Penderitaan Dimulai

1746 Words
Rena berbalik arah menembus kerumunan siswa yang ingin ke kelasnya masing-masing. Napasnya memburu dan tangannya berkeringat dingin. Semenjak pesan singkat yang dikirimkan oleh asisten rumah tangga di rumahnya, ia tidak bisa sabar untuk sampai di rumah. Non, ibu mengunci kamarnya. Tadi ada suara benda jatuh. Bibi takut ibu kenapa-napa, Non. Kalut, cemas, bingung dan takut. Rena bena-benar menyesal karena meninggalkan mamanya sendiri. Sudah seminggu sejak kejadian di mana papanya mentalak mamanya, Mila mengurung diri di kamar. Bahkan mamanya yang biasanya semangat membuat sarapan untuk Rena, tidak lagi melakukannya. Setiap Rena bertanya hanya dijawab dengan gelengan lalu mamanya terisak. Seminggu berlalu sudah dengan mamanya yang terlihat seperti orang depresi. Rena memacu sepeda motornya lebih cepat. Dia tidak ingin hal yang tidak diinginkan terjadi. Satu-satunya yang menjadi tujuannya adalah mamanya. Jika ia kehilangan mamanya, percuma Rena hidup. ***** Setelah memarkirkan motornya, Rena berlari ke rumah tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Di dalam, tepat di depan kamar mamanya, ada bibi dan pak satpam dengan raut wajah khawatir. “Mama kenapa?” Napas Rena tersenggal-senggal. Ia menoleh pada pintu yang masih tertutup rapat. “Bi, kenapa nggak dibuka?” Tanpa menunggu jawaban, Rena mencari kunci di bawah keset yang ada di depan kamar, tetapi nihil. “Pak, bantu aku ya. Bapak dobrak pintunya, nanti aku yang tanggung jawab kalau dimarahin Mama.” Rena dan bibi mundur membiarkan Pak Ujang, satpam rumahnya, turun tangan. Bibi menggenggam tangan Rena, bermaksud minta maaf. Bibi tidak seperti orang kebanyakan, ia tidak bisa berbicara. Maka dari itu, ia hanya bisa mengungkapkan apa yang ingin disampaikannya melalui gerakan. Rena mengangguk, ia tidak menyalahkan bibi sepenuhnya. Pintu berhasil terbuka setelah tendangan ketiga. Rena memanfaatkan kesempatan itu untuk masuk pertama kali. Yang ia lihat, mamanya tidak berada di tempat tidur. Rena semakin curiga kalau mamanya melakukan hal yang tidak-tidak saat melihat pintu kamar mandi terbuka dan ada satu buah kursi menyembul dari dalam. “Mama! Ya ampun Mama... Bi, turunin Mama. Pak, turunin Mama.” Rena menutup mulutnya tidak percaya. Tubuh mamanya hampir membiru karena udara tidak bisa turun ke paru-parunya dan aliran darah berhenti. Mamanya mencoba bunuh diri dengan gantung diri di dalam kamar mandi. Pak Ujang segera mengecek nadi majikannya, ia lega karena majikannya masih hidup namun kondisi nadinya sangat lemah. “Bawa ke mobil Pak. Bibi, ikut aku.” Rena mengelap air mata yang terus mendesak keluar. Tubuh mamanya terlihat sangat lemas. Entah apa yang membuat mamanya seperti ini, tapi Rena yakin, semua itu tidak jauh dari selingkuhan papanya. “Mama bertahan ya, Rena mohon. Hanya Mama, satu-satunya keluarga yang Rena punya.” Mobil mulai melaju, diikuti rintikan hujan yang perlahan turun membasahi bumi. Hari ini, hujan menjadi saksi kesedihan Rena yang kedua kalinya. Setelah sang malam yang penuh mendung waktu itu. ***** Keberuntungan masih berpihak pada Rena. Untunglah ia segera datang dan membawa mamanya ke rumah sakit. Karena kata dokter, jika ia terlambat sedikit saja, maka bisa dipastikan mamanya tidak selamat. Melihat mamanya terbaring lemah dengan selang oksigen, mengingatkan Rena dengan papanya. Dulu, papanya adalah sosok yang Rena banggakan. Papa orang yang menjadi panutan Rena. Sosok yang setia di samping mamanya. Namun setelah wanita itu datang ke rumah, dua tahun lalu dengan jabatan sebagai kolega papanya, semenjak itu sikap papanya berubah. Sering marah-marah, membentak, bahkan tak jarang memukul mamanya. “Mama, tetaplah bersama Rena agar papa dan wanita itu tau kalau kita masih bisa bahagia.” Kalimat itu, adalah harapan sekaligus keinginan kuat yang akan Rena jaga. Meskipun ia harus merelakan papanya bersama orang lain, padahal Rena sendiri sangat tidak ingin melakukannya. Tetapi melihat mamanya menderita, jauh lebih menyakitkan. Tiba-tiba Rena teringat sesuatu, ia harus membeli kertas lipat untuk mengerjakan tugas sekolah. Satu minggu lagi tugas merangkum materi kimia itu akan dikumpulkan, namun Rena sama sekali belum mencicilnya. Hari inipun Rena harus bolos. Jika mamanya tau, pasti beliau akan marah. Rena terpaksa meninggalkan mamanya, dan menitipkan pada bibi untuk giliran menjaga. Setidaknya berganti pakaian dan mengerjakan tugas sambil menemani mamanya lebih baik daripada terus-terusan meratapi yang telah terjadi. ***** Di depan rumahnya, berkumpul Lisa dan Juna dengan wajah khawatir mereka. Rena bingung, padahal sekarang masih jam sekolah, seharusnya mereka berada di sekolah, belajar, bukan berkumpul di depan rumahnya. “Rena.” Lisa langsung berhambur memeluk Rena. Sahabat cewek satu-satunya yang Rena punya. Di saat yang lain menjauh karena kabar perceraian orangtuanya, Lisa tetap memberinya semangat. Perceraian orangtua menjadi hal yang harus diwaspadai di sekolah Rena. Mereka memandang bahwa broken home akan membawa pengaruh buruk bagi anaknya. Anak yang menjadi korban itu akan membawa pengaruh juga untuk siswa lain. Dengan alasan itulah, setiap ada siswa yang diketahui orangtuanya bercerai, pasti mendapat cemoohan. Dan saat Rena mengalami itu, Lisa, teman sebangkunya sejak kelas 10, tidak sekalipun ikut-ikutan menjauhi Rena. “Kenapa kalian ke sini? Emang dikasih izin sama guru piket?” tanya Rena bingung. Juna membusungkan dadanya percaya diri. “Jangankan guru piket Ren, semua orang yang lihat gue, pasti terlena dengan ketampanan gue. Bu Isma langsung kasih izin kalau gue yang minta.” Lisa memutar bola matanya malas dan menjitak kepala Juna. “Bohong dia mah. Hari ini setelah bel masuk, ada rapat dewan guru. Kabarnya sih sampai pulang nanti. Makanya kita ke sini Ren. Gue khawatir karena lo nggak masuk sekolah.” Lisa menautkan alisnya ketika sadar Rena masih menggunakan seragam sekolah. “Loh... kok lo pakai seragam sekolah?” Rena menggelengkan kepalanya karena tingkah Lisa dan Juna. Dua sahabatnya itu lebih sering berdebat. Berdebat hanyalah alasan agar Juna bisa mencari perhatian Lisa. Itu semua hasil penyimpulan Rena sendiri ditambah curhatan Juna. “Tadi gue emang ke sekolah Lis, tapi ada pesan masuk dari Bibi kalau Mama ngunci diri di kamar. Gue panik dan pulang lagi. Ternyata Mama mencoba bunuh diri. Gue nggak mengira kalau Mama sefrustrasi itu. Gue... gue takut kehilangan Mama.” Lisa langsung memeluk Rena guna menenangkan. Juna yang ingin memeluk, mengurungkan diri karena pelototan Lisa. “Kita akan selalu dukung lo.” Hanya itu yang bisa Juna ucapkan. Ia lalu memberi kode kepada Lisa. “Oh iya Ren, ini kertas lipatnya Juna yang nggak kepake. Dia beli 10 pack. Mubazir banget kan?” “Gue itu tau kalau pasti kalian juga butuh. Makanya gue beli banyak Lis.” “Alibi lo Jun.” Lisa meraih bungkusan plastik yang ada di meja teras. “Jangan sedih lagi ya. Lo punya kita berdua. Jangan peduliin komentar orang lain yang nggak suka sama lo. Mereka begitu karena mereka iri nggak bisa jadi orang setegar lo. Buktiin kalau lo bisa hidup bahagia meskipun Papa lo memilih pergi.” Rena lega, ia punya sahabat seperti Lisa dan Juna. Mereka berdua berpamitan pulang, Rena mengantarkannya sampai gerbang depan. Ia kemudian masuk ke dalam untuk berganti pakaian agar bisa menemani mamanya secepat mungkin. ***** Seorang dokter dengan dua suster berjalan terburu-buru ke sebuah ruang rawat. Di mana di dalamnya, seorang wanita tergeletak lemas di atas tempat tidur dengan sebuah pisau pengupas  buah di lantai yang dipenuhi darah. Dokter mengecek kondisi pasiennya, ia menggeleng tanda tidak ada lagi harapan. Dokter memberi perintah kepada dua suster itu untuk melepas alat yang masih menempel pada wanita itu. Dan yang terakhir, dokter itu menutup tubuh pasien dengan selimut sampai ujung kepala. Tubuh wanita itu didorong keluar ruangan untuk dibawa ke kamar jenazah. Jantung Rena seakan berhenti saat melihat dokter keluar dari kamar rawat mamanya dan membawa brankar yang Rena curigai adalah mamanya. Tas jinjing yang ia bawa terjatuh begitu saja. Rena menghentikan dokter itu dan membuka selimut yang menutupi wajah mamanya. “Mama... Mama!” Air mata tak terelakkan lagi. Rena mendekap tubuh dingin mamanya. Sosok yang ia sayangi telah pergi meninggalkannya. Hal yang Rena takuti terjadi. Dokter menyentuh pundak Rena. Ia juga ikut merasakan kesedihan yang Rena alami. “Apakah kamu anak pasien yang bernama Mila?” Rena masih memeluk mamanya, berharap akan ada napas yang kembali muncul. Ia bahkan tidak sempat menjawab dokter tadi. Tiba-tiba bibi berlari dari arah kantin rumah sakit. Bibi begitu syok mengetahui Rena menangis memeluk majikannya. Bibi turut memeluk majikannya. “Maaf Bu, apakah Anda keluarganya?” Bibi menggeleng. Ia memakai bahasa isyarat kepada dokter bahwa ia adalah asisten rumah tangga majikannya. Dokter itu bingung harus berbicara dengan siapa untuk menyelesaikan biaya administrasi pasien. Bibi teringat sesuatu, ia mencatat nomor telepon di kertas yang ia bawa. 089671222*** Ini nomor Papanya. Dokter itu menerima kertas berisikan nomor telepon Papa Rena. “Mama... jangan buat Rena sendiri di sini. Mama bangun...” Bibi mendekap Rena. Gadis itu menumpahkan seluruh air matanya di pundak bibi yang ia anggap sebagai neneknya sendiri. “Mama ninggalin Rena. Bi... Rena sendirian. Mama pergi.” Rena masih meraung-raung di dekapan bibi. Hilang sudah harapan Rena yang selama ini menopang gadis itu. Kepingan memori bersama mamanya memenuhi pikiran Rena. Gadis itu terlalu lelah menangis hingga tak sadarkan diri di pelukan bibi. ***** Mata gadis itu mengerjap-ngerjap karena terkena cahaya matahari yang menerobos melalui jendela sebuah rumah yang asing. Begitu kesadarannya terkumpul, Rena langsung terduduk dan kebingungan mencari  mamanya. Ia turun dari kasur dan membuka pintu kamar dengan kasar. Rena tidak tau ia sekarang di mana, tetapi dengan mengandalkan insting, Rena berjalan menuruni tangga. Matanya menelusuri ruangan ini barangkali ada seseorang yang bisa ia tanyai. Sungguh, Rena ingin bertemu mamanya sekarang juga. Rena mengitari seisi ruangan itu, namun tidak ada satupun orang selain dirinya sendiri. Sampai akhirnya Rena menyadari sesuatu, ia berada di rumah papanya dengan selingkuhannya saat melihat sebuah foto di dinding. Rena mendekati figura besar yang di dalamnya berisi foto papanya, seorang wanita, dan laki-laki seumurannya tersenyum bahagia. Tunggu, itu berarti papanya mempunyai anak dengan selingkuhannya? Tangan Rena terkepal kuat di samping tubuhnya. Ia ingin menghancurkan foto itu tetapi ia tidak terlalu kuat. Jika anak itu sebesar dirinya, maka papanya mungkin sudah berselingkuh sejak lama. Hanya saja Rena dan mamanya baru menyadari dua tahun belakangan. Pintu rumah yang terbuka membuat Rena menoleh waspada. Di sana berdiri papanya dan wanita itu. Rena langsung maju hendak memberikan tamparan kepada wanita pelakor itu tetapi ditahan papanya. “Jaga sikap kamu Rena!” bentak papanya. Rena menggelengkan kepalanya tidak percaya. Papanya lebih memilih wanita itu daripada anak kandungnya sendiri. “Biarin Rena memberikan pelajaran pada wanita perusak rumah tangga orang ini Pa! Dia tidak pantas hidup! Seharusnya dia yang mati!” Satu tamparan mendarat di pipi Rena. Gadis itu memegangi pipinya yang terasa perih. “Karena Papa dan wanita ini, Mama meninggal!” Hendra mengusap wajahnya kasar, masalah semakin rumit. “Mama kamu sudah dimakamkan.” Rena membungkam mulutnya sendiri dan mundur selangkah. Ia menggelengkan kepalanya menyangkal apa yang barusan ia dengar. “Papa benar-benar jahat!” Rena berlari keluar rumah walau sempat di tahan papanya. Yang ada dipikiran Rena saat ini hanyalah ingin bertemu mamanya. Ia tidak sudi berada satu rumah dengan wanita itu. Namun ternyata Rena terlambat karena mamanya sudah dimakamkan terlebih dahulu, tanpa menunggu Rena sadar. Teriakan dari papanya tidak menghentikan gadis itu untuk membuka gerbang rumah. Hingga tabrakan itu tak terelakkan saat Rena menyeberangi jalan untuk mencari kendaraan pulang ke rumahnya. Tubuh Rena terjembam dan kepalanya membentur aspal dengan keras. Penabrak itu langsung melarikan diri. Tidak lama kemudian, Hendra sudah berlutut sambil memangku anaknya. “Mama, Rena mau bersama Mama.” Kesadaran Rena perlahan menghilang dan sekarang ia benar-benar menutup matanya. Hendra memeluk Rena dan menangisi putrinya. Sedangkan di sana, ada seseorang yang tersenyum bahagia karena rencananya berhasil        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD