Bab 1: Tentang Aku

1116 Words
“Hei bus tayo!” “Karung berjalan!” Dan bla bla bla Kata cemoohan itu sudah lama bersahabat dengan pendengaranku, hingga terkadang aku muak mendengarnya. Sakit hati, marah dan sedih, tentunya aku merasakan semua itu. Tapi, bukan keinginanku memiliki tubuh gemuk sejak lahir, dari sekian banyak anggota keluargaku, hanya aku yang mengalami obesitas. Pufftt… sangat menyebalkan bukan. “Eh, lo diet dong!” “Lo gak mau olahraga, sih!” “Lo tuh cantik, tapi sayangnya lo gendut, jadi berasa jalan di samping truk gandeng kalau kita deket sama, lo!” Oh god! Lagi-lagi mereka hanya berasumsi dan berkata seenaknya seperti itu. Setiap mereka berkata begitu, aku hanya tersenyum simpul. Aku memaklumi, mereka memang tidak tau apa saja yang sudah aku lakukan agar tubuhku bisa kurus. Tapi nihil atau mungkin memang belum membuahkan hasil, entahlah. Olahraga, bahkan orang tuaku membuat tempat gym khusus untukku di rumah kami. Diet ekstrem pun pernah aku lakukan. Kalian bayangkan, dalam sehari aku hanya memakan beberapa gram nasi dan satu botol air mineral, itu adalah ide gila dari sahabatku dan bodohnya, aku malah mengikuti idenya, hingga aku masuk rumah sakit karena mengalami malnutrisi. Bukan cuma itu, kedua orang tuaku dan abang kesayanganku menceramahi aku sepanjang hari, no mungkin selama seminggu, sebenarnya hal itulah yang paling melelahkan. Mendengar ocehan orang yang paling aku sayangi, tapi aku senang karena hanya keluargaku dan sahabatku yang peduli dan menerima aku apa adanya. Oops aku melupakan satu hal, sorry karena sejak tadi aku asik bercerita, bukan bercerita tapi lebih tepatnya mengungkapkan apa yang selama ini aku pendam, maybe. Namaku Laxmitha Ayudia Pratama, keluargaku dan orang-orang memanggilku Mitha. Mitha si gadis berusia tujuh belas tahun yang memiliki bobot tubuh delapan puluh kilogram. Oke, jangan kalian bayangkan seberapa gempalnya tubuhku ini. Dan ya, aku mencoba untuk tetap happy menjalani hari-hariku, selalu mencoba berdamai dengan keadaan, menghargai apa yang sudah Tuhan berikan kepadaku. Yups, aku harus tetap bersyukur karena aku memiliki tubuh yang sempurna, tidak aku pungkiri jika terkadang aku merasa iri saat melihat wanita yang memiliki lekuk tubuh sempurna, tentunya aku pun ingin memiliki itu. Tapi, saat aku melihat orang yang cacat fisik, mereka yang berjalan dengan satu kaki atau mungkin tidak memiliki kaki dan tangan, terlihat menikmati dan menjalani kehidupan mereka tanpa mengeluh. Itulah yang membuat aku kembali memanjatkan rasa syukur yang tidak terkira. Memangnya kenapa jika aku gendut, toh itu bukan sebuah kejahatan. Nikmati, jalani, syukuri dan inilah aku. *** "Mitha!" aku menggeliat lalu menyingkap selimut, suara teriakan bunda membuatku kembali dari alam mimpi. Aku melihat jam di dinding baru menunjukkan pukul lima pagi, sebenarnya aku masih ingin bergelung di dalam selimut karena semalam aku menonton film india terbaru yang dibintangi oleh aktor favoritku, kalian ingin tau siapa dia? "Mitha, cepetan bangun!" sepertinya lain waktu akan kuberi tau, bundaku kembali memangil sambil mengetuk pintu kamar dengan kencang. Ya ampun, aku benar-benar malas untuk bangun, sebelum bundaku berteriak lagi, aku harus segera membuka pintu. "Mitha!" baru saja aku memegang handle pintu, bundaku kembali memanggil. "Ada apa, Bun?" tanyaku yang bersandar di ambang pintu. "Malah tanya ada apa, cepetan mandi, waktu shalat subuh sudah hampir habis," jawab bundaku dengan wajah kesalnya. "Iya, Bun," ucapku dengan malas dan mata terpejam. "Malah merem di sini, cepetan mandi sana atau mau Bunda mandiin?" tanya bundaku. "Bun, jangan marah, aku boleh tidur lima menit lagi gak...." "Mitha!" sebelum jemari bunda menyambar telingaku, aku lebih dulu masuk ke kamar mandi, sebelum menutup pintu dengan rapat, aku mengintip bunda sebentar, pasti bunda akan menggerutu. "Punya anak perempuan udah gede masih aja kayak anak kecil." benarkan apa yang aku ucapkan, bunda menggerutu sambil merapikan ranjangku. Hei, kalian jangan berpikir jika aku tidak mau merapikan ranjangku sendiri. Tapi, apa yang aku lakukan tidak pernah masuk kriteria rapih menurut bunda, jika aku melakukan itu, bunda pasti akan mengulang pekerjaanku. Setelah ritual pagiku di kamar mandi selesai, aku segera melaksanakan shalat subuh sebelum waktunya habis. "Ah... segarnya," ucapku yang sedang mengeringkan rambut panjangku menggunakan hairdryer, setelah rambutku kering, aku mengganti piyama dengan seragam sekolah yang sudah bunda siapkan. Bundaku memang perfect dalam segala hal. Lagi-lagi, aku lupa mengenalkan bunda dan anggota keluargaku yang lain, tapi nanti saja, aku harus segera bersiap sebelum bom atom ala bunda kembali meledak. "Mitha!" aku baru menuruni anak tangga suara bunda kembali menggema di seluruh ruangan rumahku, terkadang aku berpikir apakah bunda tidak pernah merasa sakit tenggorokan karena bunda melakukan itu setiap hari. Hmm... mungkin inilah yang dinamakan the power of emak-emak. "Pagi, Yah," sapaku lalu duduk di kursi. "Pagi juga, Sayang," ucap ayahku yang sedang menikmati teh buatan bunda. Baiklah sekalian saja, aku kenalkan semua anggota keluargaku. ayahku bernama Iqbal Pratama, sedangkan bundaku bernama Rania Maheswari. "Nanti siang kamu dijemput sama abang ya, soalnya Ayah ada meeting," "Aku gak mau pulang sama abang, Yah," ucapku. "Kenapa?" tanya ayahku. "Soalnya, aku udah janji mau pergi sama Fanny," jawabku. "Abang yang antar." Aku menoleh ke arah samping, ternyata abangku sudah duduk manis di kursinya. Damar Keanu Pratama, itu nama abangku, abang yang sangat menyebalkan, abang yang selalu menjahili aku, abang yang sok kegantengan sama cewek, abang yang sok cool, tapi kenapa aku sangat menyayanginya. "Gak mau," ucapku merajuk. "Kenapa?" "Soalnya, Abang ngeselin," jawabku. "Bilang aja kalau kamu mau pergi sama cowok itu, bukan sama Fanny," ucapan abangku membuat aku kesal, sebentar lagi ayah pasti akan mencecar aku dengan berbagai pertanyaan. "Cowok siapa? Kamu punya pacar? Kok Ayah gak tau?" Nah benarkan, rasanya aku ingin sekali menutup mulut bang Damar dengan lakban. "Aku gak pacaran, Yah," jawabku. "Benar?" tanya ayahku dengan tatapan mengintimidasi kepadaku. "Bohong Yah, mana ada gak pacaran setiap hari dia nemenin Mitha di gerbang sekolah," ucap abangku. "Ish... Abang, aku sama Dirga cuma temenan, lagian mana ada cowok yang mau...." "Sudah, kalian makan dulu sekarang, ini sudah siang, nanti kalian telat," ucap bundaku menyela perdebatan kami. Mungkin, bunda sudah tau apa yang akan aku katakan karena hampir setiap hari aku mengatakan hal itu. Aku memang memiliki pengalaman pahit dengan seorang pria, aku pernah diam-diam mencintai ralat lebih tepatnya mengagumi kakak kelasku, karena mulut sahabatku yang ember dan kelewat blong, dia mengatakan hal itu kepada kakak kelasku. Tapi dia malah memakiku dan menghina tubuhku yang gemuk. Sejak saat itu, aku benar-benar menutup hati dan enggan lagi mengenal apa itu perasaan cinta, entah takdir seperti apa yang sudah Allah gariskan untukku. Aku memang memiliki teman pria, seperti yang sudah aku jelaskan tadi, Fanny pernah mengatakan jika Dirga menyukai aku, tapi aku tidak ingin terlalu berharap dan menanggapi, mungkin orang lain mengatakan jika putus cinta adalah hal yang sangat menyakitkan. Tapi bagiku, mendengar orang yang menghina keadaanku itulah yang paling menyakitkan, terlebih lagi semua kekurangan ini bukanlah keinginanku. "Maybe one day, there's a man who will accept me for who I am. Yes, maybe."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD