Mungkin ini adalah hal paling tidak masuk akal yang dilakukan Dimas selama hidupnya. Entah dorongan dari mana yang membuatnya berdiri di depan rumah baru Rena. Dimas akui, selama beberapa hari ini ia terus memikirkan Rena. Padahal Dimas sudah mencoba mengalihkan pikirannya ke hal lain. Namun semakin Dimas memikirkan hal lain, wajah Rena semakin berkeliaran di otaknya. Jujur ia masih ragu untuk mengetuk pintu itu. Membayangkan reaksi Rena, membuat Dimas berbalik. Tapi langkahnya berhenti saat sebuah suara menginterupsi.
“Eh ada Mas Dimas,” ucap Mbak Lastri malu-malu. Mendadak wanita berumur dua puluhan itu salah tingkah.
Tidak perlu diragukan lagi, Dimas memang sosok yang ideal. Mulai dari kepala sampai kaki, semua perempuan yang melihatnya akan memuji cowok itu. Diusianya yang baru tujuh belas tahun, Dimas sudah seperti lelaki berusia matang. Tetapi wajahnya tentu masih muda, tipe idaman wanita.
Melihat Dimas masih diam, Mbak Lastri bertanya lagi. “Mau cari Non Rena?”
Dimas tersentak. “Iya. Rena ada?”
“Oh sebentar Mas, saya panggilkan dulu ya. Non Rena lagi di kamar soalnya.” Mbak Lastri begitu bersemangat. Ia ingat waktu pertama kali Dimas ke rumah yang lama, kehadiran cowok manis itu membuat perubahan baik bagi Rena.
Lega, sebentar lagi Dimas bisa bertemu Rena. Ia memutuskan menunggu di kursi yang ada di teras. Kali ini Dimas membawa kameranya dan ia tertarik dengan bunga-bunga yang tumbuh di sekitar rumah ini. Dimas mencoba mencari sisi yang pas dan beberapa foto terambil. Bagus, dia selalu menyukai foto-foto alam.
Suara kursi yang ditarik membuat Dimas melepaskan perhatiannya dari kamera miliknya. Wajah Rena yang kusut dan matanya yang sembap membuat Dimas curiga bahwa gadis itu tidak baik-baik saja.
“Kamu Dimas?”
Dimas tersadar dari pikirannya. “Ah iya, gue Dimas. Masih ingat kan?”
Rena terkekeh, berusaha tersenyum. “Masih sangat ingat.” Ia melipat tongkatnya dan meletakkan di kursi. “Kok bisa kamu kemari? Tau alamatku dari Dora ya?”
Mungkin kalau orang lain yang mengatakannya Dimas akan jengkel. Namun saat Rena yang mengatakannya justru membuatnya tertawa. “Tadi ketemu sama Peta. Terus dikasih tau kalau Dora udah pindah dari rumahnya. Jadi yang kasih tau alamatnya Peta, bukan Dora.”
“Kamu nyindir aku ya?” selidik Rena. Gadis itu pura-pura cemberut.
Tawa Dimas lepas begitu saja. Rena sangat lucu saat bibirnya mengkerucut. Sungguh menggemaskan seperti bayi.
“Tuh kan malah ketawa.” Rena melipat tangannya dan menghadap samping.
Susah payah Dimas menghentikan tawanya, sampai perutnya terasa keram. Jika saja Rena tidak ngambek, mungkin Dimas akan menjaili lagi dan lagi. “Oke, oke, gue dapat alamat lo dari satpam rumah lama. Gak papa kan gue ke sini?”
Rena masih menghadap samping, tidak melihat Dimas. “Kalau kamu jail, nggak boleh.”
Dimas mengangkat kedua tangannya ke atas tanda menyerah. Walaupun Rena tidak bisa melihatnya, entah kenapa Dimas tetap melakukan hal itu. “Kalau hari lain nggak janji ya.”
“Dimas!” Rena memukul-mukulkan tongkatnya ke badan Dimas namun selalu meleset. Dimas begitu lihai menghindar.
Kini mereka berdua saling pukul dan menghindar. Rena geram karena tidak berhasil memukul Dimas. Hingga ia memutuskan untuk bangun dari kursi dan hampir terjatuh karena menabrak meja. Namun Dimas sigap menahan Rena dengan menyelipkan dua tangannya di pinggang gadis itu. Rena terpekik kaget dan memejamkan matanya.
Jantung Rena seakan melorot dari tempatnya. Jarak mereka sangat dekat, hanya terbatas satu jengkal. Rena bisa merasakannya dari hembusan napas Dimas. Dari jarak sedekat ini Dimas bisa melihat dengan jelas wajah Rena. Pipi gadis itu memang merona alami tanpa alat make up. Bibirnya yang tipis berwarna merah alami.
“Non Re... Astaga!” Suara melengking Mbak Lastri menyadarkan Rena dan Dimas. Mereka segera mengembalikan posisi masing-masing.
Rena masih tidak percaya dengan yang baru saja terjadi. Waktu seakan diputar lambat dan Rena hanya terpaku tanpa bisa mendorong atau mengelak dari Dimas. “Tadi aku mau jatuh ditolong Dimas, Mbak.”
“Ah, iya itu benar,” tambah Dimas.
Sepertinya Mbak Lastri juga syok dengan pemandangan yang baru saja dilihatnya. Dia hanya bisa mengangguk dan berpamitan pergi setelah mengatakan makan siang sudah siap di meja makan.
“Em... kamu mau makan juga? Ayo masuk.” Rena segera melangkah masuk rumah. Dimas masih diam ditempatnya sambil menahan senyum. Sungguh, momen tadi sangat indah untuk Dimas.
*****
“Tadi pagi aku udah sekolah lagi,” ucap Rena bersemangat. Dia tidak sadar jika ada nasi yang menempel di pipinya. Hal itu membuat Dimas tersenyum geli.
Tangan Dimas terulur mengambil nasi di pipi Rena. “Ada nasi nempel.”
“Ah... iya makasih Dimas.”
Entah kenapa setiap kali Dimas melakukan hal-hal kecil seperti tadi membuat Rena gugup. Walaupun Dimas bukan cowok pertama yang bersikap seperti ini dengannya, perasaan gugup itu tetap saja ada.
“Jadi gimana kesan pertama di sana?” tanya Dimas lagi sambil melanjutkan makannya.
“Baik-baik orangnya. Aku yakin bakal betah.” Begitu mudah Rena menceritakan kejadian yang ia alami tadi pagi bersama Dimas. Dia merasa Dimas bisa dipercaya jadi Rena tidak takut untuk menceritakannya.
“Besok lo berangkat sendiri?”
Rena tampak berpikir, kemudian ia menggeleng. “Aku udah janjian sama temen.”
“Temen?” ulang Dimas.
“Iya temen baru aku. Namanya Ruli.”
Mata Dimas memicing ketika nama itu disebutkan. “Cewek apa cowok?” Suaranya berubah dingin.
“Cowok, kenapa emangnya?”
Rahang Dimas mengetat, ia tidak suka kalau Rena dijemput laki-laki lain. Untuk saat ini alasan Dimas hanya karena ia tidak mau Rena berada dalam bahaya.
“Besok gue anter ya.”
Rena tersedak makanannya hingga ia batuk-batuk. Dimas membantunya minum dan menepuk pelan pundaknya.
“Kan aku udah janjian sama Ruli, Dim,” tolak Rena halus.
“Ruli teman lo kan? Gue juga teman lo kan? Jadi sama aja gue atau Ruli yang anter nggak ada bedanya,” keukeuh Dimas.
“Emang kamu temanku?” Rena mengangkat alisnya. “Sejak kapan?” Sepertinya menjaili Dimas tidak ada salahnya.
Terdengar helaan napas keluar dari mulut Dimas. “Gue kan udah nolongin lo. Jadi kita temenan.”
Bibir Rena menkerucut lucu. “Kok kamu sepihak gitu, belum tentu aku mau.”
“Kita teman!”
Rena menggeleng. “Teman tidak akan memaksa.”
Sudah geram dengan sikap Rena, akhirnya Dimas menarik tangan kanan Rena dan menjabatnya. “See, resmi kita teman sekarang.”
Sedetik kemudian Rena tertawa cukup lepas. Dahi Dimas mengkerut tidak mengerti. Baru setelah sadar ia sudah dijaili Rena, Dimas menjitak kepala gadis itu.
“Aduh, sakit Dim.” Rena mengusap kepalanya yang lumayan sakit. Ternyata Dimas tidak main-main memukulnya.
“Mana yang sakit?” Dimas panik dan mengusap-usap kepala Rena menggunakan kedua tangannya yang sudah bersih. “Bagian mana yang sakit?” tanyanya serius.
“Ini yang sakit.” Giliran Rena memukul pelan kening Dimas. Cowok itu kesal dan ia berpindah ke samping Rena.
“Sebagai hukumannya, besok gue anter sekolah.”
“Kamu kan sekolah.”
Dimas menggeleng penuh kemenangan. “Besok gue pindah ke Bandung.”
Glek.
Pindah ke Bandung? Itu artinya setiap hari memungkinkan Rena bertemu Dimas. Mengingat sifat jail cowok itu Rena jadi sedikit menyesal menjadikannya teman. Tapi di sisi lain ia juga bahagia, temannya bertambah satu lagi.
“Sekarang gue mau pulang. Besok dan seterusnya gue akan ke sini lagi. Sampai jumpa besok Rena.”
Rena tersenyum dan melambai. “Sampai jumpa Dimas.”
Tanpa suara, Dimas mengambil gambar Rena. Pertama kalinya ia memotret objek selain alam. Dan mungkin seterusnya objek favorit Dimas adalah Rena. Terutama senyumnya.
*****
Sudah lama Dimas tidak berkunjung kemari. Biasanya jika ia sedang marah atau tidak ada hal yang dilakukan, Dimas akan ke sini. Tempat di mana ia bisa merilekskan pikiran dan melampiaskan kekesalan. Arena tinju, tempat kesukaan Dimas. Dia memang tidak untuk beradu tinju di sini, hanya sekadar bersenang-senang. Biasanya Dimas melatih kekuatan ototnya dengan teman-temannya.
Perjalanan Bandung ke Jakarta ternyata cukup melelahkan otot-ototnya. Dimas perlu melakukan peregangan. Namun teman mainnya yang biasa tidak ada di sini. Baru saja ia duduk, ada yang menepuk pundaknya cukup keras.
“Siapa... Rendi?” tanya Dimas tidak percaya. Ia seperti bermimpi ketika melihat sahabatnya itu kini berdiri di depannya.
“Gue kira lo lupa.” Rendi terkekeh. Ia melakukan tos ala cowok dengan Dimas.
“Lo kapan ke Indo?” Dimas masih tidak menyangka, sahabatnya yang memutuskan tinggal di luar negeri setelah SMP kini kembali ke tanah air.
“Kemarin. Gue baru ke sini karena nyokap rewel ngelarang gue keluar.”
“Anak Mami.” Dimas tertawa keras. Dari dulu sampai sekarang Rendi tidak berubah. Ia selalu nurut dengan mamanya. Walaupun sebenarnya Rendi cukup nakal, dalam artian kenakalan remaja, tetapi tidak akan membantah perintah mamanya.
“Dasar lo! Ayo kita buktikan siapa anak Mami sebenarnya.” Rendi melemparkan sarung tangan tinju yang ditangkap Dimas.
“Tunggu-tunggu, lo kok bisa tau gue di sini?”
“Yang punya gedung ini sepupu gue kalau lo lupa.”
Dimas menggaruk kepalanya, benar juga Rendi dengan mudah bisa masuk ke sini. Padahal biasanya mereka yang ingin ke tempat ini harus dari jauh-jauh hari memesan. Itupun tidak semua orang diterima untuk masuk.
“Gue nggak sabar pingin nonjok lo saking kangennya.”
“Najis.” Dimas bergidik karena omongan Rendi.
Mereka masuk ke dalam ring. Masing-masing mengambil ancang-ancang. Sebagai permulaan, Dimas membiarkan Rendi menyerang terlebih dahulu. Namun dengan mudah Dimas menghindar. Saat Dimas lengah, Rendi meninju pipi Dimas hingga cowok itu mundur beberapa langkah.
“Lo meningkat pesat Ren.” Sekarang barulah Dimas menyerang. Ia cukup ahli dalam tinju, tetapi Dimas selalu menolak saat ada tawaran untuk bermain. Rendi juga suka dengan tinju dan cowok itu juga ahli tetapi dulu di bawah Dimas.
“Karena sekarang gue bukan anak Mami yang suka nangis.”
Mereka terus mengadu kemampuan masing-masing. Sampai tidak terasa sudah malam. Hampir satu jam mereka di atas ring. Pukulan itu sudah biasa, walaupun wajah mereka harus lebam sedikit tetapi tidak masalah. Hingga keduanya benar-benar lelah dan memutuskan berhenti.
Mereka merebahkan diri di atas ring. Dengan napas yang saling memburu. Kini Rendi merasa lega. Tadi ia ke sini karena memang ada sesuatu yang harus ia lampiaskan. Rendi ingin menemui seseorang tapi ia tidak tahu di mana orang itu sekarang. Dulu memang salahnya karena ia pergi tanpa pamitan. Rendi menyesal, tapi semua sudah terlambat.
“Sebenarnya lo ada masalah apa sampai ke sini?” tanya Dimas di sela-sela gerakannya untuk duduk.
“Gue kehilangan seseorang.”
Dimas menghentikan gerakannya dan melirik Rendi yang masih terbaring. Kemudian ia meninju pelan perut cowok itu. “Siapa? Sahabat masa kecil lo itu?”
Rendi mengangguk. Ia mengusap wajahnya kasar. “Sekarang gue nggak tau dia di mana.”
“Hebat banget sahabat lo. Rendi seorang yang anti galau sekarang bisa galau juga.”
“Kampret.” Rendi menendang kaki Dimas tapi tidak berhasil karena cowok itu sudah berlari keluar ring.
“Gue cabut!” teriakan nyaring Dimas memenuhi ruang tinju itu.
Kini hanya ada Rendi di sana. Menatap langit ruangan yang temaram. Rendi menyesal, ia tidak bisa jujur waktu itu karena ketakutan yang menghantuinya. Mungkin jika Rendi jujur, sahabatnya itu akan mengerti. Tetapi karena kebohongannya, kini ia benar-benar kehilangan. Kepulangannya ke Indonesia semata-mata ingin bertemu dengan sahabatnya. Rendi akan menetap di Bandung karena di sanalah keluarga besarnya tinggal. Ia berniat berkunjung sebentar ke rumah sahabatnya sebelum ke Bandung. Namun rumah sahabatnya di Jakarta kini sudah kosong. Rumah itu dijual karena ada banner yang terpasang di pagar rumah. Sekarang Rendi hanya bisa berharap semoga takdir bisa mempertemukan mereka kembali.
Rendi menarik dompetnya dari saku dan mengeluarkan foto dirinya dengan seorang gadis kecil. Hanya foto itu yang tersisa. Setiap hari Rendi selalu berkunjung ke rumah gadis itu. Mereka bermain bersama seperti anak kecil pada umumnya. Hingga perpisahan itu tiba. Saat ulang tahun gadis itu, Rendi harus pergi ke luar negeri. Di luar negeri ia bertemu dengan Dimas yang juga kebetulan orang Indonesia sama sepertinya. Mereka akhirnya bersahabat sejak saat itu. Namun lagi-lagi Rendi ditinggalkan sahabatanya karena Dimas pindah ke Indonesia dan memutuskan tinggal di Jakarta. Maka dari itu, ia bisa kenal dan sudah menganggap Dimas sebagai saudaranya sendiri.
Ponsel yang berdering menyadarkan Rendi. Ia melihat nama yang tertera. Senyum langsung terbit di wajahnya. Tanpa menungu lama Rendi mengangkatnya.
“Bagaimana? Apa kalian sudah menemukan dia?”
[Sudah bos. Alamatnya akan kami kirim ke nomor Anda.]
“Kerja kalian cukup bagus. Pastikan alamat yang kalian kirim benar, karena saya tidak menerima kesalahan apapun.”
[Siap Bos.]
Rendi segera menutup panggilan. Ia meloncat karena senang. “Dim, sahabat gue ketemu!” teriaknya kencang memenuhi ruangan itu. Ia langsung menuju mobilnya dan mengendarai secepat mungkin agar segera sampai di rumah. Rendi sudah tidak sabar menunggu hari esok. Hari di mana ia akan bertemu sahabat lamanya. Dia akan mengungkapkan semuanya, bercerita sejujurnya agar gadis itu mau mengerti kondisinya.