Eps 1

1158 Words
“Bunda! Tali sepatunya kok Cuma satu?” “Kaos kakiku hilang sebelah!” Udah kebiasaan, hampir setiap pagi rumah Yana mirip banget sama hutan. Dimana si tarzan teriak manggil balakurawanya. Yana yang sibuk nyiapin sarapan pun tak ada beda. “Masih dijemuran, Lan!” “Tali sepatunya kemarin Bunda pinjem bentar. Buat jemur bh!” Dan tambah satu lagi. “Alan! Kenapa pakai cd gue sih! Balikin!” Rayna, kakak Alan menarik cd dari tangan Alan. Alan nggak mau lepasin dan terjadilah aksi tarik tambang cd. “Aaaa!” Rayna memilih kabur karna handuk yang melilit pinggang kebawah itu copot. Terlihatlah si ular kolor meringkuk tak hidup. “Behahaha ....” Menjanda, memang bukan hal yang mudah. Namun Yana memilih hidup sendiri membesarkan kedua anaknya. Sebenarnya ingin banget tinggal di Jogja, agar bisa dengan mudah ngecek tambak udang peninggalan sang suami tercinta. Apalah daya, kedua anaknya tak ingin meninggalkan kota Jakarta. “Bunda, sayang.” Alan merangkul Yana, mencium pipi Bundanya, lalu nyomot tempe goreng yang tersaji disamping kompor. “Hum, delicius.” “Ambil piring sana, sarapan.” Perintah Yana yang masih sibuk membalik tempe didalam wajan. “Siyap, Bunda.” Sambil bersenandung ria, Alan ngambil piring. Lalu menuang nasi dan sayuran. Kembali nyomot tempe dan membawanya kemeja makan. “Pagi, Bunda.” Rayna baru keluar kamar, nyamperin Yana yang masih ada didepan kompor. Melakukan hal yang sama seperti Alan. Mencium pipi Yana. “Pagi, cantik.” Balas Yana, mencoel pipi Rayna dengan gemas. Tanpa disuruh, Rayna ngambil piring dan segera menyusul Alan untuk sarapan. “Nebeng, ya.” Pintanya pada sang adik. Alan menggigit tempe. “Ogah!” jawabnya tanpa natap Rayna. Rayna cemberut. “Awas aja kalo sampai nyuruh ngerjain soal lag—“ Cepat Alan membungkam mulut Rayna. “Jan keras-keras, kambing! Nanti bunda dengar.” ** Ninja warna hijau itu berhenti tepat dilampu merah. Matanya tertuju pada bus disampingnya. Seorang wanita cantik dengan jilbab warna creame membungkus kepala. Wanita itu duduk disamping kaca, menunduk membaca novel ditangan. Menit kemudian, kendaraan kembali melaju karna lampu sudah berganti warna hijau. Alan melaju pelan membuntuti bus, mengambil jalan yang berbeda arah menuju sekolah. Tersenyum saat melihat wanita berjilbab creame itu turun dari bus. “Tante!” panggilnya saat si wanita berbalik, melangkah masuk kegerbang sebuah pabrik. Si wanita itu menoleh, matanya sedikit melotot karna terkejut. Mendekati Alan sambil celikukan kesekitar. “Kamu ngapain ada disini?” Alan ngambil ponsel dalam saku jaket, mengulurkan ke Bella. “Bagi nomor wa’nya dong, Tan.” Bella mendekik. “Buat apa?” “Besok kalo ada razia lagi, gue kan bisa minta bantuan.” Nyengenges memperlihatkan rentetan gigi putihnya. “Kamu pikir aku buka jasa bonceng?” agak nge gas karna tak terima. Kembali Alan nyengenges. “Gue nggak ngomong gitu kok. Tapi boleh kan, kenal tante lebih.” “Iissh!” mendesis malas. “Sekolah sana yang bener. Aku bisa telat masuk karna ngeladenin kamu.” Segera Bella membalikkan badan, berjalan masuk menuju gerbang. “Tante, Bella!” panggil Alan lagi. Bella menoleh, gimana bocah itu bisa tau namaku? Isyarat dari tatapan matanya. Alan tersenyum imut. “Tante cantik banget.” Menyalakan mesin motor dan berputar meninggalkan area pabrik. Bella memegangi kedua pipi yang mulai bersemu merah. “Astagfirlooh ....” ** Seminggu berlalu. Bella yang masih magang di pabrik selalu pulang belakangan, karna banyak yang harus ia pelajari lebih dulu. Menyampirkan tas kebahu setelah meja kerjanya rapi. Menatap layar ponsel yang sepi, tak ada satupun orang yang mengiriminya pesan. Mulutnya mengerucut, kesedihan terukir disana. Setelah hubungannya dan Bian berakhir, kesepian selalu menjadi teman setia. Ditambah Asti, sahabatnya itu mendapatkan pekerjaan shif malam disebuah caffe. Hari-harinya sungguh terasa sangat sepi. Menatap arloji ditangan kiri, pelan melangkah keluar dari gerbang. Berjalan kesisi kanan pabrik, lalu duduk dihalte yang sialnya hanya ada dia sendirian. Diam menunduk, menatap kedua sepatunya yang berayun. Kembali menatap arloji ditangan. Sudah 30 menit menunggu bus lewat, tapi belum juga ada bus yang lewat. Mulai merasa bosan, ngambil ponsel didalam tas. Memesan kendaraan melalui online. “Tante,” Suara yang masih sangat Bella hafal. Bella menatap kearah moge hijau lengkap dengan bocah tengil yang duduk diatasnya. Bocah itu melepas helm, membenarkan topinya yang ikutan copot. Lalu tersenyum manis menatap Bella. “Ayok, gue anterin pulang.” Tawarnya. Bella memutar mata jengah. “Nggak usah, dek. Aku udah pesan ojol kok.” “Atas nama ‘Sari’ bukan?” tanyanya. Bella melotot, terkejut. Gimana bocah ini bisa tau? “Kok tau?” “Itu gue. Yuk naik.” Kembali Bella menatap layar ponsel, mengecek orderannya tadi. Memang tertulis akun Sari dan foto seorang cewek. Makanya dia mau memesan ojek onlinenya. “Kenapa kamu pakai nama cewek? Ini fotonya juga cewek lho.” “suka nyadar diri kalo tamvan. Banyak yang ngantri buat dianterin. Kalo pakai foto begitu kan aman.” Menyerahkan helm berwarna hijau. “Ayok, naik.” Kembali menatap Alan dengan kesal. Bella menatap boncengan belakang yang lumayan tinggi, sedangkan dia memakai rok. Pasti akan sangat susah untuk duduk tak mepet. “Gimana aku naiknya?” Alan menepuk bahunya. “Pegangan sini, Tan. Baru deh naik.” “Batal aja deh pesen ojolnya. Aku kasih duit.” Mengembalikan helm yang tadi udah sempat nempel dikepalanya. “Eh, jan gitu dong, Tan. Gue bawa motornya nggak ngebut kok. Aman pokoknya.” Rayunya. Bella terdiam, kembali menatap jam ditangan yang udah menunjuk diangka lima. “Janji, ya. Jan ngebut.” Alan tersenyum imut, mengacungkan dua jari disamping kepala. “Janji, Tan.” Bella tersenyum melihat wajah Alan yang sangat lucu. Kembali memakai helm dan memegang bahu Alan, lalu naik ke jok belakang. Alan segera menghidupkan mesin. Sedikit menoleh kebelakang. “Tante pegangan, ya. Nanti jatoh lho.” “Iya, bawel.” Bella berpegangan dikedua bahu Alan. ** Bersenandung selama perjalanan, terlihat penuh kebahagiaan diwajahnya. Melirik Bella melalui kaca spion berulang kali. Hingga yang dilirik merasa sangat risih. Alan membawa motor cukup pelan, takut juga jika Bella nanti tak akan nyaman berada diboncengannya. Perjalanan yang sebenarnya hanya lima menit itu menjadi lima belas menit. “Udah, berhenti.” Menepuk punggung Alan saat sudah sampai didepan gang. Alan nurut, menghentikan motornya. Bella memegang kedua bahu Alan dan turun dari boncengan. Melepas helm dan menyerahkannya ke Alan. Tak hentinya bocah itu mengulas senyum manis. “Nih,” Bella menyerahkan selembar uang berwarna hijau. “Nggak usah,” tolak Alan, masih dengan senyumannya. Bella mengerutkan kening. “Kenapa?” “Liat tante aja, udah seneng kok.” “Iissh!” Bella mencebik. “Aku nggak mau punya hutang.” Tetap mengulurkan uang itu. “Anggap aja balas budi gue.” Kembali kening Bella berkerut. Alan kembali menyalakan mesin motor. “Sampai ketemu besok, ya. Maaf nggak bisa mampir, ini mau hujan. Dadah, Tante.” Tersenyum manis, lalu melesat pergi dari hadapan Bella setelah melambaikan tangan. “Siapa yang ngajakin mampir coba? Dasar bocah tengil!” ngumpat tapi senyum menghiasi bibir. Bella menggelengkan kepala, memilih masuk ke gang menuju kost-kosantnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD