Chapter 1 - Percikan

1706 Words
Bunyi suara penggorengan saling bersentuhan serta para koki yang sibuk bergerak cepat demi mengejar waktu untuk menyelesaikan hidangan masing-masing. Serena juga sangat sibuk berusaha menyelesaikan empat porsi pasta yang dia buat. Keringat menetes dari keringatnya dan Serena dengan cepat menghapusnya dengan handuk. Setelah itu kembali bekerja, dia menuang dan menghidangkan pasta itu di atas piring. Serena membunyikan bel tanda jika hidangan itu telah selesai setelah itu pramusaji langsung mengambilnya dan membawanya ke restoran untuk di hidangkan. “Akhirnya pesanannya habis.” ucap rekan Serena yang juga bersandar di di meja dapur. Serena mengangguk, dia meraih botol air dan menenguknya rakus. Dia haus sejak tadi tetapi tidak bisa minum karena diburu waktu. Serena kembali mengelap keringatnya, suhu panas masih terasa padahal semua kompor sudah di matikan. Sekarang tepat jam sembilan malam dan mereka akan menutup restoran karena semua persediaan bahan untuk hari ini telah habis. Serena cukup lega karena hari ini dia bisa pulang lebih awal. Serena membersihkan diri di kamar mandi khsus pegawai lalu mengganti pakaiannya. Setelah itu, Serena menuju ke arah sebuah ruangan makanan privasi dengan membawa sebotol s**u hangat di tangan kanannya. Serena mengetuk pintu lalu membuka pintu. “Hai, Serena. Sudah pulang selesai?” Serena tersenyum lalu mengangguk, “Agam, suaramu mengagetkanku. Iya, hari ini cepat tutup, pelanggannya penuh sampai ada beberapa yang ditolak masuk.” “Wah, memang makanan di restoran ini sangat lezat. Apa kau mau memberikan s**u kepada Sivia?” tanya Agam. Serena mengangguk. “Ah, pantas saja sejak tadi Sivia terus menangis. Ternyata anak cantik ayah sedang lapar.” Agam mencium Sivia sebelum memberikan anaknya itu kepada Serena. Serena menerimanya dengan lebut lalu mengelus pipi dan kepala Sivia dengan penuh sayang. “Uhh... lapar ya nak. Nih minum pelan-pelan ya.” Agam memandang Serena serius, dia melihat cara perempuan itu memegang anaknya dan tidak ada yang salah dari penglihatannya karena Sivia tampak nyaman di gendongan Serena, sangat berbeda dengannya yang selalu saja membuat Sivia menangis ketika menggendongnya. Serena menoleh kepada Agam, “Kamu sudah makan malam?” “Belum sempat. Dari tadi jagain Sivia sambil nunggu dia bangun. Eh, pas bangun malah ngamuk aku gendong.” Ucap Agam sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Serena menunjuk dua kotak makanan yang tadi dia letakkan di atas meja. “Itu ada makan malam, Gam. Kamu makan deh.” “Eh, jangan…” Agam mengunci rapat mulutnya ketika suara perutnya terdengar, itu membuatnya bertatapan dengan Serena dan sangat membuatnya malu. Agam menghela napas pelan sembari tertawa kikuk lalu mengambil kotak makanan yang di maksud oleh Serena. Agam mulai ritual makannya, dia mencuci tangan di wastafel lalu kembali duduk dan menyantap makan malamnya dengan lahap. Air liur Serena hampir menetes ketika melihat Agam makan, tidak lama kemudian perutnya ikut berbunyi dan dia hanya bisa tertunduk malu. Agam menatap Serena, mereka kembali bertatapan lalu tertawa bersama. Agam melirik botol s**u Sivia yang telah kosong dan anak perempuannya itu sudah tertidur kembali di gendongan Serena. “Belum makan juga?” tanya Agam setelah menelan makannya. Serena mengangguk, “Iya belum sempat, tadi sibuk banget sampai nggak bisa makan. Ini rencananya baru mau makan habis tidurin Sivia. Serena menurunkan Sivia kembali ke tempat tidur bayinya tetapi Sivia langsung membuka mata dan menangis. Serena mencampaknya pelan dan membuat balita cantik itu kembali memejamkan mata tetapi tidak lama kemudian kembali menangis dan merentangkan tangannya untuk kembali di gendong. Serena kembali membawanya ke dalam gendongan, padahal dia sudah sangat lapar dan gemetaran karena terlambat makan malam. Agam yang melihat itu merasa kasihan kepada Serena. Dia sudah sering mampir ke restoran ini untuk melihat anaknya karena Serena membawanya ke tempat kerja. Serena hanya tinggal bedua dengan Sivia di apartemen jadi perempuan itu membawanya serta saat bekerja. Agam sempat khawatir karena Sivia ikut ke restoran padahal usianya masih berapa bulan tetapi ketika melihat jika Sivia berada di tempat aman dan banyak yang menjaganya, perasaan Agam menjadi lebih tenang. “Serena, mau aku suapin?” tanya Agam tiba-tiba. Agam juga tidak percaya jika dia mengucapkan kalimat itu tetapi pertanyaannya itu tulus tanpa sedikitpun maksud tertentu. Dia hanya tersentuh karena kebaikan Serena kepada anaknya dan tidak bisa makan karena Sivia ingin terus menempel kepada Serena. “Eh, tapi aku bisa makan sendiri.” ucap Serena menolak. Agam menggeleng pelan lalu mengambil posisi di dekat Serena. “Kamu udah gemetaran, wajah kamu pucat. Kalau kamu nggak makan sekarang, mungkin lima belas menit lagi kamu pingsan. Sementara, Sivia nggak mau lepas dari kamu.” Serena terdiam, dia memikirkan tawaran Agam. Tetapi, beberapa detik kemudian mengangguk karena perutnya sudah sangat perih dan dia takut maghnya kambuh karena terlambat makan. Agam tersenyum lalu membuka kotak makanan Serena yang ternyata isinya sama dengan miliknya. “Aku suap pakai tangan nggak apa-apa ya?” Serena lagi-lagi mengangguk karena lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan Agam. Jantungnya berdebar kencang ketika melihat Agam mencampurkan nasi dan lauk dengan tangan lalu menyuapinya. Seumur-umur, baru sekarang Serena di suap oleh seorang laki-laki. Dia menerima dengan ragu suapan pertama Agam dan merasa sedikit malu karena menyentuh jari pria itu dengan bibirnya. Agam juga sama kagetnya, dulu dia tidak pernah seromantis ini dengan istrinya. Mungkin dia pernah tetapi hanya menyuapnya dengan menggunakan sendok dan sekarang dia menggunakan tangan karena terlanjur menggunakan telapak tangannya untuk makan. Jantung Agam tiba-tiba berdebar kencang ketika menyentuh bibir Serena, mereka berdua sejenak bertatapan tetapi akhirnya mengalihkan perhatian masing-masing ketika Sivia kembali merengek. Agam makan sembari menyuapi Serena, mereka makan dengan lahap karena memang sedang kelaparan. Dua bungkus nasi itu seketika habis dalam beberapa menit. Serena melepas botol s**u yang sudah lama kosong ketika melihat Sivia sudah berhenti meminumnya. Dia melakukannya perlahan-lahan lalu meraih botol air yang sudah dibuka oleh Agam. “Terimakasih, maaf aku lupa bawa sendok. Kebiasaan makan pakai tangan.” Ucap Serena sembari menatap punggung Agam yang sedang membilas tangannya di wastafel. Agam menoleh, “Iya nggak apa-apa. Saya juga sering makan pakai tangan kalau di rumah. Lebih enak aja.” Serena mengangguk, setelah satu jam lebih menggendong Sivia akhirnya balita cantik itu tidur lelap dan membuat Serena bisa menaruhnya di box bayi yang selalu dia bawa. “Sudah mau pulang?” tanya Agam yang melihat Serena membereskan barang-barang bawaannya. “Iya, sudah malam. Takut Sivia masuk angin kalau nggak di bawa pulang, lagi hujan juga di luar.” Jawab Serena tanpa menoleh. Agam langsung berdiri, dia memakai jaket parasut dan memperbaiki celana jeansnya. “Aku antar ya?” “Eh, memangnya nggak apa-apa? Bukannya kamu masih ada pekerjaan?” tanya Serena. Agam menggeleng, “Pekerjaanku selesai untuk hari ini. Makanya aku lebih cepat datang untuk bermain dengan Sivia tadi.” “Ya sudah, kita naik mobilmu saja. Biarkan mobilku disini.” Agam menyetujui saran Serena, “Ayo, sebelum petugas mengunci restoran ini.” Serena tertawa lalu melirik Sivia yang sudah tertidur pulas. Wajahnya sangat damai. Ketika Serena mencoba meraihnya untuk digendong, tidur Sivia sedikit terganggu dan membuatnya terkejut. Serena segera mengayun-ayunkannya kembali agar tertidur. Agam mengambil tempat tidur bayi serta tas milik Serena yang berada di atas meja. Ini pertama kalinya dia mengatarkan Serena dan anaknya pulang. Rasanya sedikit asing karena Agam memegang tas perempuan dan itu sukses membuat Serena terkekeh. “Kamu terlihat hot.” Ucap Serena sembari tertawa. Agam berdecak, “Hot? Bukannya lucu ya? Yuk, nanti hujannya makin deras.” Serena mengangguk, dia berjalan di samping Agam. Tidak ada orang yang berpapasan dengan mereka di koridor dan suasana restoran itu sudah sangat sepi. Beruntung pintu menuju tempat parkir masih terbuka. Mereka buru-buru masuk ke dalam mobil, Serena memasukkan sivia di kursi penumpang dan memilih posisi yang tepat agar balita cantik itu tidak bangun karena guncangan mobil, setelah itu gilirannya untuk masuk dan duduk di samping Agam. Setelah menutup pintu, Serena mendapatkan panggilan telepon dari atasannya. Dia langsung mengangkatnya sementara Agam menyalakan mesin mobil. Agam yang melihat Serena tidak menggunakan sabuk pengaman langsung berinisiatif untuk memakaikannya karena perempuan itu sibuk menelpon. Serena terkisap ketika wajah Agam tiba-tiba berada tepat beberapa senti dari wajahnya. “Apa yang…” Serena mundur karena kaget dan agak tenang setelah Agam memasang sabuk pengaman di tubuhnya. Serena masih bisa merasakan deru napas Agam di pundaknya padahal pria itu sudah berada di posisinya semula dan mengemudikan mobil keluar dari tempat parkir. “Aku mengagetkanmu?” tanya Agam sembari melirik Serena. Serena mengakhiri panggilannya lalu memukul bahu Agam. “Tentu saja!” “Sshhh… pelankan suaramu. Nanti Sivia bangun.” Tegur Agam. Serena langsung menutup mulutnya. Dia mencubit perut Agam dan membuat pria itu melebarkan mata. Agam terkekeh pelan lalu mencubit pipi Serena, ketika hal itu terjadi keduanya membeku. Tiba-tiba suasana mobil menjadi canggung dan keduanya memisahkan diri setelah lampu lalulintas berubah menjadi hijau. Agam mengemudi dengan pelan karenas hujan bertambah deras, dia menyalakan pendingin udara karena kaca mobil berembun. Serena mengelus lengannya, kebetulan dia hanya memakai atasan berbahan sifon dan hawa sejuk dari pendingin udara langsung membuatnya kedinginan. Agam yang menyadarinya langsung melepas jaket parasut yang dia pakai sejak tadi. “Maaf ya, hujannya deras banget. Nggak bisa liat apa-apa kalau nggak nyalain AC.” Ucap Agam sembari memberikan jaketnya itu kepada Serena. Serena terlihat ragu untuk memakai jaket yang diberikan Agam, dia memegang jaket itu tetapi tidak kunjung memakainya. “Eh, kenapa nggak di pakai? Tenang aja, jaketnya nggak bau kok. Barusan saya ambil dari lemari tadi pagi.” Ucap Agam sembari mengemudi. Serena akhirnya memakai jaket yang di berikan Agam. Dia tadi terdiam bukan karena tidak ingin memakai jaket itu tetapi terlalu serius melihat kedepan ketika air sudah naik di permukaan jalan dan Agam terlihat kesulitan mengemudikan mobil apalagi kendaraan sedang padat. “Terimakasih, jaketnya hangat.” Ucap Serena sembari mengusap-usap tangannya. Agam juga melakukan yang sama, dia meniup telapak tangannya agar tetap hangat. Serena yang melihat itu langsung menangkap tangan Agam lalu menghangatkannya. Agam terkejut tetapi tersenyum karena Serena melakukannya. Ketika dia merasa hujan sedikit reda, Agam mematikan pendingin udara dan membuka kaca jendela. Walaupun masih dingin tetapi sudah lebih baik dari pada sebelumnya. Mereka berdua juga tidak tahu apa yang sedang terjadi karena tingkah mereka seperti sepasang kekasih padahal selama ini mereka melakukan hubungan professional atau sebagai seorang teman saja. Malam ini, dimulai dari Agam yang sedikit tertarik kepada Serena memancing beberapa beberapa kejadian yang tidak di sangka-sangka. Agam diam-diam tersenyum, begitu juga dengan Serena yang tidak bisa menahan senyumnya sembari melihat pemandangan diluar jendela.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD