Trauma dan Patah Hati

1261 Words
"Bia," Fabia pun langsung terlihat menoleh ke arah sumber suara. Ternyata ada sang bunda yang datang menghampiri dirinya, sambil membawa satu toples berisi kue kering nastar. Camilan yang selalu menjadi favorit di keluarga mereka. "Ya, Bun?" jawab Fabia sambil memperhatikan gerak gerik ibunya tersebut. Namun sama sekali tidak beringsut dari tempat duduknya. "Sedang sibuk?" tanya bundanya itu, yang akhirnya ikut mendudukkan diri juga di dekat putrinya tersebut. "Enggak, Bun. Cuma baca buku cerita anak-anak," jawab Fabia sambil memperlihatkan buku seri bergambar karakter itu ke arah ibunya. "Buat persiapan besok." Sang ibu pun tampak terlihat menganggukkan kepala, pertanda mengerti. "Kita sambil ngobrol, boleh?" tanya wanita yang sudah berumur hampir setengah abad itu, dengan nada hati-hati. Dan wanita yang juga ibu kandung Fabia itu, adalah bernama Fatima. Fabia pun tampak terlihat menerbitkan senyum tipisnya, "Ya boleh lah, Bun. Emang mau ngobrolin hal apa? Kok Bunda sampai harus minta izin dulu, cuma mau ngobrol aja?" tanyanya kemudian. "Apa ... mungkin Ayah ada bertingkah lagi di usia tuanya ini?" sambung Fabia dengan gurat curiga. Dengan cepat Fatima pun langsung menggeleng tegas. "Bukan. Ayah kalian mana ada keberanian, kalau sampai ingin bertingkah curang lagi. Apalagi ... dia juga sekarang bukan pria muda lagi. Siapa kiranya yang mau mengurusnya nanti, kalau Bunda sampai lepas tangan gara-gara kembali main perempuan?" sanggah Fatima, dengan menunjukkan senyum segarisnya. "Kirain, 'kan?" sahut Fabia singkat. "Terus ... Bunda mau ngomong apa ke Bia?" tanyanya kemudian. Fatima pun terlihat meletakkan toples camilan miliknya itu ke meja yang ada di hadapan mereka. Dan setelahnya, Fatima pun tampak menarik napas dan langsung mengembuskannya dengan pelan. Dan setelahnya itu, tampak mengalihkan tatapan matanya tepat ke arah wajah putrinya tersebut. "Kemarin ... sekitar tiga hari yang lalu, Bunda ada ketemu sama teman lama, kebetulan waktu itu main ke rumah Oma." Kening Fabia tampak sedikit berkerut, pertanda ia sedang mengajak otaknya berpikir. "Ouhh ... Tante Mita, kah?" tebak Fabia, sambil meletakkan buku yang sebelumnya ia baca itu, di atas meja. Memilih mendengar dan menyimak perkataan dari ibunya tersebut. "Iya." "Terus?" tanya Fabia lagi. "Kami 'kan ada ngobrol-ngobrol gitu, waktu itu. Cerita macam-macam tentang anak, pekerjaan, dan sebagainya. Nah, sewaktu ada bahas kabar Bia, Tante Mita ada tanya---" "Tanya apa, Bun?" tanya Fabia memotong kalimat Fatima lagi, dengan raut wajah yang terlihat masih biasa saja. Namun, melalui suaranya itu sudah mulai terdengar ada nada curiganya. Fatima pun kembali terlihat terdiam sejenak, tetapi masih sambil menatap ke wajah sang putri. Ada gelagat keraguan antara ingin meneruskan pembicaraan tersebut, atau tidak. Ketakutan jika sampai menyinggung hati putrinya, membuat Fatima harus berpikir seksama dan bijak saat ingin mengutarakan maksudnya itu. "Kira-kira, Fabia mau nggak kalau dikenalkan dengan keponakan dia? Anaknya itu kerja di kantor tempat Bunda kerja dulu juga," terang Fabia dengan nada pelan. "Berkenalan saja dulu, Sayang." Fatima seperti ingin menahan napas, hanya untuk mengeluarkan kalimat tersebut. Karena biasanya pembahasan tentang pria mana pun, sering membuat Fabia enggan untuk mendengarkannya, apalagi sampai mau membahasnya terlalu dalam. Karena laki-laki itu bagi Fabia, selalu bisa otomatis membuatnya langsung alergi. Dikarenakan Fabia mengalami trauma tentang ketakutan untuk berkomitmen dengan seorang pria. Itu karena disebabkan oleh kejadian buruk di masa lalunya, ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah putih biru. Yaitu tentang perselingkuhan ayah kandungnya dengan wanita lain. Sang ayah pernah melakukan pernikahan keduanya secara diam-diam. Hingga membuat keluarga mereka sempat tergoncang parah, dan hampir juga akan terberai. Sang ibu yang merupakan wanita dan istri yang nyaris sempurna pun, dengan masih mudahnya dikhianati oleh suaminya sendiri. Yang notabene adalah ayah kandung Fabia juga. Dan karena hal buruk itulah, Fabia tidak mempunyai keinginan sedikit pun untuk mempercayai semua laki-laki. Tidak ada baginya keinginan untuk membangun komitmen pernikahan dengan pria mana pun. Dalam pikiran dan logika Fabia selalu terdengungkan, jika ayahnya saja bisa berkhianat di belakang keluarganya, apalagi laki-laki asing yang baru saja ia kenal nanti. "Keponakan?" tanya Fabia sambil mengernyitkan keningnya. "Bukannya Tante Mita anak tunggal, ya? Keponakan dari mana?" sambungnya kemudian dengan cerdas. Dan Fatima pun langsung menganggukkan kepalanya juga. "Sebenarnya itu keponakan dari pihak suami Tante Mita, Bi. Masih bujang, belum pernah menikah juga. Umurnya pun tidak terlalu jauh dari Bia," jelasnya kemudian. Semua kalimat itu pun, Fatima ucapkan dengan nada hati-hati. Fabia pun terlihat menghela napas berat. Ada tatapan nanar sepintas terlihat di raut wajahnya. "Enggak usah, Bun. Bia nggak ingin melakukan hal-hal yang sia-sia," tolak Fabia kemudian dengan nada jelas. Bahkan raut wajahnya pun terlihat sedikit asing dan tidak nyaman. "Bunda bukannya tahu, Bia itu seperti apa." "Coba untuk berkenalan saja dulu, Sayang. Gimana ...?" bujuk Fatima, sambil meraih salah satu telapak tangan putrinya itu. Seolah-olah ingin memberikan rasa percaya diri dan keyakinan yang mungkin saja benar-benar telah hilang dari diri putrinya tersebut. "Bunda udah baca profilnya anak itu. Tante Mita pun juga sudah banyak cerita tentang keponakannya itu. Dari situ ... Bunda bisa simpulkan, kalau dia lelaki baik." Sekali lagi Fabia terlihat mengembuskan napas beratnya dengan sedikit kasar. Fabia merasa sudah lebih nyaman, meskipun hidup tanpa pendamping. "Ayah dulu ... sebelum ketahuan selingkuh, juga baik di mata kita, Bun." Melihat respon dan gelagat lain yang diberikan oleh sang putri, tentu saja membuat hati Fatima merasa terenyuh. Luka hati yang sudah tertoreh di dalam hati Fabia, memang tidak bisa dianggap remeh. Nyatanya hingga usianya yang tidak muda lagi, Fabia seperti alergi jika disuruh atau dipaksa berkenalan dengan laki-laki baru. "Bia," sapa Fatima dengan suara lebih pelan. "Kalau Bunda boleh kasih masukan. Sebaiknya ... kita pergi ke psikiater ya, Nak ...?" bujuknya sekali lagi. Fabia kembali membuang napas dan mukanya serempak ke arah samping. Pembahasan yang sudah selama hampir satu tahun itu tidak keluar, akhirnya hari itu kembali lagi dipertanyakan. Jika boleh jujur, Fabia sudah lelah dengan pernyataan, pertanyaan, dan pembahasan tentang jodoh, laki-laki dan juga psikiater. Hidupnya seolah-olah terkekang oleh ketiga kata itu. "Percuma, Bun. Bia juga sudah merasa lebih tenang hidup begini saja, meski tanpa pasangan. Bia sudah cukup bersama Bunda dan Ayah saja. Bolehkah, kalau mulai sekarang Bia enggak dipaksa lagi untuk kenal dengan pria asing manapun? Terus terang Bun, Bia sudah capek, lelah." Fatima tampak terlihat mengelus lembut pipi kiri putrinya tersebut. Mencoba selalu untuk menguatkan hati Fabia dan juga hatinya sendiri. Sedih itu pasti. Karena melihat dan menyaksikan sendiri, kehidupan putrinya yang belum sempurna tanpa adanya pendamping. Fabia memilih hidup dalam kesendirian. "Tapi, Sayang. Tidak semua laki-laki itu seperti Ayah kalian," pungkas Fatima dengan suara yang lirih. Ada kesenduan dan kesedihan yang terdengar dari nada suaranya itu. Ingin menyalahkan keadaan masa lalu, jelas saja itu tidak mungkin. "Tidak semua, tapi pasti selalu ada 'kan, Bun? Dan kita gak akan tahu siapa dan bagaimana orangnya," tukas Fabia dengan hembusan berat. "Setiap pria jangan disamaratakan ya, Sayang. Hidup sendiri itu memang tidak ada salahnya. Tapi seterusnya dan selanjutnya, kita tidak akan mungkin selalu muda terus. Ayah dan Bunda pun tidak mungkin selamanya bisa menemani Bia, karena umur kami juga ada batasnya. Kakak kamu, Akha, bahkan dia pun sudah bisa berbahagia dengan pasangannya sendiri. Dan kamu akan sendirian, nantinya, Bi." Fabia tampak menundukkan wajahnya. Berusaha untuk menyelami dan memahami setiap kata-kata yang terucap dari bibir ibu kandungnya tersebut. Meskipun perasaannya tetap sama, hampa dengan yang namanya laki-laki. Mungkin saja, memang benar yang telah dikatakan oleh sang Bunda. Jika dirinya itu sudah saatnya memerlukan seorang psikiater lagi, untuk mengobati penyakit trauma mentalnya itu. Penyakit yang tidak pernah terlihat oleh mata, tetapi cukup merusak jiwa dan hatinya dengan perlahan-lahan. Sekali lagi Fabia terlihat menghela napas berat. "Bia, tahu itu, Bun. Bia juga sadar, setiap napas hidup kita ini memang akan selalu ada resikonya. Tapi ... Bia ini tidak sekuat Bunda. Bia masih sulit mempercayai apa itu yang namanya cinta ... dan juga pasangan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD