BAB 1 : Barter

1026 Words
Menikmati hidup yang paling Galen sukai adalah ketika kakinya berjalan di atas rerumputan lalu melangkah dengan ringan. Aroma segar dari kelopak-kelopak bunga yang ramai dihinggapi lebah. Diiringi dengan tawa anak-anak yang sedang sibuk bermain ayunan di taman bermain yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Setiap kali Galen terlihat di sana, tiba-tiba orang tua dari anak-anak kecil itu buru-buru menarik sang anak untuk pergi dari taman itu. Padahal Galen ingin melihat para anak-anak yang bermain sambil bercanda—menikmati hari libur bersama dengan orang tua mereka. Sayangnya, mereka tidak memahami bahwa Galen tidak akan berbuat macam-macam. Galen tidak pernah melakukan tindakan yang membuat mereka resah. Tetapi tetap saja, mereka semua takut padanya. Galen tersenyum tipis, berjalan ke arah salah satu ayunan yang masih mengayun pelan walaupun sudah ditinggalkan oleh anak-anak tadi. Cowok itu meletakkan tasnya di atas rerumputan dan mendudukkan dirinya di atas ayunan itu. Rambut panjangnya tergerai; agar merasakan hembusan angin. Matanya sejenak memejam, menikmati permainan anak-anak yang tidak pernah dia cicipi ketika masih kanak-kanak. Matahari pun perlahan menghilang, digantikan dengan langit gelap yang membuatnya redup dalam cahaya lampu yang tidak terlalu terang. Menikmati hidup sejenak tidak apa-apa, 'kan? Walaupun harus membuat banyak orang menjauh darinya, meninggalkan permainan yang belum selesai dimainkan. Namun itu bukan salahnya. Galen tidak mengusir mereka. Mereka lah yang pergi meninggalkannya tanpa kata. Sudah biasa diperlakukan seperti monster yang akan memakan siapa saja yang berurusan dengannya. Tapi itu bukan masalah, Galen merasa hidupnya lebih tenang ketika tidak ada yang berani padanya. Bahkan geng anak-anak bandel di sekolahnya pun tidak ada yang berani untuk mengusiknya. Guru-guru sangat membencinya, teman-temannya tidak nyaman berada di dekatnya. Cowok itu beranjak dari ayunan itu, mengambil tasnya, dan berjalan ke arah sebuah motor yang berada di dekat taman itu. Galen memakai helm-nya lalu menaiki motornya. Namun ketika dirinya hendak menstater motornya, tidak sengaja dia melihat seseorang yang mungkin dikenalnya. Seorang laki-laki dengan seragam guru di sekolahnya sedang duduk di pinggir jalan sambil menatap motor butut itu. Galen kembali meletakkan helm-nya di atas motonya dan berjalan ke arah laki-laki itu sendirian. "Motornya kenapa?" Tanya Galen berbasa-basi, dia sudah tahu apa masalahnya tapi tetap bertanya terlebih dulu. "Bocor ban-nya, Mas. Enggak ada tambal ban sekitar sini, capek saya dorong motor dari ujung sana." Ucap laki-laki itu yang belum menatap Galen. "Astaghfirullah..." Sambung laki-laki itu saat menatap murid yang dikenalnya sedang berdiri di depannya. Galen tersenyum yang tidak bisa dikategorikan tersenyum. Hanya sebuah lekukan di bibir dengan ekspresi wajah menyeramkan. Mungkin orang-orang akan takut dengan ekspresi seperti itu. "K-kamu," ucap laki-laki itu dengan terbata-bata. Galen mengangguk, "Bapak guru BK baru di sekolah saya, 'kan?" "I-iya..." Jawab laki-laki ber-name tag Ilyas diseragamnya dengan wajah yang tidak karuan. Antara takut, butuh, dan bingung. "Bapak mau saya bantu atau mau saya pergi?" Tanya Galen yang membuat kerutan di dahi Ilyas karena bingung. Ilyas menatap Galen, "tambal ban di daerah sini, ada?" "Enggak ada," jawab Galen dengan cepat. Ilyas menghela napas panjang dan menatap motornya. Sekarang bukan hanya tentang begal yang katanya sedang ramai diperbincangkan, namun juga adanya Galen yang membuatnya kepikiran. Mungkin dirinya tidak akan dirampok, dibacok, dihajar, atau kekerasan yang sering dilakukan begal. Tetapi bagaimana kalau dia sampai diperko~ nit-nit-nit. Seharusnya Ilyas tidak boleh berprasangka buruk kepada orang lain. Namun Galen berbeda. Jika Galen tidak berbeda, mungkin dia tidak akan mendapatkan tugas untuk mengawasi anak ini. "Kalau begitu, Bapak dorong lagi. Makasih ya!" Ucap Ilyas buru-buru untuk mendorong motornya agar menjauh dari Galen. Cowok itu menggeleng pelan, dia hanya tersenyum sinis. Mengapa semua orang mudah sekali untuk menilai orang lain hanya dengan sekali melihat atau setelah mendengarkan penjelasan orang lain yang belum tentu paham dengan dirinya. Karena merasa tidak perlu untuk membantu, Galen pun kembali ke motornya. Cowok itu memakai helm miliknya, mengabaikan Ilyas yang sedang mendorong motonya. Ilyas yang tidak mau dibantu, jadi bukan salah Galen jika sampai terjadi apa-apa pada gurunya itu. "Tunggu!" Teriak Ilyas dengan napas yang tidak beraturan. Dia berlari sekuat tenaga untuk bisa menjangkau motor Galen sebelum anak didiknya itu pergi. Sekarang dirinya tidak punya pilihan sama sekali. Hari semakin larut, tidak ada orang yang akan membantunya di tempat seperti ini. Motor atau mobil yang lewat pun tidak akan pernah berhenti apalagi di sini terkenal dengan begal itu tadi. Bisa-bisa dia yang terkena begal karena tidak bisa menjangkau tambal ban. Sedangkan hari semakin malam. Galen menoleh ke arah gurunya yang sedang mengatur napas. Padahal dia berharap gurunya bisa melakukan sendiri tanpa meminta bantuan darinya setelah memasang wajah takut seperti tadi. "Saya enggak mau sampai ketemu begal di sini. Jadi, bisa tolong saya?" Tanya Ilyas dengan wajah bingung bercampur ketakutan. Galen tersenyum sinis, "Bapak minta tolong pada saya tetapi Bapak tidak terlalu percaya dengan saya. Minta tolong 'kan soal kepercayaan..." "Setidaknya saya lebih percaya kamu di sini." Jawab Ilyas pasrah dengan menatap Galen walaupun masih takut. Galen mengangguk, "Bapak bawa motor saya. Biar saya yang benerin motor Bapak. Besok kita barter di sekolah. Bapak kembalikan motor saya dan saya kembalikan motor Bapak. Bagaimana?" "Hah, apa tidak bisa sekarang saja dibawa ke bengkelnya? Saya tidak enak sama kamu kalau harus bawa motor kamu," jawab Ilyas dengan hati-hati. Tidak enak 'kan langsung menolak begitu saja. Galen tertawa, "berarti Bapak tidak percaya sama saya. Kalau begitu ya sudah, Bapak bawa saja motor Bapak ke bengkel sendiri. Saya pamit mau pulang." Sebenarnya Ilyas sangat takut di jalanan seperti ini. Apalagi dia tidak punya kenalan di kota ini kecuali Hannah. Mana mungkin juga dia meminta Hannah untuk datang kesini. "Oke..." Pasrah Ilyas sambil menatap ke arah motornya. Galen membuka helm-nya dan memberikannya kepada Ilyas. "Saya bawa motor Bapak. Silakan Bapak bawa motor saya. Jangan lupa besok kita barter jam setengah tujuh. Hati-hati, Pak." Ucap Galen sambil tersenyum ke arah Ilyas. Ilyas hanya bisa menghela napas panjang, "ini beneran motornya 'kan? Bukan motor curian?" "Wangi juga... Kirain bakalan bau apek." Komentar Ilyas ketika memakai helm milik Galen. Dengan terpaksa dan tidak punya pilihan lain, Ilyas akhirnya memakai motor Galen. Motor yang jauh-jauh lebih bagus dari motornya. Motor mahal yang selalu dia inginkan sejak jaman kuliah. Bahkan sampai saat ini belum bisa dibelinya. "Semoga motor ini bukan motor curian..." Ucap Ilyas dalam hati. Semoga ini bukan petaka yang menghampirinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD