tersebut, Ambar segera membuntuti Bu Marni.
"Jadi begini, Ambar." Mendengar Bu Marni yang mulai membuka obrolan, Ambar segera memasang kedua telinganya dengan benar. "Dari penilaian saya, juga guru-guru lainnya, kamu itu anak yang pintar. Kamu mudah memahami pelajaran, mudah mengerti, dan selalu serius dalam mengerjakan tugas yang diberikan guru-guru."
Sebuah senyum terlukis di bibir Ambar. Tentu saja dia senang mendapat pujian tersebut. Sembari menunggu Bu Marni merapikan buku-buku di mejanya, Ambar mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa alasan.
"Kenapa kamu ngangguk-ngangguk gitu? Saya belum lanjutin ngomongnya." s**l, Bu Marni menyadari aktivitas konyol Ambar. Dengan segera Ambar menggeleng dan mengatakan bahwa tidak ada apa-apa. Dia hanya merasa bosan menunggu Bu Marni untuk melanjutkan obrolan.
Ambar memang anak yang jujur. Dia bosan, dan dia mengakuinya.
"Baik, biar kamu gak bosan, saya lanjutkan." Bu Marni sempat tertawa kecil tadi ketika mendengar pengakuan Ambar. Dia berbeda dengan siswa-siswi lainnya. "Sebentar lagi ada lomba olimpiade Sains Nasional tingkat SMP. Kemarin, guru-guru sudah berunding untuk mengikutsertakan kamu sebagai peserta lomba tersebut untuk mewakili sekolah."
Ambar melebarkan mata sekaligus mulutnya. Dia benar-benar tidak percaya bahwa dia akan ikut olimpiade. Seumur hidup, dia tidak pernah mengikutinya. Bahkan, dia tidak tahu apa saja yang harus dia lakukan di olimpiade itu nantinya. Setahu dia, lomba olimpiade itu seperti menjawab soal-soal yang diberikan juri, lalu yang menjawab dengan cepat dan tepat akan menang. Benarkah begitu?
"Tapi, semua kembali ke diri kamu sendiri. Apa kamu bersedia?" Bu Marni memberi jeda, menatap Ambar dengan wajah penuh harapan. "Karena kalau kamu tidak bersedia, kami tidak akan memaksa. Karena kalau kamu mengikuti lomba ini secara terpaksa, itu tidak akan menghasilkan pencapaian yang maksimal."
"Kalau boleh tahu lombanya kapan ya, Bu?" Ambar berharap olimpiade ini masih lama, karena dia harus mempersiapkan diri.
"Kira-kira dua bulan lagi," jawab Bu Marni setelah melihat kalender kecil di atas mejanya.
Ambar tampak berpikir sebentar. Waktu dua bulan sepertinya cukup untuk mempersiapkan diri. "Baik, Bu. Saya bersedia."
O0O0O
Ambar berjalan menelusuri koridor sekolah sendirian. Selama setahun lebih sekolah di sini, dia belum mendapat teman. Pernah waktu itu sempat hampir mendapat seorang teman, tapi sayangnya para perundung tidak mengijinkannya berteman dengan Ambar. Perlu diketahui, hari-hari di sekolahnya tidak seindah yang kalian pikirkan. Entah mengapa, banyak sekali siswa-siswi yang tidak suka dengannya. Selalu dirundung dan diejek sepanjang hari.
Mungkin, sewaktu dia SD dulu dia sempat memiliki teman. Namun, nyatanya itu tidak berlangsung lama. Hanya beberapa bulan, pertemanan mereka dihancurkan dengan teman-teman yang tidak menyukai Ambar. Maka dari itu, hingga di titik sekarang Ambar sudah terbiasa dengan ejekan-ejekan dari mereka. Dia pernah berpikir, jika di SMP nanti dia akan mendapat teman dan terbebas dari perundungan. Tapi nyatanya salah.
"Hei Anak Kampung, ambilin tasku di belakang sana, dong!" Ara, teman sekelasnya yang selalu semena-mena karena merasa paling kaya. Dia sering memperlakukan buruk Ambar.
Ambar yang awalnya sedang belajar itu akhirnya menjeda kegiatannya sebentar. Berjalan ke belakang kelas, lalu mengambil tas Ara dan memberikannya pada Ara yang sekarang duduk di depan.
“Makasih, Anak Kampung!" Ambar hanya diam, menghela napas dan mencoba untuk tetap sabar.
Baru saja Ambar duduk di bangkunya dan kembali melanjutkan belajar, suara seseorang sudah terdengar lagi memanggilnya. Pasti untuk memperbudak Ambar.
"Ambar ... beliin aku es teh di kantin, dong." Benar dugaannya. Ambar menghela, ingin menolak tapi tidak bisa. Akhirnya dia harus menjeda lagi belajarnya. "Roti satu, sosis dua, sama mie ayam tiga mangkok."
Mendengar itu, Ambar melebarkan matanya. "Banyak banget, gimana bawanya ke sini?"
"Ya kamu mikir lah, katanya pinter!" cetus Ara sambil mendorong dahi Ambar keras dengan jari telunjuknya. Tidak hanya kata-kata Ara yang menyakitkan, tetapi perlakuannya juga sama menyakiti Ambar.
Ambar mencoba untuk tetap sabar. Memejamkan mata sejenak, lalu mulai melangkahkan kakinya. Memulai penderitaan yang setiap hari dia rasakan. Sendiri.
Setelah sampai di kantin, dia segera memesan semua yang diminta Ara. Tiga mangkok mie ayam, tentu tidak akan dia bawa sekaligus dengan kedua tangannya. Alhasil, dia harus bolak-balik dari kantin ke kelasnya yang terletak di lantai tiga. Lelah memang, tapi mau bagaimana lagi.
"Nih, upah kamu!" Tiga mangkok mie ayam, dua gelas es teh, dua sosis, dan satu roti. Semua sudah diserahkan pada Ara dengan berbolak-balik sebanyak tiga kali. Dia sedikit bernapas lega karena Ara tidak membiarkannya lelah sia-sia. Mengambil uang yang disodorkan oleh Ara, Ambar tersenyum tipis. Lumayan, selembar uang kertas berwarna ungu bisa dia tabung nanti di rumah.
O0O0O
Davin sudah stay di meja makan. Sama seperti beberapa tahun sebelum-sebelumnya, dia tetap melakukan hal seperti biasanya. Memegang sendok dan garpu pada kedua tangannya sambil menunggu makanan siap.
"Dav, katanya kalau orang bisu itu pasti bisa bahasa isyarat. Kamu bisa kan?" tanya Ambar memulai obrolan. Dia juga ikut menunggu makanan di samping Davin.
Mendengar pertanyaan Ambar, Davin tersenyum sambil mengangguk. Kemudian meraih buku kecilnya yang diletakkan di samping Ambar. Sebab tadi, Ambar merengek ingin melihat apa saja yang Davin tulis di dalam buku itu. 'Semua bisa kalau belajar'. Itu yang Davin tulis.
Membaca itu, Ambar tertawa kecil. "Bener juga. Aku kira orang bisa bahasa isyarat udah bawaan dari lahir. Hahaha!" Tawanya semakin menjadi-jadi sembari memukuli pelan pundak Davin.
Melihat sahabatnya tertawa, Davin pun ikut tertawa. Dia senang melihat Ambar seperti itu. Gadis yang di matanya selalu terlihat cantik, sering tersenyum dan sangat ceria, kadang-kadang menjadi seseorang paling polos dan lugu. Davin selalu berharap, Ambar akan tetap seperti ini. Seperti Ambar yang dia sejak beberapa tahun lalu.
"Kalau gitu, aku ajarin bahasa isyarat, ah. Capek lihat kamu nulis terus. Mana tulisan jelek, kelamaan juga." Kejujuran Ambar lagi-lagi memecah tawa di ruangan sana. Bu Tias dan ibunya ikut tertawa mendengar ocehan Ambar.
Davin mengangguk senang. Dia segera berlari ke kamarnya tanpa aba-aba. Hal itu membuat Bu Rani meneriaki Davin, menyuruhnya segera kembali karena sebentar lagi makanan akan siap. Tidak sampai hitungan satu menit Davin sudah kembali dengan buku tebal di tangannya. Menyodorkan buku tersebut, Davin tersenyum pada Ambar.
'Buku Panduan Belajar Bahasa Isyarat'.
Itu yang Ambar baca di cover buku tersebut. Ternyata, Davin baru saja mengambil buku bahasa isyarat miliknya. Sesemangat itu Davin ingin mendukung Ambar untuk belajar bahasa isyarat.
"Ini bukunya?" Ambar mulai membuka buku tersebut. "Ih, tebel banget, ya!"
'Kalau kamu gak mau belajar gak papa deh. Mungkin menurut kamu ini susah karena kamu bukan orang bisu'.
'Jangan paksain diri deh. Gak usah belajar kalau malas. Lagian ini gak seru'.
Membaca tulisan Davin, Ambar mengerutkan kening lalu melebarkan mata. Dia tampak tidak senang dengan tulisan Davin. "Gak-gak, meskipun ini kelihatan susah dan bukunya tebel, aku tetep mau belajar. Biar aku lebih gampang ngobrol sama kamu!" Bahkan, sekarang Ambar memeluk erat buku tersebut. Davin hanya mengangguk-angguk sambil terkekeh. Ambar memang sangat lucu.