“Kita jalankan sesuai rencana. Rapat cukup sampai di sini, ya,” ucap seorang wanita dengan setelan kantor berwarna coklat cream. Dia tampak stylist dan juga cantik mengenakan itu.
Higheels yang dipakainya berbunyi karena terketuk lantai. “Ishana!”
Wanita itu menoleh ketika ada yang memanggilnya.
Keningnya mengkerut saat mendapati Freya, kakak sepupunya berjalan agak sedikit berlari ke arahnya. “Kenapa lari-lari, Frey?” tanya kemudian.
“Supaya kamu nggak pergi duluan. Kamu nggak ada janji sama klien habis ini ‘kan?” sahut Freya tiba-tiba.
Ishana dengan polos menggeleng. “Enggak ada. Kenapa emang?” tanyanya kemudian.
“Ikut party sama anak-anak yuk! Kamu tahu Viona ‘kan? Manajer marketing resort ini. Dia hari ini ulang tahun, jadi anak-anak berencana buat pesta kejutan buat Viona,” jelas Freya.
Ishana jelas tahu siapa Viona. Gadis itu sudah bekerja dengannya sejak empat tahun lalu, ketika Ishana diminta untuk mengurus bisnis resort ayahnya yang mulai berkembang pesat di Bali.
“Tapi ‘kan aku nggak suka party begitu, Frey,” sahutnya.
Memang benar Ishana lama tinggal di Jepang, tetapi itu tidak membuatnya addict dengan party, alkohol atau semacamnya.
Di Jepang pun, Ishana minum alkohol saat hawa dingin, itu pun hanya ketika dibutuhkan.
“Sekali aja, Shana. Nggak enak tahu kalau kamu nggak datang. Kan kamu atasan di resort ini, sekali-kali bergaul sama karyawan ‘kan nggak masalah,” bujuk Freya. Dia bertugas membantu Ishana untuk mengurus resort selama ini.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Ishana terpaksa mengangguk. “Ya udah aku ikut, tapi no drunk and drugs, ya?”
“Tenang, aman!” Freya mengedipkan sebelah matanya kepada Ishana.
Senang karena berhasil membujuk Ishana untuk ikut party dengannya nanti malam.
***
Duar duar!
Bunyi confetti yang diletuskan saling bersahutan. Ishana sampai harus menutup sebelah telinganya yang berdengung.
Sementara di sisi lain, Viona yang mendapatkan kejutan itu merasa tersentuh. Kedua matanya sampai berkaca-kaca.
“Happy Birthday, Bestie!” sahut seseorang yang Ishana kenali sebagai sahabat Viona di resort.
Kemudian satu per satu dari mereka mengucapkan selamat pada Viona, termasuk Ishana. “Ini kado untuk kamu, Viona. Semoga suka, ya?” ucap Ishana, memberikan tote-bag yang disiapkan secara dadakan.
“Pasti suka dong, Dior!” sahut Freya, menyebut nama merk yang ada di tas itu. Sementara Viona bersikap malu-malu tapi mau. “Terima kasih, Mbak Ishana,” ucapnya sopan.
Di resort semua memanggil Ishana dengan sebutan ‘Mbak’ karena Ishana sendiri yang memintanya. Dia menolak dipanggil ‘Bu’ karena tidak mau terlihat tua.
Bagaimanapun umur Ishana saat ini baru menginjak 27 tahun. Belum begitu tua ‘kan?
Kemudian yang terjadi selanjutnya, Freya dan teman-temannya memaksa Ishana untuk menegak minuman beralkohol. Ishana sudah menolak tetapi tidak dihiraukan oleh mereka. Alhasil, Ishana menjadi mabuk berat sekarang.
Freya kemudian menitipkan Ishana kepada temannya yang lain karena dia harus pergi berkencan dengan kekasihnya.
Wajah Ishana masih tertempel di meja bar, berbeda dengan teman-temannya yang lain, yang juga sebagian besar adalah karyawannya kini tengah menari di dance floor.
Ishana melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah pukul sepuluh malam, jadi dia harus segera pulang. Bagi Ishana, jam sepuluh sudah cukup malam. Dia tidak pernah berkeliaran di malam hari sendirian.
Langkah kaki Ishana keluar dari bar dengan gontai tanpa sepengetahuan teman-temannya. Tangannya terulur untuk menghentikan taksi, tetapi tidak ada yang berhenti. Akhirnya dia memutuskan untuk berjalan kaki.
Ishana melewati pantai kemudian membaringkan tubuhnya secara tidak sengaja di kursi pantai karena tidak sanggup lagi berjalan.
“Asshh … kakiku pegal sekali,” racaunya. Dia bahkan melepas blazer yang menutupi tanktop karena merasa panas. Kemudian dia meringkuk di atas kursi pantai seperti bayi.
Beberapa orang yang lewat memandang Ishana aneh, tetapi gadis itu saat ini dalam keadaan setengah sadar, jadi tidak sepenuhnya tahu apa yang dia lakukan.
Tidak lama kemudian, ada tiga pria mabuk melihat Ishana dengan kedua lengan dan paha yang terekspos, sehingga mereka tertarik untuk menggodanya.
Mereka mendekati Ishana dan menyentuh beberapa bagian tubuhnya.
Ishana yang merasakan sentuhan itu segera memberontak, tetapi karena dia terlalu mabuk, tidak banyak yang bisa dia lakukan. “Don’t tou-ch me! Aishhh!”
Salah satu pria mabuk itu kemudian berniat untuk mencium Ishana sebelum seseorang lebih dulu menarik bahunya dan memberikan bogeman mentah pada pria itu.
Timbul perkelahian di antara tiga pria mabuk dan seorang pria yang bermaksud membantu Ishana.
Sementara Ishana yang samar-samar melihat itu, hanya tersenyum karena dia berpikir ada seorang pangeran yang datang ke mimpinya.
Detik kemudian, Ishana justru terlelap dalam tidurnya.
Tristan melangkahkan kaki dengan tenang. Sebelah tangannya menggenggam paper bag berisi peralatan untuk mendekor cafe barunya.
Dia baru akan membuka usaha. Jadi, Tristan harus mempersiapkan semua secara matang. Tristan harus membuktikan semua ucapan yang sudah dia katakan pada keluarganya.
Tristan menarik napas dalam dan membuang secara perlahan. Manik matanya mulai beralih, menatap ke arah hamparan langit luas yang tampak sangat indah.
Terlihat jelas bulan dengan bulatan sempurna, membuat hati pria itu terpikat. Entah kenapa, Tristan merasa tenang dengan kehidupan barunya.
Sejenak, Tristan ingin menikmati kesendiriannya. Dia ingin memulai kehidupan, menata kembali kehidupan yang sempat terasa berbeda.
Hingga dia kembali melangkahkan kaki dan bersiap untuk pergi. Sayangnya, belum juga melangkah, Tristan kembali dikejutkan dengan pemandangan di depannya.
Tidak jauh darinya, terlihat tiga pria sedang mengerubungi seseorang yang tengah berbaring di kursi pinggir pantai.
Tristan tidak begitu jelas melihat, membuatnya harus menyipitkan mata untuk melihat semakin dekat.
“Apa yang mereka lakukan?” tanya Tristan pada dirinya sendiri.
Tristan segera melangkahkan kaki dan menuju ke arah ketiga pria tersebut. Entah kenapa, hatinya tidak tega melihat seorang wanita menjadi korban para pria b***t.
Dia memang tidak mengenalnya, tetapi hati nurani pria itu mengatakan untuk menolong. Sampai dia yang sudah sampai di tempat tersebut pun menghentikan langkah dan menarik salah satu kerah pakaian pria di depannya.
“Sialan. Jangan ganggu kami!” ucap salah satu pria.
Tristan mencium bau alkohol dari tubuh pria di depannya, membuat Tristan mendengus kasar.
Dia tahu pria di depannya dalam kondisi mabuk, tetapi Tristan tidak bisa menerima apa yang mereka lakukan. Dengan tenang, dia mulai melayangkan tangan dan memukul pria tersebut. Jelas para teman pria itu tidak terima, membuat pertengkaran semakin memanas.
Namun, Tristan tidak menyerah sama sekali. Dia masih terus melayangkan pukulan, tidak memberi ampun sama sekali.
Hingga ketiga pria itu kabur, membuat Tristan membuang napas kasar. Manik matanya memperhatikan ketiga pemabuk yang mulai pergi.
Napasnya masih terengah karena pertempuran yang baru saja terjadi. Sampai dia melihat ke arah wanita yang tengah berbaring di dekatnya dan melangkah pelan.
“Hei, bangun,” ujar Tristan, masih memperhatikan raut wajah cantik wanita di depannya.
Sayangnya, tidak ada jawaban sama sekali. Wanita di depan Tristan masih terlihat cukup pulas dalam tidur.
Tristan yang penasaran pun mulai mendekatkan tubuh, mencoba memastikan jika wanita itu bernapas. Tapi dia malah mencium bau alkohol dari tubuh wanita itu.
“Dia seorang wanita, tetapi mabuk sampai tidur di jalan. Ceroboh,” gumam Tristan dengan wajah masam.
Tristan segera berbalik dan siap kabur. Sayangnya baru beberapa langkah dia hendak pergi, dia kembali berhenti.
Untuk sejenak, Tristan menimang keputusannya. Apakah membiarkan seorang wanita sendiri di pinggir pantai adalah hal yang baik?
Namun, mencium dari bau alkohol di tubuh wanita itu, Tristan tidak yakin kalau wanita itu adalah wanita baik-baik.
Hingga Tristan yang mulai pusing dengan perdebatan di kepalanya pun membuang napas kasar. Dia memutuskan untuk duduk di dekat wanita itu.
“Lebih baik aku tunggu sampai dia bangun,” ucap Tristan sembari memasang raut wajah masam.
Tristan mensedekapkan tangan dan menatap hamparan laut yang begitu luas. Ada perasaan tenang setiap kali mendengar deburan ombak.
Angin sepoi yang dirasakan juga terasa menenangkan. Hingga dia merasakan pergerakan di dekatnya, membuat Tristan mengalihkan pandangan.
“Hei, Nona. Kamu tidak boleh tidur di sini,” kata Tristan sembari menggoyang tubuh di sebelahnya.
Sayangnya, tetap tidak ada jawaban sama sekali. Dia malah melihat wanita itu mengusap lengan, membuat Tristan yang tidak tega pun memilih melepas jaket yang dikenakan dan menutup bagian tubuh wanita itu.
Tristan pun kembali menatap lautan lepas dengan kedua tangan disedekapkan. Hingga tidak terasa, kedua matanya pun mulai memberat.