Takdir yang Mempertemukan

1526 Words
"ORANG yang tadi pagi ... dia bakal baik-baik aja nggak, ya?" "Lo serius amat. Dia bilang nggak apa-apa, berarti, ya, enggak apa-apa. Jangan bikin gue takut gini dong, Than!" Ethan melirik sinis ke arah sepupunya. Tatapan dingin yang sukses membuat Raffa membungkam mulutnya rapat-rapat. Raffa lupa dirinya sedang berhadapan dengan siapa. Beruang kutub yang memiliki tatapan dingin dan intimidasi yang luar biasa. "Harusnya, kamu paksa dia ke rumah sakit, sebelum ngizinin dia pergi tadi," ceramah Ethan. "Dia kelihatannya nggak apa-apa dam lagi buru-buru juha. Biarin ajalah, jangan bahas dia lagi!" balas Raffa merasa tak suka dan enggan. Ia sadar, itu kesalahannya, tapi ia sedang mencoba untuk melupakan kejadian yang menimpa mereka tadi pagi. "Kamu mau, tiba-tiba dia datangin kantor bareng pengacaranya buat nuntut kelakuanmu?" Raffa mendelik ke arah Ethan. Pria itu biasanya dingin dan jarang bicara, tapi entah kenapa kali ini dia mulai mengoceh panjang kali lebar pada Raffa. Mungkin, karena tadi pagi mereka baru saja menyerempet motor seorang pria. Raffa bukannya sengaja, dia sedikit meleng dan tanpa sadar menggesekkan mobil mulusnya ke sepeda motor pria itu. Pria itu tidak memperpanjang masalah dan pamit padanya, tapi masalahnya ... Raffa dan Ethan tahu jelas, jika ada darah mengalir di pelipis pria tak dikenal tersebut. "Udah deh, jangan nakut-nakutin gue mulu! Sekarang waktunya kita makan siang. Sekretaris gue rekomendasiin tempat ini, karena katanya, makanannya enak-enak!" "Kamu ada affair sama sekretarismu itu?" serang Ethan, tanpa banyak ancang-ancang. Raffa tersedak salivanya. "Mulut lo bisa direm dikit nggak kalau lagi ngomong sama gue?" Ethan menggeleng pelan dan mendesah kasar. Dia tahu sejak lama tentang peringai adik sepupunya yang terkenal sebagai seorang playboy kelas kakap. Bukannya dia iri, tidak sama sekali. Ethan termasuk pria yang digilai banyak wanita, tapi bukan berarti dia sosok yang mudah membuka diri seperti Raffa. Ethan pria tertutup. Dia tidak pernah pacaran, dekat dengan wanita saja ia enggan. Terutama ... setelah mantan istrinya menduakannya. Ethan tidak pernah menyalahkan siapa pun atas masalah yang pernah menimpa hidupnya. Karena sadar ataupun tidak, itulah buah yang harus ia panen setelah menuai benih yang salah, yakni buah masalah. Mereka mengambil meja di sudut restoran yang tidak bisa dibilang besar, tapi Ethan merasa nyaman berada di sana. Hadirnya pohon-pohon kecil berdaun hijau yang menghiasi sudut-sudut ruangan, juga bunga yang entah apa namanya berada di atas meja, membuat ia merasa adanya suatu kesan natural di restoran itu. "Mau pesan apa, Pak?" Seorang pelayan cantik tampak menghampiri meja mereka dengan senyum ramah membayang di bibirnya. Raffa sudah bersiap menggoda perempuan itu, tapi Ethan dengan sengaja menabok wajah sepupunya dengan buku menu. "Pesan saja dan jangan banyak ulah," ujarnya sekalem mungkin. Raffa merengut, tapi tetap menurut. Dia mulai menyuarakan pesanan dan Ethan menyamakan isi pesanan mereka. Menunggu cukup lama, sebuah masakan ayam bumbu pedas khas masakan rumahan disertai minumannya sampai di hadapan. Ethan memperhatikan makanan itu sejenak, mengamati bentuknya sebelum mulai menyantap. Enak. Dia bisa merasa makanan itu begitu nikmat di lidahnya. Bumbu-bumbunya terasa pas, ada asam, manis, dan pedas yang menyatu begitu nikmat di lidah. Rasa enak yang mengingatkan Ethan akan masakan almarhumah ibunya dulu. Laki-laki itu tersenyum tipis. Senyum yang hampir tak pernah lagi menghiasi bibirnya. Namun, saat matanya melirik adik sepupunya yang tampak mengernyitkan dahi dengan mengunyah makanan pelan-pelan dengan wajah tak sedap dipandang. Ethan mulai menaruh rasa curiga pada adik sepupunya itu. Jangan sampai .... Jangan sampai Raffa membuat ulah di sini. Ethan baru saja membuka mulut hendak mencegah Raffa bersuara, saat suara melengking keras, lebih dulu mengalun dan memenuhi isi restoran. "Apa-apaan ini!" *** "Apa-apaan ini!" teriakan itu cukup keras hingga menyentak semua orang yang berjaga di pantri. Para pelayan yang sedang menunggu pesanan siap serempak menoleh ke asal suara. Gadis yang sebelumnya melayani nomor meja itu segera berlari mendekat. Sedangkan salah satu dari pelayan lain melapor ke dapur, jika ada pelanggan yang tiba-tiba saja berteriak dan tampak marah di mejanya. Nayla tersentak. Ini kali pertama ia mendapat komplain semenjak mendirikan restoran beberapa tahun yang lalu. Tanpa melepas apronnya, ia keluar dari dapur dan berniat menghadapi pelanggan yang sedang menghujat pelayannya dengan kalimat ganas. Damn mencoba mencegah, tapi Nayla lebih cepat mengelak dan meninggalkannya tetap di sana. "Apa-apaan ini, ha? Masa pesanan gue rasanya terlalu asin! Apa kokinya lagi ngebet mau kawin, sampai semua garam dimasukkin, ha!" "Maaf, Tuan ... itu—" "Raff, udah ...." "Udah-udah, enak aja lo ngomong! Emangnya makanan lo rasanya normal-normal aja? Lo pasti bercanda, kan? Orang rasanya asin banget kayak gini!" sengit Raffa yang tampak tak terima, karena Ethan berusaha melarangnya. "Rasa makananku baik-baik saja, kamu saja yang mungkin terlalu berlebihan. Udahlah ... kalau memang keasinan, pesan saja yang baru. Kamu kelihatan kayak laki-laki yang tidak punya uang lebih untuk memesan makanan baru, tahu?" Raffa tampak menatap Ethan tidak suka. Jiwa sombong pria itu terusik, saat Ethan dengan sengaja membawa-bawa isi kantongnya ke dalam percakapan. Dia nggak punya uang lebih? Apa Ethan minta ditampol dulu dengan segepok duitnya, baru dia tahu, betapa kayanya seorang Julian Raffa Gunawan ini? "Maaf, ada apa, ya?" Nayla yang baru sampai di sana mulai bertanya. Ia melirik anak buahnya yang tampak gemetar di tempat ia berdiri dan dengan isyarat mata, Nayla meminta pegawainya pergi. "Kamu koki di sini?" Raffa yang sebelumnya mulai tenang, karena sindiran Ethan yang tepat sasaran dan menohok kesombongannya sejenak, kembali panas saat melihat Nayla berdiri di hadapannya. Wanita berseragam koki yang sukses membuat Raffa berpikir, jika wanita itulah yang memasak makanannya. "Iya betul. Saya kepala koki di sini." Ethan yang mendengarnya sontak tersenyum ramah. Wanita ini tampak tenang dan sopan, sekali pun Raffa sedang memasang wajah siap perang, dia tampak begitu santai dan elegan kala menghadapi keadaan. "Jadi, kamu yang masak makananku?" "Iya betul. Semua makanan di sini saya yang memasaknya, kenapa, ya?" "Masakanmu asin!" "Masakanmu enak." Ujar kedua pria itu bebarengan. Raffa mendelik ke arah Ethan yang kini memperhatikan Nayla yang sedang memasang senyuman ramah andalannya. Nayla pun melirik Ethan. Dua pria di hadapannya memang tampan, tapi jika disuruh memilih, Nayla akan memilih pria yang mengatakan jika masakannya enak. Pria yang kini tengah menatapnya dan ia balas memandanginya. Tatapan keduanya bertemu, seperti ada magnet yang menarik mereka untuk terus saling beradu. Namun, Nayla mencoba profesional dan segera memalingkan muka, menghadap keduanya secara bergantian. "Jadi, mana yang benar? Masakannya asin atau enak?" Raffa menusuk makanannya dengan garpu dan mengacungkannya ke udara. Ke arah Nayla yang tampak tidak suka melihat aksinya. "Incip sendiri," katanya pedas. Nayla mengambil garpu itu dan menelan hasil masakannya tanpa ragu. Dia mengernyitkan dahi saat daging itu menyentuh lidah dengan bumbu-bumbu yang terasa terlalu aneh menurutnya. Bagaimana bisa seasin ini? Nayla menusukkan garpunya ke makanan Ethan tanpa ragu dan mencicipinya. Yang ini enak, tapi yang satunya asin. Siapa yang menambahkan garam di makanan pria ini?! batinnya yang kini berteriak histeris. "Bagaimana rasanya?" tanya Raffa sarkastik. Ethan bahkan sampai meringis, karena makanannya pun menjadi uji coba koki wanita yang tampak bersinar di kedua bola matanya ini. "Makananmu asin, tapi yang satunya normal." Nayla memandangi Raffa dan Ethan bergantian. "Tidak ada yang menambahkan garam secara sengaja ke makanan Anda, bukan?" "Kamu sudah salah malah mau nuduh orang!" bentak Raffa kejam. "Tidak, saya tidak sedang mencari kambing hitam. Hanya saja, dua makanan ini saya masak secara bersamaan, jadi rasanya pasti sama. Kalaupun ada yang berubah, itu mungkin karena ada yang tidak sengaja menambahkan garam ke makanan Anda." Raffa mendengkus. "Bilang aja kamu kebelet kawin sampai masakanmu dibikin asin. Kalau kamu emang lagi pengin nyari calon suami, aku bisa bantuin, kalau mau nikah sama aku juga nggak masalah, aku siap terima lahir batin." "Hah?" Mulut Nayla terbuka, menganga lebar terlihat jenaka. "Gimana? Bukannya bisa jadi simbiosis—" "Diam!" Ethan segera menyumpali mulut Raffa dengan makanannya, sebelum beralih menatap Nayla. "Maafkan dia, mungkin ada kesalahpahaman di antara kita." Nayla mengatupkan mulutnya, lalu mengangguk. "Mohon tunggu sebentar, saya akan memasak ulang makanan kalian secepat mungkin! Maaf, ya, kalian harus menunggu—" "Ini!" Damn muncul dengan dua piring baru berisi jenis masakan serupa dengan yang Raffa dan Ethan pesan. "Rasanya tidak akan keasinan. Tolong maafkan kami, mungkin teman saya memang kebelet kawin." Damn mengambil dua piring sisa makanan Ethan dan Raffa. "Mohon maafkan ketidaknyamanan dan kesalahpahaman ini." Ethan tersenyum dan mengangguk. Ekspresinya tiba-tiba masam, karena masakan enak yang ia makan tadi harus dibawa pergi. Sedangkan Nayla membungkuk tidak enak. Dia meminta maaf atas nama restoran dan kelalaiannya sebelum menyusul kepergian Damian. "Ceweknya cakep bener, gue ikhlas deh kalau harus nyalon jadi suaminya!" "Kamu sengaja cari gara-gara, kan?" tanya Ethan dingin. "Harus!" Raffa mengacungkan jari jempolnya. "Kalau nggak gini, gue nggak bakal ketemu sama Mbak-mbak koki yang cakepnya kayak bidadari." Ethan mendelik menanggapi kata-kata Raffa. "Omong-omong, cowok yang tadi kok kayak nggak asing, ya?" Ethan terdiam. Ia mencoba mengingat-ingat, apakah mereka pernah bertemu dengan teman koki cewek cantik tadi. Lalu, ingatan Ethan terjatuh pada kecelakaan yang ditimbulkan Raffa tadi pagi. Dengan wajah datar dan tatapan dingin yang membuat Raffa menggigil, Ethan berkata, "Dia laki-laki yang kamu tabrak tadi pagi." "APA!" pekik Raffa terkejut setengah mati. Ethan mulai menatap makanan di hadapannya dan mulai mencicipinya. Rasanya memang enak, tapi entah kenapa ... tidak seenak yang pertama tadi. Apa karena yang bikin beda orang, ya? Ethan menghela napas kasar. Gagal, deh, bernostalgia rasa masakan rumah seperti buatan ibunya di restoran ini!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD