My Crush

1586 Words
"Lagi ngapain, Tar?!" tanya Langit saat melihat Mentari sibuk mematut dirinya di depan cermin. Tidak mendapat jawaban dari Mentari. Membuat cowok itu mendekat. Dia memperhatikan Tari yang baru selesai menguncir rambutnya. "Duh... duh... Lang sakit!" pekik Mentari. Langit justru menarik lagi kunciran itu. Dia adalah tetangga sekaligus adik angkat bagi Langit. "Gue pinjem kunciran Lo sebentar, gerah banget nih gue," sahut Langit yang tadi menarik kunciran bergambar minney mouse. Padahal Langit itu lebih tua tiga tahun dari Mentari. Tapi sikapnya selalu gak mau kalah sama Tari. Langit dan Mentari memang sudah begitu akrab bahkan nama Mentari sendiri diberikan oleh Langit ke almarhumah, Sekar. mamanya Mentari. "Awas Lo!" Mentari kesal. Rambutnya yang tadi terkuncir rapi sekarang harus tergerai liar akibat ulah Langit. Pemuda itu terlihat menyeringai puas. Dia menyenggol Mentari untuk jauh dari lemari riasnya, agar gantian dia yang mematut dirinya di cermin seolah tak puas memandang wajah tampannya. Sebenarnya Langit sendiri tidak begitu butuh dengan kunciran itu. Tapi Langit memang selalu tidak suka jika Mentari tampil cantik, dia lebih suka Mentari tampil tomboy. "Lagi kenapa, sih, harus kunciran yang di kepala gue. Itu,'kan ada yang lain!" Tunjuk Mentari ke kotak yang berisi banyak kuncirannya sambil cemberut kesal. Bukan tanpa sebab, tapi Mentari merasa dia sudah telat ke sekolah. "Lagian Lo ngapain, sih dandan cantik-cantik. Udah gede juga gue yang jadi jodoh Lo, kok," ujar Langit asal. Namun, kata-katanya seakan terpatri erat dalam relung hati Mentari. Pipinya bersemu kemerahan. Jika menyebutkan kata kekasih ideal, Mentari hanya akan mengingat Langit, abang angkatnya yang super absurd itu. Pernah suatu ketika teman-teman di kelasnya menanyakan ke dirinya, apa gadis itu pernah jatuh cinta atau justru dia sudah memiliki kekasih? tapi Tari menggeleng. Membuat Dona, sahabatnya tertawa renyah. Bagaimana bisa Tari tidak merasa tertarik dengan Langit, Si handsome, alumni sekolah mereka. Bahkan setelah tidak sekolah di sana lagi, Langit masih memiliki jejeran para penggemarnya. Dan parahnya Tari sama sekali tidak tertarik pada lelaki itu. Seakan matanya tertutup tai kebo. Lebih tepatnya Tari begitu karena dia sangat mengetahui bagaimana sifat Langit sebenarnya. Sifat childish, gak mau kalah dan sayangnya Langit cuma menunjukkannya sisi itu ke Mentari. Mentari sampai berharap salah satu penggemar Langit tahu gimana reseknya cowok itu. Ahk.., kalau itu sampai terjadi pasti seru, pikir Tari. Pastinya Langit tak akan lagi bisa kepedeaan. Mentari yakin semua cewek pasti bakalan langsung Ilfeel sama dia. Mungkin di luar, dia terlihat keren, cerdas juga sangat berbakat. Tapi jika jauh lebih dekat dengannya, maka juga ditemukan pemuda yang banyak maunya, manja, cengeng, cerewet bin suka ngatur. "Apa, sih Lo. Sekarang juga gue udah gede kali," balas gadis 16 tahun itu. Tentu saja dia tak lebih besar dari Langit. Mendengarnya membuat Langit mendekati Mentari yang masih berdiri di sampingnya. Dia sengaja mengeteki kepala Mentari yang memang tingginya hanya sebatas d**a Langit. "Mana.., mana yang bilangnya udah gede. Anak di bawah ketek gini juga. He he," kekeh Langit langsung kabur karena tahu Tari akan mengejarnya. Mentari berlari tungggang langgang mengejar cowok setinggi 183 cm itu. Seperti biasa mereka selalu saja ribut bagai Tom dan Jerry tapi dibalik itu semua tak ada yang jauh lebih menyayangi Mentari dibandingkan rasa sayang yang diberikan Langit. Begitu pun sebaliknya, tidak ada yang sangat mengerti Langit daripada Mentari. *** Ke esokkan harinya, seperti biasa Mentari menunggu dijemput Langit, walau pria itu sudah lulus sekolah dan sedang mendaftar kuliahnya, tapi Langit selalu berusaha memprioritaskan Mentari. Dia merasa sepertinya adik kecilnya sedang tahap puberitas pertamanya dan harus dijaga ketat. Langit bukannya tidak menyadari jika sekarang Mentari jadi lebih sering dandan. Terlebih bentuk tubuhnya yang semakin hari semakin menunjukkan jika gadis kecilnya akan berubah menjadi wanita dewasa dan Langit tidak ingin Mentari sampai banyak digodai pria lain. Seenggaknya wanita itu harus selektif cari cowok. Kualitasnya gak boleh kurang dari dia dan gak boleh lebih juga, harus mirip sama Langit. Yah kalau gak nemu, Mentari jadi jodoh dia saja! "Eh Bayik.., ayok masuk!" ajak Langit. Dia hanya membuka sedikit kaca mobilnya dengan dirinya yang masih di belakang kemudi. Dengan sigap Mentari memasuki dan duduk di bangku sebelah Langit. Seperti biasa. "Hai Tari," sapa seorang wanita di belakang. Penampilannya begitu cantik juga anggun. Dengan baju tank-top sutra berwarna tosca dan rambut yang seperti baru saja direbonding. Wanita itu benar-benar nampak seperti boneka barbie. Spontan Mentari melongo melihatnya. Jujur sebagai sesama wanita saja, Mentari sangat tertarik dengan wanita itu. "Siapa dia, Lang?" cicit Mentari. Dia kembali duduk ke arah depan, dengan ekor matanya yang masih setia melihat wanita itu dari kaca spion. Cantik banget. Berkali-kali lihat Mentari akan terus mengemukakan pendapat yang sama untuk wanita di belakangnya. "Kenalan dong!" pekik Langit seolah tak paham bahwa Mentari malu dengan wanita itu. Langsung saja Mentari ingin mencubit paha Langit gemas. Sampai sebuah tangan manekin terjulur di tengah-tengah mereka. "Aku Sandra!" sahutnya ramah, suara maupun wajahnya begitu serasi membentuk kata "sempurna". "Sandra itu pacar gue, Tar," sela Langit dengan senyum yang terus muncul di sudut bibirnya. Sontak Mentari diam, dia tak menyangka Langit akan memiliki kekasih secepat ini. Mentari ingat betul kemarin Langit baru saja 'melamar'nya untuk jadi jodoh Langit. Mentari hanya bisa tertunduk, hatinya begitu sedih sampai cairan bening keluar dari matanya tanpa permisi lagi. Buru-buru dia menghapusnya takut Langit maupun Sandra menyadari rasa sesak yang tiba-tiba muncul. Mentari mencoba tersenyum. Tepatnya mentertawai dirinya sendiri akan kebodohannya. Jelas saja Langit tak akan melihat ke arahnya. Seorang gadis yang masih bau kencur yang bahkan belum begitu lihai memasang bulu mata palsu. Kembali Tari melirik ke arah Sandra. "Huufftt...!" Hembusan nafas putus asa. Sulit... ini sungguh sulit, pikirnya. "Gue pulang sendiri aja deh," ucap Mentari berniat membuka pintu mobil Langit. Dia tak ingin menjadi obat nyamuk bagi Langit dan Sandra. "Gak bisa, Lo harus ikut gue!" tolak Langit seraya mencekal tangan Tari. "Iyah Tar. Aku gakpapa kok ada kamu. Kata Langit, dia emang gak bisa tinggalin adiknya seorang diri dan karena itu juga aku suka sama dia. Langit itu memang penyayang,ya." Jelas Sandra. Ada rona bahagia juga cinta yang tercetak jelas di wajah cantiknya. Sementara Mentari semakin tertawa hampa. Dia baru saja menyadari jika dirinya hanya dianggap adik oleh Langit, dan parahnya karena alasan itu juga Sandra menyukai Langit. Bukankah ini perpaduan yang pas untuk patah hati? Tak mau Sandra atau Langit curiga, Mentari memutuskan menyetujui ajakan mereka berdua. Biar soal hatinya yang sakit adalah urusannya sendiri. "Ya udah gue ikut kalian!" sahutnya lemah. --- "Woy... Gue pulang lah, Lang. Nanti disangka orang gue syaitan. Biasanya yang ketiga itu,'kan syaitan!" Kesal Mentari. Saat ini mereka sedang ada di sebuah Mall berniat nonton. Rasanya ada sesuatu yang membakar dadanya saat Melihat Sandra dan Langit berjalan lebih dulu di depan dengan tangan yang saling bergandengan. Membuat Mentari terus memilih jalan di belakang mereka. Persis seperti seorang ajudan keduanya. Akhirnya dia maju ke depan, mengeluarkan semua uneg-uneg-nya dan berteriak keras. "Gak bisa!" pekik Langit jadi memegangi bahu Tari. "Kalo sampai ada yang syaitan diantara kita bertiga, pastinya orang itu bukan Lo," lanjutnya berbisik. Masih memegang bahu Mentari agar dia tidak pergi kemana pun. Langit berganti merangkul Mentari untuk berjalan di sisinya. Jika dilihat dari luar dia memang nampak menyayangi Mentari sebatas cinta kepada adik. Tanpa pernah Langit sadari jika dia jauh lebih membutuhkan Mentari lebih dari sekedar hubungan saling saudara. Saat di dalam gedung bioskop pun Langit lebih memilih duduk berdua dengan Mentari, kebetulan hanya tersisa tiga bangku kosong acak. Dua bangku deretan atas dan satu bangku lagi di deretan bawah. Karena ini film yang sangat ingin ditonton Sandra, jadilah Langit menyuruh Sandra duduk di deretan paling depan. "Lo suka gak Tar filmnya?!" tanya Langit sambil mengunyah popcorn-nya. "Enggak... terlalu cengeng. Mending juga nonton Upin Ipin!" sahut Tari sambil menggerutu. Langit tersenyum miring. Mencubit gemas pipi Tari. "Dasar Bayik!" candanya. "Eeh... Tapi gue juga males, sih nontonnya. Mending gue tidur aja lah!" lanjutnya sudah merem. Mentari memperhatikan wajah Langit. Seperti biasa dia menyenderkan kepalanya di bahu Langit. Langit tidak menolak. Dia justru membelai kepala Mentari sayang. "Ikut tidur Lo, Bayik?" cicitnya masih menutup matanya. Tapi tangannya menggengam tangan Tari. Setelah selesai nonton, mereka memutuskan untuk makan terlebih dulu. "Waah.., makasih, Sayang udah beliin aku jus," pekik Sandra. Tangannya sudah mengudara siap menerima gelas yang di tangan Langit. "Apaan? Orang aku beli buat Mentari kok. Tar, Lo suka, kan sama jus mangga. Ini buat Lo," tawar Langit. Mentari hanya menerima gelas tersebut malu. Dia sendiri tak enak dengan Sandra, ada guratan kecewa yang bisa Mentari tangkap dari sorot mata Sandra, apalagi jika Sandra tahu, Mentari bukanlah adik kandung Langit. melainkan hanya anak tetangganya. Duh bisa pecah perang dunia ketiga itu. "Oooh. Buat Tari!" beo Sandra. "Eem.., aku mau pulang duluan, Lang," ucapnya lagi sedikit naik satu oktaf. Dengan tangan menggebrak meja. Nampaknya telah habis kesabaran cewek itu. "Oooh Oke.., tapi aku masih mau di sini sama Tari!" sahut Langit santai. Tidak peduli seandainya Sandra marah. --- "Gue gak enak deh sama Sandra." Mentari bicara saat mereka sudah di dalam mobil. Setelah ditolak, Sandra yang tadinya cuma berniat ngambek pergi, sialnya Langit betul-betul sama sekali tidak menahannya. Dia bahkan tidak mengantarkan Sandra sampai keluar Mal. "Ngapa Lo jadi alay gini?!" ledek Langit sambil memasangkan seatbelt di tubuh Mentari. "Lo tuh yang alay.., bisa gak sih biasa aja sama gue," kesal Mentari. Dia memukul lengan Langit yang di sampingnya. "Gak bisa! gue bisa kehilangan cewek manapun, asal itu bukan Lo," balas Langit serius. Mau tak mau rona merah muncul di pipi Mentari. Dia tak menyangka pengaruhnya begitu besar di hati Langit. "Iyahlah.., gue mana bisa sih kehilangan ADIK TERCINTA gue." Tambah Langit penuh penekanan, mengembalikan Mentari yang sudah terbang jauh ke ufuk selatan kembali ke dasar bumi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD