(13) First Warn

1223 Words
Liz menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya dan bergulung tidur di sofá. Senyum menghiasi wajahnya yang manis. Kedua kelopak matanya masih menutup namun dia bisa mendengar bunyi-bunyian di sekitarnya. Ada suara seorang pria yang berdehem lalu bunyi kursi kayu yang beradu dengan lantai. Tunggu! Seorang pria? Selimut? Sepertinya Liz tidur hanya beralaskan mantelnya sebagai bantal serta tanpa selimut menutupi tubuhnya tadi malam. Kedua matanya sontak terbuka. Berseberangan dengan sofá tempat ia tidur, duduklah Edward yang dengan santainya membaca sebuah buku, yang jika Liz tebak, bertema tentang pemerintahan. Liz mengerjapkan matanya cepat. Mencoba menyesuaikan intensitas cahaya yang ditangkap pupilnya. Edward yang menyadari bahwa Liz sudah bangun menatap gadis yang tertidur di hadapannya lalu tersenyum. "Selamat pagi, Liz. Apa tidurmu nyenyak?" tanya Edward ramah. Liz mengangguk kecil sambil berusaha duduk. "Sejak kapan Anda di sini, Yang Mulia?" "Mungkin sekitar dua jam yang lalu. Aku tahu kau pasti kedinginan, jadi aku membawakanmu selimut." Lizzy menatap kain yang terhampar di pangkuannya. Kain dari wol tebal berwarna merah darah. "Terima kasih, Yang Mulia. Anda begitu perhatian pada saya." "Asal kau tahu, aku memang perhatian dengan semua orang," balas Edward dengan gaya angkuh. Liz hanya mengerang dalam hati. "Jadi apa yang akan Anda lakukan sekarang, Yang Mulia? Setelah menantikan saya terbangun sedari tadi." Edward menutup buku yang sedari dibacanya. "Kebetulan hari ini aku sama sekali tidak ada pertemuan penting dengan para menteri. Hanya mendiskusikan beberapa anggaran pengeluaran yang harus kusiapkan untuk pembangunan pos pasukan istana yang ditugaskan di Goodard." Liz menaikkan satu alisnya, menebak inti pembicaraan rajanya yang terlalu banyak basa-basi ini. "Bagaimana kalau kita berdua berkuda saja hari ini? Aku tahu kau sangat bosan di istana yang sepi ini, Liz. Dan aku ingat kau pernah berkata padaku bahwa kau gemar berkuda." Mata Liz bercahaya, "Berkuda, Tuan? Tentu saja saya menerima tawaran Anda, Yang Mulia. Kapan kita akan mulai? Saya sudah tidak sabar menunggangi kuda kembali." "Sabarlah Liz." Edward tertawa kecil melihat Liz yang kegirangan. "Bagaimana setelah makan siang? Kau tentu sudah bebas dari pekerjaanmu dan aku akan mengatur jadwalku agar pertemuanku bisa dimajukan menjadi sebelum waktu makan siang. Kita bertemu di istal belakang istana." ♚♚♚ Liz berjalan cepat menuju rumahnya di Humbles. Memasuki kamarnya tanpa menutup pintu. Dibukanya lemari pakaian dan segera mencari baju itu, baju terusan biru berlengan menggembung yang biasa ia pakai ketika berkuda dengan kuda hakim tua itu. Dibukanya semua lemari yang ada di rumahnya: lemari pakaian ibunya, lemari pakaian miliknya, sampai peti penyimpan. Tapi baju itu tidak ditemukan. "Di mana baju itu?" gumamnya panik. Liz melihat ke luar jendela dan menatap langit. Matahari hampir mencapai puncak dan artinya waktunya wakan siang akan segera tiba. Jika Liz tidak menemukan baju itu, entah apa yang akan ia kenakan nanti. Pakaian-pakaiannya yang lain tidak mungkin bisa dipakai untuk berkuda. Gadis itu terduduk di lantai. Giginya menggigiti kuku ibu jari. Liz berusaha keras mengingat dimana ia meletakan baju berkudanya. Tapi bagaimana pun Liz tak ingat pernah menaruhnya di rumah ini. Terdengar suara pintu depan yang tertutup agak keras lalu suara batuk seorang wanita kemudian langkah kaki yang menjauhi anak tangga. Liz menghela napas. Itu pasti ibunya yang baru pulang dari perjalanan. Liz menuruni tiap tangga dengan lunglai. Akhirnya ia menyerah dan terpaksa membatalkan acara berkuda bersama Raja Edward siang ini. Padahal ia sudah sangat bersemangat mengingat akan kembali menunggang kuda. "Liz?" panggil Elizabeth dari arah dapur. Liz menoleh. "Ya, Bu?" "Mengapa kau di sini? Kau tidak sedang bekerja di istana? Kau tidak dipecat bukan?" tanya Elizabeth heran. "Tidak, Bu. Aku baik-baik saja bekerja di istana." Liz menggeleng lemah. "Lalu mengapa kau kemari?" Liz menggeleng lagi. "Tak apa, Bu. Hanya ingin beristirahat sebentar di sini." Elizabeth berdecak tak percaya, "Kau punya masalah? Wajahmu terlihat kusut begitu. Ingin bercerita pada ibu?" "Tak apa, hanya masalah kecil. Tak usah dibesar-besarkan, Bu." "Kau yakin?" tanya Elizabeth. Liz mengangguk. "Baiklah kalau begitu." Elizabeth melanjutkan pekerjaannya menata barang hasil dagangannya yang lebih banyak berisi bahan obat-obatan. "Ibu hanya ingin bilang bahwa baju yang dulu ingin kau berikan pada Skydivania sudah ibu berikan. Ia senang sekali menerimanya. Skydivania menitipkan ucapan terima kasih padamu." "Baju?" Eliz mengangguk. "Iya, baju. Baju terusan warna biru berlengan menggembung yang biasa kau pakai saat berkuda itu. Kau pernah bilang mungkin tidak akan sempat berkuda, melihat jadwalmu yang sangat padat di istana. Begitu, bukan?" Liz mengerang sambil memukul keningnya pelan. "Aku lupa. Ah, bagaimana ini?" "Memang ada apa? Kau urung memberikannya pada Skydivania?" tanya Eliz tanpa mengalihkan pandangannya dari catatan hariannya. "Hari ini Yang Mulia Raja Edward mengajakku untuk berkuda dan aku datang kemari untuk mengambil baju itu dan kukenakkan siang ini. Aku benar-benar lupa jika sudah memberikan baju itu pada Sky. Aduh, ibu bagaimana ini?" keluh Liz. Eliz menatap anaknya dengan gusar, "Kau akan berkuda bersama Raja Edward?" Liz mengangguk sebagai jawaban. "Well, baguslah jika baju itu sudah ibu berikan. Batalkan saja acara berkudamu itu." Kedua mata Liz membelalak tak percaya. "Ibu?!" Eliz pura-pura tak mengerti. "Apa?" "Ini tidak ada hubungannya dengan masa lalu ibu, mengerti? Aku senang berkuda dan ibu sangat tahu itu. Tak akan mungkin aku melewatkan kesempatan ini, dengan rakyat biasa sekali pun," balas Liz kesal. Elizabeth seketika terdiam dan menghentikan pekerjaannya. Bukan hanya Liz yang merasa kesal pada dirinya. Hati kecilnya pun ikut marah. Mengapa ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa orang yang ia cintai telah memilih orang lain? Wanita itu kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Dengan tenang ia menatap putrinya. "Tentu saja ada. Para bangsawan selalu menawan, tetapi mereka tidak pernah menganggap kita semua lebih dari rakyat dan tuannya. Dari dulu sampai sekarang dan mungkin selamanya akan tetap begitu. Itu tentu akan sangat berbahaya jika kau jatuh cinta pada salah satu dari mereka." Liz mengerang lagi. "Ibu hanya tidak mengerti aku hanya—" "Cukup Liz! Pembicaraan selesai," potong Elizabeth. "Batalkan rencana berkuda dengan Raja Edward atau kemasi barangmu di istana dan kita kembali ke Wiser. Terus terang ibu tak masalah jika kau hanya menjadi tabib rakyat biasa yang tidak bergelimang harta." Liz segera berbalik dan berlari keluar meninggalkan rumahnya dengan penuh kekesalan. Ibunya tak mengerti dan tak akan pernah mengerti. Ia senang berkuda dan itu tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan siapa yang mengajak. Bahkan jika yang mengajaknya Robby sekali pun. Mungkin. ♚♚♚ "Jadi sekarang apa?" tanyanya pada diri sendiri. Kakinya sibuk menendang kerikil yang berada di jalan. Hingga matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal. "Nicholas!" panggil Liz. Pemuda yang bernama Nicholas menoleh mencari sumber suara. Liz segera berlari menghampiri pemuda itu dan menepuk pundaknya. "Hai!" Nicholas tersenyum. "Liz?" Liz balas tersenyum. Nicholas yang juga merupakan salah satu teman baiknya adalah putra dari Tuan Hakim Encrisment yang telah menikah dan sekarang menjadi hakim seperti ayahnya di Humbles, sementara orang tuanya tetap di Wiser. Dialah yang mengajari dan selalu menemani Liz berkuda. Semoga Nicholas dapat membantu! "Nic, aku hanya ingin bertanya apakah aku bisa meminjam baju berkuda Ella untuk hari ini?" tanya Liz penuh harap. Ella adalah adik Nicholas yang tinggal bersama abangnya itu untuk bersekolah di ibukota. Nicholas menatap Liz menerawang. "Untuk kau pakai?" Liz mengangguk mantap. "Hahahaha," tawa Nicholas. Kedua alis Liz bertaut. "Apa yang lucu? Ella pasti punya satu baju seperti itu, kan?" Nicholas menepuk-nepuk pundak Liz sambil mencoba menahan tawa. "Liz, apa istana telah mencuci otakmu? Tentu saja Ella punya baju berkuda. Tapi apa kau ingat kalau adikku berumur delapan tahun dan jauh lebih kecil darimu? Istriku juga tidak pernah berkuda, ia selalu pergi dengan kereta." Liz seketika menepuk keningnya lalu menatap Nicholas putus asa. "Lalu aku harus bagaimana?" "Memang kau akan berkuda?" Nicholas balas bertanya. "Ceritanya panjang, Nic. Yang penting sekarang adalah aku harus mendapat baju khusus berkuda." "Ada satu baju di rumahku. Kau mau?" tawar Nicholas, ahkirnya. Liz mengiyakan, "Tentu saja aku mau. Itu yang kucari sejak tadi." "Sungguh? Apa kau tidak akan menyesal?" tanya Nicholas tak yakin. "Kenapa aku harus menyesal?" Liz menatap Nicholas bingung, tetapi pemuda itu tak menjawab.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD