Episode 2

2089 Words
    Amierra baru saja keluar dari area kampusnya dan sempat kaget saat melihat Djavier tengah berada di atas motor Tigernya tepat di depan gerbang kampus. Amierra menatap Djavier dari atas hingga kaki. Dia memang terlihat tampan dan gagah menggunakan celana jeans, kaos berwarna putih yang melekat di tubuhnya dan jaket kulit yang menempel di tubuhnya yang berotot dan tegap. Bahkan ada beberapa wanita yang mencuri pandang padanya, dan menyapanya. Tetapi tetap saja Amierra tidak suka. Lancang sekali pria tua itu mendatangi kampusnya. Pikir Amierra. “Heh Paman.” “Assalamu’alaikum,” sindir Djavier membuat Amierra menggerutu dan akhirnya menjawab salam Djavier. “Ngapain di sini? Mau ngecengin mahasiswi di sini?” “Kenapa? Apa kamu cemburu?” godanya. “Ayolah Paman yang tidak tau malu, aku sama sekali tidak cemburu. TIDAK CEMBURU! Paham!” ucapnya penuh penekanan. “Oke, sekarang naiklah. Aku akan mengantarmu pulang,” ucapnya menaiki motor tiger terlebih dulu. “Gak mau, enak saja,” ucap Amierra seraya merapihkan rambut panjangnya. “Ayahmu yang meminta, ayo naik.” “Kita bukan muhrim!” “Saya tau, saya tidak memintamu untuk memeluk saya. Saya hanya memintamu menaiki motor untuk pulang bersama.” Ucapan Djavier yang terang-terangan membuat Amierra menggerutu kesal. “Aku tidak mau,” “Sebentar lagi akan hujan, Amierra.” ucapnya dengan sabar. Bunda Amierra sudah memberi tahu Djavier sebelumnya kalau menghadapi Amierra itu butuh kesabaran yang extra. “Well?” “Naiklah, besok kita akan pergi ke tempat Wedding Organizer.” “Maaf maaf aja nih Paman, tapi siapa yang mau menikah denganmu. Aku sudah menolaknya!” Amierra berkacak pinggang dengan menyipitkan tatapannya. “Ayahmu sudah menerima lamarannya.” “Ya sudah Paman menikah saja dengan Ayah. Kenapa memaksaku?” ucapnya. “Oh aku tau sih kalau aku itu sangat cantik, jadi pria lapuk kayak Paman sangat menginginkanku. Wajar sih yah,” ucapnya penuh percaya diri membuat Djavier terkekeh kecil seraya memalingkan wajahnya. Ia terlihat menahan tawanya. “Sudah selesai promosinya?” Amierra merengut sebal mendengar penuturan Djavier yang menyebalkan. “Menyebalkan!”             Djavier hanya terkekeh kecil.  “Ya sudah maju sana aku naik, jangan deket-deket bukan muhrimnya!” “Mau naik juga,” “Lumayan ngirit ongkos Grab,” ucapnya dengan santai dan duduk menyamping di atas motor tiger itu.  “Maju dikit ih!” Amierra mendorong punggung Djavier dengan tasnya. “Ini sudah mepet Amierra.” “Bodo! pokoknya jaga jarak. Awas saja kalau mundur!” ancamnya membuat Djavier menghela nafasnya dan mulai menjalankan motornya. Hari ini sesuai rencana, Amierra dan Djavier pergi mengunjungi Wedding Organizer bersama Bunda dan Ibunya Djavier yang bernama Evi. Tak lama mereka sampai di tempat Wedding Organizer, sesampainya di sana Amierra memilih duduk dengan memakan permen karetnya. Ia akan memulai aksinya untuk membuat onar agar Djavier ilfeel padanya. Bunda dan Mama Evi sedang berdiskusi dengan pengelola di sini. Mereka terlihat begitu antusias, Djavier hanya duduk dengan malas sambil melihat Iphonenya. Amierra sesekali melirik pria di sampingnya itu yang menjadi seorang yang autis. Amierra memainkan permen karet dengan tangannya agar bisa membuat Djavier ilfeel dan berpikir Amierra gadis yang jorok.       