Part 4 ( Kebingungan Arga: Kontrol yang Hilang )

1000 Words
************** Pagi ini Ziyan melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri dan elegant memasuki perusahaan . Di sampinya ada Adrian yang sedang menjelaskan tentang kondisi perusahaan. "Setelah investigasi menyeluruh, saya menyimpulkan bahwa memang ada penyelewengan dana di bagian divisi itu, Nona" jelas Adrian. " Lalu apakah kamu sudah tahu siapa?" ujar Ziyan. " Iya Nona, Saya sudah mengetahui siapa saja mereka dan saya juga sudah memeriksa dan menyelidiki data aliran dana ke rekening mereka." "Bagus. Kalau begitu antar saya ke sana." "Baik Nona ,mari." Lalu Adrianpun membawa Ziyan pergi kesana. Saat tiba di ruangan devisi itu,dia masuk dan di sambut oleh kepala divisi yang awalnya sempat terkejut ,karena ini mendadak .Dan saat dia sedang berjalan, dia tak sengaja mendengar obrolan 3 karyawan di tempatnya. Ziyan berhenti melangkah. Kepalanya tidak langsung menoleh, tetapi senyum tipis, hampir tak terlihat, muncul di sudut bibirnya. Tiga karyawan di sudut itu masih asyik bergosip. Karyawan 1: "...sumpah, bos kita itu kayaknya hidup di goa ya? Segitu suaminya terang-terangan main mata sama si Sekretarisnya, dia masih saja stay cool sok elegan. Bodoh, atau kelewat polos?" Karyawan 2: " Iya loh,padahal suaminya sudah belikan apartemen baru. Aduh, kalau aku jadi dia, sudah kucakar-kakar tuh muka suami!" Karyawan 3: "Iya .Makannya itu , ini juga bisa jadi pelajaran buat kita kalau jadi istri itu jangan terlalu sibuk mengurusi karir sampai lupa sama suami. Karena cantik aja nggak cukup cowok juga butuh perhatian." Karyawan 2:"Iya bener tuh " Ziyan perlahan membalikkan tubuhnya. Dia tidak tampak marah, ia melipat kedua tangannya di depan d**a. Kepala Divisi , Pak Wira, yang baru menyadari situasi, tergagap, "Ibu Ziyan,saya akan tegur!" Ziyan mengangkat telunjuknya ke bibir, isyarat untuk diam, sambil matanya terkunci pada tiga karyawan yang kini pucat pasi dan menunduk seperti anak kecil ketahuan mencuri permen. Ziyan menatap ketiga karyawan yang kini nyaris menangis karena malu. "Kalian ini lucu sekali. Kalian bergosip tentang rumah tanggaku—yang jelas merupakan urusan pribadi,di jam kerja. ?" Dia mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dari dompetnya dan meletakkannya di atas meja Karyawan itu. Lalu, matanya beralih ke Karyawan 3, yang menyebut 'kesempatan bagus untuk santai'. Ziyan mengambil pena milik karyawan tersebut. "Dan kamu. Kamu pikir aku buta? Aku melihat segalanya. Aku tahu semua. Aku hanya memilih untuk tidak bereaksi pada hal-hal kecil, agar aku bisa bereaksi besar pada hal-hal yang benar-benar penting." Semua karyawan yang ada di divisi itu langsung berdiri dan melihat ke arah mereka. "Dan selamat, kamu benar-benar akan mendapatkan kesempatan bagus untuk bersantai. Di rumah. Sepuasnya." Karyawan 3 mulai menangis. "Ibu Ziyan, tolong! Jangan pecat saya!" Ziyan mengangkat bahu dengan anggun. "Aku hanya menaikkan level profesionalismeku. Perusahaan ini adalah brand kelas atas. Aku tidak bisa membiarkan karyawan yang menjadikan drama murahan sebagai hiburan di jam kerja. Anggap saja ini 'pemutihan' episode 2. Ini adalah hukuman karena kalian mencoba menjadikan kehidupan CEO kalian sebagai reality show murahan." Dia lalu menoleh ke Pak Wira. "Pak Wira, siapkan surat pengunduran diri yang 'disarankan' untuk mereka bertiga. Biar lebih elegan. Alasannya: Ketidakcocokan budaya kerja perusahaan. Mereka jelas lebih cocok di industri hiburan." Ziyan tidak menunggu jawaban. Dia kembali berjalan menuju mesin yang rusak itu, Adrian mengekor di belakangnya. Dia bicara pada Adrian seolah tiga orang yang baru saja dipecat itu tidak pernah ada. "Adrian, by the way. Setelah ini, tolong panggil Kepala Keamanan. Aku butuh dia memasang sensor di area ini. Aku tidak peduli dengan gosip murahan, tapi aku peduli jika kebisingan itu mengganggu efisiensi produksi." "Kalian ..!" ujar penuh amarah pak Wira sambil melotot ke arah 3 karyawan itu yang langsung manunduk ketakutan .Lalu menyusul Kemana perginya Ziyan dan Adrian. "Kamu sih .Kenapa harus bahas bu Ziyan sih !" "Loh kok nyalahin aku sih ?! Ya kamu kenapa nyahut tadi ." "Sudah lah .Sekarang gak guna banget kita debat .Kita sudah jadi pengangguran sekarang ." "Heh ! masih pada banyak cing cong aja .Cepat beresin barang-barang kalian ." "Iya huhhhh.....mampus .Makannya jangan suka gosipin orang " "Iya huhhhh...." Beberapa karyawan lainnya juga ikut menyoraki .Pasalnya ,ketiganya ini memang biang gosip dan kalau di ingatkan malah semakin jadi dan menyerang personal yang mengingatkan . Ketiga karyawan itupun seketika malu dan langsung mengemasi barang barang mereka . **************** Sedangkan kini di kantornya ,Arga tengah melamun di ruangannya .Dia masih keheranan dengan apa yang terjadi tadi malam . Sikap istrinya yang dulu lemah lembut, selalu tersenyum saat menyambutnya pulang kerja ,selalu patuh apa yang di peritahkan olehnya ,kini seolah berbanding terbalik .Seolah wanita itu bukanlah istrinya . Reaksi itu... Arga menggeleng. Itu sama sekali bukan Ziyan yang ia kenal—yang akan menangis histeris, memohon Arga kembali, atau mengancam bunuh diri. Sikap acuh tak acuh itu justru terasa lebih menghukum daripada seribu makian. "Kenapa dia tidak marah? Apa dia sudah tidak peduli? Atau... apa ini strateginya?" gumam Arga. Rasa penasaran Arga kini lebih besar daripada hasratnya pada Risa. Ia merasa seperti kehilangan kontrol penuh atas Ziyan, yang selama ini ia anggap sebagai 'barang miliknya' yang paling patuh. Tepat saat pikirannya berkecamuk, pintu ruangannya diketuk. "Masuk," kata Arga. Pintu terbuka dan munculah Risa, sekretarisnya. Risa masuk dengan dress kantor yang pas di badan, membawa nampan berisi kopi. Ia tersenyum, senyum yang biasanya akan disambut oleh tatapan kagum dan penuh hasrat dari Arga. "Mas Arga," sapa Risa, melangkah mendekat, sengaja membiarkan aroma parfum mewahnya memenuhi ruangan. Arga hanya mengangguk, tanpa menatap Risa. Matanya masih berbayang wajah Ziyan yang tanpa emosi. "Terima kasih, Risa. Letakkan saja di sana," jawab Arga, nadanya datar dan kaku, sangat berbeda dengan panggilan mesra yang biasa ia dengar. Risa meletakkan nampan itu, hatinya mencelos. Acuh. Arga benar-benar acuh. Bahkan tidak ada godaan nakal atau tatapan penuh cinta. Risa mencoba mendekat, mendekatkan tubuhnya ke meja. "Kamu terlihat lesu.Kamu baik-baik saja," kata Risa khawatir. "Aku baik-baik saja. Kau bisa kembali bekerja, Risa," potong Arga, mengambil berkas, memberi isyarat bahwa percakapan telah berakhir. Risa menatap Arga dengan mata berkaca-kaca, Arga bahkan tidak menyadarinya. Risa berbalik dan meninggalkan ruangan Arga dengan rasa cemas dan harga diri yang terluka. Ia tidak suka Arga tiba-tiba berubah menjadi pria yang sedikit acuh padanya. Bersambung ......
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD