***************** Ziyan melangkah memasuki ruang makan, sosoknya ibarat patung marmer yang berjalan—dingin, teguh, dan nyaris tak tersentuh. Balutan blus sutra berwarna dusty rose dan rok pensil hitam terasa seperti seragam perang. Matanya, tajam laksana elang, menyapu ruangan dengan satu lirikan. Arga sudah duduk di kursinya, keningnya berkerut dalam di atas tablet. Di hadapannya, Risa berdiri, mengenakan apron bermotif cupcake yang terlalu riang untuk suasana pagi yang terasa mencekam. Senyum Risa, manis yang dipaksakan, terasa seperti lapisan gula yang menutupi racun. Ia sibuk menata hidangan di meja. “Selamat pagi, Mbak Ziyan,” sapa Risa, nadanya seperti lonceng kecil yang berdering nyaring, penuh kepura-puraan bersalah. Ziyan hanya mengangguk kecil, anggukan yang terasa lebih sepe