Tetapi di luar dugaan, Djavier seakan tak terusik dengan tingkah Amierra. Ia tetap fokus pada handphonenya yang entah sedang melihat apa. Karena merasa aksinya gagal, Amierra menghentikan tingkahnya dan mengetuk-ngetukkan sepatu high heelsnya ke lantai hingga menimbulkan bunyi nyaring. “Amie diamlah,” tegus sang Bunda. Amierra mendengus kesal dan berjalan menuju beberapa pajangan gaun pengantin. Gaun yang sangat cantik dan indah, Amierra membayangkan dirinya memakai gaun ini dan terlihat seperti seorang Putri cantik jelita dan Pangeran Fauzannya. Amierra harus menghela nafasnya jengah karena tidak ada tanggapan apapun dari pria bernama Fauzan itu. Sepertinya dia benar-benar sudah melupakanku, pikirnya. Amierra yang mulai bosan, memilih beberapa gaun pengantin yang terbuka dan seksi. Ia mencobanya di bantu desainer di sana. Tetapi serempak ketiganya menolak membuat Amierra memutar bola matanya jengah. Mereka meminta Amierra memakai gaun pengantin hijab yang tertutup dan juga lebih baik memakai kebaya sesuai adat mereka, karena Kakek Amierra berasal dari Jawa Barat tepatnya di kota Intan Garut. Amierra mau tidak mau harus mengikuti adat dan budaya Sunda sesuai Ayah dan Bundanya atur.  Sepanjang kegiatan Amierra terus saja menggerutu karena tidak bisa memilih sesuai keinginannya. Sebenarnya ini pernikahan siapa sih? pikir Amierra. Menerima lamaran Paman ini juga belum, gerutunya. Hari yang sangat buruk bagi Amierra. Sudah menikah di paksa, memilih gaunpun tidak bisa sesuai dengan yang di harapkan. “Djavier, apa kamu sudah mengurus segala persyaratan yang di perlukan?” tanya Evi saat mereka tengah berada di ruang tunggu menunggu pengelola mengambil buku yang menampilkan beberapa dekorasi untuk acara pernikahan. “Sedang aku proses, Ma.” “Syukurlah, supaya cepat selesai,” tambahnya. Amierra tak memperdulikannya, ia hanya duduk di pojokan sofa dengan tampang malas dan kusut. Ia menangkup dagunya dengan kedua tangannya, ia hanya meniup poninya yang ada di keningnya. Kebiasaan dia saat bosan dan kesal. Tanpa di sadarinya, Djavier terus memperhatikannya dengan senyumannya. Menurutnya Amierra itu gadis yang lucu. Selesai dari tempat Wedding Organizer, Bunda dan Mama Evi memilih pulang menaiki taxi karena ada yang ingin di beli. Kini hanya tinggal Djavier dan Amierra yang berdiri di dekat mobil CR-V putih. “Aku mau pulang sendiri saja,” ucap Amierra hendak berlalu tetapi Djavier mencekalnya. “Hey?” “Sorry,” Djavier mengangkat kedua tangannya ke udara seperti di todong pistol. “Saya akan mengantarkanmu pulang, saya tidak mau di anggap tidak bertanggung jawab.” “Ck, berlebihan sekali. Aku mau ke tempat temanku dulu!” “Ya sudah saya antar, ayo naiklah.” Amierra yang sudah lelah, akhirnya memutuskan naik di kursi penumpang dan Djavier mulai menjalankan mobilnya meninggalkan tempat itu. Tak ada yang membuka suara, Amierra fokus menatap keluar jendela, menatap jalanan dan ruko ruko juga bangunan tinggi yang mereka lalui. “Kenapa mau menikah denganku, Paman? Aku itu gadis bar bar, suka merokok, saya juga sudah tidak perawan-“ Ciiittt Hampir saja kepala Amierra membentur dashbox kalau saja ia tidak memakai seatbelt. Amierra masih mengatur nafasnya dengan keterkejutannya. “Apa yang kamu lakukan, Paman? Kamu ingin membunuhku!” pekiknya sangat emosi. “Kalau mau mati jangan ajak-ajak!” Djavier menatap wajah Amierra dengan intens. “Kenapa menatapku seperti itu? Kamu sangat menakutkan!” ucapnya mulai tak nyaman di tatap seintens itu oleh Djvaier. “Kamu mengatakan itu agar saya mundur?” “Tidak, aku mengatakan yang sebenarnya,” ucapnya dengan bangga. Djavier kembali menjalankan mobilnya. “Tidak ada yang bangga karena sudah tidak perawan.” Amierra mencibir kesal padanya. “Kau hampir membunuhku hanya untuk mengucapkan hal semacam itu.” Djavier tak menjawab dan tetap fokus menyetir mobilnya hingga sampai di tempat kost-kostannya Kamila. “Pulang jam berapa?” pertanyaan itu menghentikan gerakan Amierra yang hendak menuruni mobil. “Bukan urusanmu, Paman!” ucap Amierra menuruni mobil Djavier dan menatap Djavier dengan tatapan sengitnya. “Saya akan menjemputmu,” jawabnya sebelum Amierra menutup pintu mobilnya. “Oh, apa Ayah sekarang menyewamu untuk menjadi sopir pribadiku!” Amierra membanting pintu mobil dan beranjak memasuki gerbang kost-kostan putri itu. Djavier hanya mampu menghela nafasnya dan mulai menjalankan mobilnya meninggalkan tempat itu. “Millowwww,,,” Amierra langsung memeluk Milla yang terlihat baru bangun tidur. “Ada apaan sih Mier? Perasaan ini bukan acara teletubies pake pelukan segala!” Amierra mencibir kesal karena Mila tidak peka. Ia melepaskan pelukannya dan melenggang masuk ke kamar Mila seperti biasanya dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang kecil yang ada di sana. “Loe datang cuma mau numpang tiduran? Geser deh, gue masih ngantuk. Loe menganggu acara weekend gue!” Milla ikut duduk di samping ranjang tepat di dekat Amierra. “Harusnya seharian ini gue menikmati mimpi indah gue sepanjang hari,” tambahnya. “Ck, dasar kebo.” Milla merebahkan tubuhnya di samping Amierra yang masih menatap langit-langit kamar. “Fauzan masih belum membalas pesan gue,” ucap Amierra setelah keduanya sama-sama terdiam cukup lama. “Aduh Amie sayang, sampai kapan loe berharap padanya. Ini sudah hampir dua tahun dia pergi tanpa kabar. Sadarlah Amierra, dia sudah melupakan loe.” Milla sudah bosan mendengar curhat Amierra yang selalu sama dari dua tahun ini. “Gue mau merid,” “What?” Mila terpekik kaget dan langsung mengubah posisi tidurnya jadi menyamping menghadap ke Amierra. Ia menatap sahabatnya dengan lekat. “Loe serius? Bukan mimpi kan atau ngigau?” “Apa wajah gue kelihatan seperti itu?” Amierra ikut menoleh ke arah Mila. “Tidak sih, loe terlihat lebih tua karena terlalu sering mengernyit membuat dahi loe menampilkan kerutan kerutan,” kekehnya membuat Amierra mencibir. “Gue serius, gue di jodohkan,” gumamnya. “Oh God! Ini kan bukan jaman Siti Nurkhalizah lagi, ini sudah Jaman modern.” Pletak “Aww,,” Mila mengusap keningnya yang di sentil Amierra. “Loe baca sejarah gak sih? Terlalu sering mengasah kening sampai ginclong jadi otaknya minim!” pekik Amierra. “s****n!” gerutu Mila. “Heh, Siti Nurhalizah itu penyanyi. Penyanyi Malaysia, yang di jodohin itu Siti Nurbaya.” Amierra menghembuskan nafasnya jengah, ia sungguh kesal setengah mati hari ini.  Hampir semua orang membuatnya emosi tingkat menara. “Oh sudah berubah yah,” jawab Mila dengan enteng. “Loe tuh POGO, alias Polos b**o. Entah saking polosnya jadi b**o atau saking begonya jadi polos. Kagak tau deh gue,” “Aduh!” Amierra mengusap kepalanya yang di sentil Mila. “s****n!” cibir Milla yang kesal. “Gue di jodohkan karena wasiat Kakek, dan sebentar lagi akan merid. Dan Fauzan masih tidak ada kabarnya,” ucapnya terlihat sedih. “Siapa pria yang akan di jodohkan sama loe?” “Pria tua, dia dulunya guru ngaji gue di pesantren yang di kelola Kakek.” “Ya Tuhan, loe nikah sama ustad? Apa loe di madu?” mendengar penuturan Mila membuat Amierra mengernyitkan dahinya. “Gue gak tau, tetapi kelihatannya belum,” Kasian banget loe, Mier. Pasti cowok itu udah tua janggotan dan badannya tambun. Ah sungguh menyedihkan, pikir Mila. “Gue pengen nangis!” keluh Amierra. “Nangis saja, gue ada di sini buat loe,” ucap Mila ikut prihatin. “Gue gak bisa, air matanya gak mau keluar.” Amierra memang bukan gadis yang cengeng, dia tidak seperti gadis kebanyakan. Dia tidak pernah menangis, air matanya seakan sudah kering. Amierra pernah berpikir, mungkin saat Tuhan membagikan air mata pada setiap wanita, ia malah kelayapan jadinya tidak kebagian. Maybe “Gue gak mau nikah, tapi Ayah memaksa.” “Loe kabur saja,” usul Mila. “Usul yang bodoh, kalau gue kabur nanti gue harus kemana. Terus uang jajan gue gimana, kuliah gue gimana. Gue gak mau hidup di jalanan,” rengeknya. “Loe masih mikirin uang di saat yang kayak gini,” cibir Mila. “Gue gak mau hidup nelangsa, gue gak mau ngorbanin hidup gue karena Paman itu.” “Ya udin loe menikah saja dengannya dan hidup bahagia, selesai.” “MILOWWWWWWW!” “Apa sih, gendang telinga gue hampir pecah!” Mila segera beranjak seraya mengusap telinganya. “Loe gak pernah memberi gue solusi yang tepat, tau ah gue sebel.” Amierra menutup wajah dengan bantal karena kesal setengah mati. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, Amierra akan pulang dari tempat Mila. Mereka berdua berjalan menuju keluar gerbang, tetapi langkah mereka terhenti saat melihat sebuah mobil CR-V putih terparkir di sana. Dan seorang pria tengah berdiri di dekat pintu sambil bersandar ke mobilnya. “Oh my God! Amie, ada malaikat keturunan dewa yunani turun dari langit buat menemui kita.” Amierra memutar bola matanya mendengar penuturan lebay sahabatnya itu. “Amie, dia ganteng banget Amie. Dia ngeliat ke arah kita, ya Tuhan aku meleleh di tatapnya seperti itu. Adek gak kuat Bang,,” Amierra mendelik ke arah Mila yang berbisik selebay itu. Ingin sekali Amierra melepaskan sepatunya dan memukul kening jenongnya Mila supaya sembuh dari penyakit lebay-nya. “Millow, kagak usah lebay bin aneh begitu!” Pria itu adalah Djavier, Djavier tampak berjalan mendekati mereka dengan senyuman khasnya.  “Saya mau menjemputmu,” ucapnya. “Aku kan sudah bilang kalau aku bisa pulang sendiri!” pekik Amierra. “Saya harus memastikan kamu pulang ke rumah.” Setelah mengatakan itu, Djavier langsung berbalik menuju mobilnya meninggalkan Amierra yang kesal dan Mila yang melongo karena terpesona. “Loe kenal dia?” tanya Mila. “Dia pria yang di jodohkan sama gue.” “Oh my God! Loe sejak kapan katarak, mata loe udah sekarat yah sampe tidak bisa menyadari ketampanan dan kegagahannya? Ya Tuhan gue pikir sejenis g***n. Ini mah belum tua keles.” Mendengar celotehan Milla membuatnya mendengus sebal. Ia beranjak menuju mobil Djavier meninggalkan Mila yang masih terkagum-kagum pada Djavier.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD