Chapter 3 - Pandemi

1790 Words
Serena bangun pagi-pagi untuk memasak di dapur, dia menyiapkan sarapan untuk kedua orangtuanya. Setelah itu, dia keluar untuk mencuci mobil. Dia mencucinya dengan perlahan karena ini termasuk benda yang dia sayang. Serena selalu menjaga barang-barangnya agar tidak mudah rusak agar bertahan sampai dia benar-benar membutuhkan yang baru. Setelah mencuci mobil, dia kembali pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, sekarang dia pergi ke tempat lain. Tiga jam berkeliling, dia tidak mendapatkan satupun restoran buka. Serena menghela napas panjang, dia kembali pergi ke tempat kemarin. Serena berencana makan di sana, untuk mengetahui bagaimana mereka memasak. “Selamat datang. Eh, mbak yang kemarin ya? Maaf sekarang belum ada informasi apa-apa.” ucap seorang petugas keamanan yang sedang berdiri di depan pintu untuk mengecek suhu tubuh saat pelanggan yang masuk. Serena tersenyum, “Saya kesini untuk makan siang.” Petugas keamanan itu tampak bingung tetapi tetap mengantarnya menuju sebuah meja yang kosong. Serena memesan spageti dan juga steik, dia tiba-tiba ingin memakannya saat dalam perjalanan kesini. Dia sedang menunggu makanannya ketika mendengar keributan dari arah dapur. Petugas keamanan segera masuk dan langsung membawa seorang koki yang tangannya terluka. Shazia langsung berdiri ketika melihatnya di angkat keluar. “Bagaimana ini? Di dalam ada tamu penting, hanya Mas Erwin yang bisa membuat hidangannya.” Gumam seorang koki lain khawatir. Serena melihat mereka, pasti rasanya panik sekali apalagi seorang kepala koki yang terluka. Itu sebuah bencana di saat ada tamu penting, dia tidak pernah mengalaminya tetapi dia tahu sesibuk dan seserius apa mereka memasak saat ada tamu penting. “Bagaimana ini?” Serena kembali duduk, dia menjadi tidak enak karena masih tetap menunggu pesanannya keluar. Shazia memilih untuk memainkan ponsel ketika seorang datang untuk menemuinya. “Selamat siang, maaf mengganggu. Bisa kita bicara sebentar, mbak Serena?” tanya seseorang memakai stelan jas lengkap. Serena menoleh, “Iya, maaf ada apa?” “Bisa kita pindah ke tempat lain sebentar. Saya berjanji tidak akan melakukan apa-apa dan hanya mengatakan sesuatu.” Ucap orang itu. Mengikuti firasatnya, Serena mengangguk. Mereka kemudian berjalan ke sebuah ruangan yang tertutup tetapi memiliki dinding dan pintu dari kaca. “Mohon maaf karena saya mengganggu. Perkenalkan saya Jefri, manajer restoran ini. Saya diberitahu oleh resepsionis jika, mbak melamar pekerjaan disini kemarin?” tanya manajer itu. Serena mengangguk, “Iya benar.” “Kalau begitu, maukah kamu membantu kami untuk menyiapkan hidangan untuk tamu penting itu? Di dalam ada empat orang yang merupakan pemilik perusahaan di ibu kota. Mereka sudah menunggu selama setengah jam dan kami baru memberikan Appetizer kepada mereka.” jelas manager itu. Serena melebarkan matanya, tentu saja ini tawaran yang sangat menggiurkan. Dia langsugn setuju tanpa pertimbangan apapun, “Saya bisa, Pak. Sekarang beritahu dimana dapurnya?” “Tapi, kita harus menyepakati bayaran yang anda terima dan kerahasiaan di  dapur kami.” Ucap manager itu sedikit panik. Serena melangkah mendenkat, “Untuk bayaran saya, kia bicarakan nanti. Kalau untuk kerahasiaan pasti akan saya rahasiakan, saya juga seorang koki.” Jawab Serena singkat. Manager itu tampak berpikir sebelum keluar dari raungan dan mengantanya ke dapur. Kedatangannya di sambut kaget oleh sebagian koki di sana. Serena melihat kesegala arah dan semua orang kini menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Perkenalkan, ini Serena. Dia akan menggantikan kepala koki untuk hari ini dan memasak untuk tamu penting yang sedang menunggu. Saya harapkan kalian bisa membantunya. Serena, silahkan kamu ganti baju dulu.” Serena langsung pergi untuk mengganti pakaiannya. Dia memakai pakaian serba putih yang entah sedang dimiliki oleh siapa, semangatnya tiba-tiba membara. Dia mengikat rambutnya dan menyelipkan anak rambut di telinganya. Dia melihat cermin dan sekarang sudah siap untuk memasak. “Selamat siang semuanya, mohon bantuannya.” Serena melihat mereka masih ragu ketika melihat kedatangannya. Dia berbalik dan menatap mereka satu persatu, “Aku mohon, jika kalian ragu silahkan keluar. Tamu penting yang di katakan manager itu sedang menunggu dan sudah lewat setengah jam setelah penyajian apatizer, jika kalian tidak ingin bekerja sama, aku akan melakukannya sendiri.” Semua orang langsung bergegas pergi ke tempat masing-masing setelah mendengar suara lantangnya. Dia terbiasa di dapur dan mendengar kepala koki berteriak-teriak. Itu pengalaman selama bertahun-tahun yang tidak akan pernah Serena lupakan. Dia memasak makanan dengan cepat, ternyata tamu penting itu memesan makanan yang berasal dari italia yang memiliki tingkat kesulitan tingkat atas. Tetapi, dia berhasil menyelesaikannya dalam setengah jam. Setengah jam berikutnya mereka berhasil menyajikan makanan penutup. Serena mengusap keningnya yang berkeringat. “Akhirnya selesai.” Gumamnya lalu mematikan kompor. Tiba-tiba terdengar suara riuh tepuk tangan, Serena melihat sekeliling dan semua orang menatap ke arahnya. “Terimakasih, mbak. Berkat kamu kami semua tertolong.” Ucap salah seorang pria yang sejak tadi membantu dan berada di sampingnya. Serena menjabat uluran tangan pria itu. “Sama-sama, kalian juga bekerja dengan keras.” Selain menyajikan makanan untuk tamu penting itu, mereka juga menyajikan makanan untuk pengunjung lain. “Masakkan pesanannku, aku juga sudah lapar.” Ucap Serena bercanda. Pria itu tertawa lalu mengangguk, “Silahkan tunggu di depan.” Restoran itu terpaksa tutup lebih cepat, dia hanya memasak hanya untuk tamu penting itu. mereka akan membuka kembali restoran saat cheft utama mereka kembali masuk bekerja. Serena menunggu pesanannya dengan sabar, dia duduk sembari memijit bahunyas. Ini pertama kali dia bekerja setelah sekian lama dan rasanya bahunya sangat pegal. “Silahkan dinikmati.” Ucap seorang pelayan kepadanya. Serena berterimakasih lalu memakan makan siangnya yang cukup terlambat. Dia mengusap perutnya kenyang, dia mengambil pelayan untuk bil. “Maaf, Mbak. Makannya nggak usah di bayar. Mari saya antar untuk bertemu manajer.” Ucap pelayan itu. “Eh, tapi…” Pelayan itu sudah pergi terlebih dahulu sebelum Serena menyelesaikan kalimatnya. Dia cemberut tetapi tetap mengikuti pelayan itu menuju ruangan yang dia kunjungi tadi. “Silahkan, ini sedikit untuk bantuannya tadi.” ucap manager itu ramah. Serena mengangguk, “Tapi, Pak. Makanan saya?” “Itu gratis diberikan oleh pemilik restoran, tadi dia juga memakan masakan anda dan sangat terkejut karena anda yang memasaknya. Saya tidak bisa menolak perintah atasan, jadi mohon diterima saja.” ucap manager itu sopan. Serena menghela napas pelan, “Terimakasih, Pak.” Setelah itu, dia pergi dari restoran. Serena meninggalkan restoran itu dengan tidak rela. Dia berharap manager itu bisa mengatakan sesuatu yang lebih, tapi ternyata tidak. Serena sangat ingin diterima bekerja di tempat itu tetapi ternyata kokinya sudah lebih dari cukup. Dia masuk ke mobil lalu pulang ke rumah. Serena menikmati pemandangan sore, dia mengemudi dengan kecepatan sedang. “Bagaimana hari ini nak?” tanya ayahnya yang sedang mencabut rumput di pekarangan rumah ketika dia turun dari mobil. Serena duduk di samping ayahnya, “Hari ini lebih baik sedikit, Yah. Aku memasak di sebuah restoran karena koki utamanya terluka, di kasih uang tapi nggak tahu berapa.” “Alhamdulillah, semoga rejeki kamu disana. Sempat melamar juga di sana?” tanya Ayahnya. Serena mengangguk, “Semoga ya, Ayah.” Dia termagu melihat sinar matahari yang berwarna keemasan, firasat jika dia akan di terima di restoran itu cukup besar. Apalagi ketika dia mengetahui jika pemilik restoran itu yang memujinya. Shazia bangkit lalu masuk ke kamarnya, dia lupa jika harus membersihkan diri terlebih dahulu karena baru saja dari luar. Dia tidak ingin kedua orang tuanya terkena virus yang sedang ini sedang mewabah di mana-mana. Covid-19 yang membuat seluruh dunia kacau balau, bahkan sekarang sudah berbulan-bulan lamanya ketika virus itu masuk. Sekarang, di saat virus semakin meluas tetapi masih sangat banyak masyarakat yang tidak patuh, bahkan tidak memakai masker saat keluar rumah dan bebas bersentuhan serta berbicara dengan orang lain tanpa memperdulikan orang lain. Serena melepas pakaiannya lalu menyimpan di tempat terpisah, dia langsung mencucinya dan meletakkan maskernya di dalam pelastik lalu dia ikat dengan erat. Setelah itu, dia mencuci pakaian dan membersihkan diri. “Nak, mau kemana?” tanya ibunya ketika melihatnya kembali ke pekarangan rumah ketika sudah hampir gelap. Serena menoleh, “Mau bersihin setir mobil Ma. Baru dikasih masuk ke dalam.” “Cepat masuk ya. Sudah malam.” pesan ibunya. Dia melangkah dengan cepat lalu menyemprotkan antiseptik yang memiliki kadar alkohol cukup tinggi agar semua virusnya langsung mati. Serena sangat sulit hidup di masa pandemi seperti ini. Dia yang memiliki pekerjaan yang diharuskan selalu bertemu dengan beberapa orang apalagi saat di dapur, pasti ada dari mereka yang berbenturan atau saling berbicara satu sama lain. … Serena berbaring di atas tempat tidur dan menatap langit-langit, dia sudah mematikan lampu sejak tadi. keadaan rumahnya juga sudah sepi. Kedua orangtuanya elalu saja tidur cepat dan hanya satu jam di depan tv untuk melihat berita. Berita yang ada di tv sangat membosankan, jika tidak memberitakan jumlah korban pasti memperlihatkan penyebarluasan virus yang terus semakin luas. Serena juga muak, dia tidak suka berita tentang banyak karyawan yang terkena PHK karena pengurangan tenaga kerja. “Nak, sudah tidur?” Suara ketukan pintu terdengar setelah suara ibunya. Serena langsung menyalakan lampu kamar, “Belum, Ma.” “Nak, bisa keluar sebentar? Tante kamu, itu lagi ngidam dibikinin kangkung saos tiram sama mangga muda. Kamu boleh bantu buatin?” Serena segera keluar, dia langsung mengangguk dengan wajah tersenyum. Lagi pula dia belum mengantuk sama sekali. Serena membuat itu dengan sangat cepat, dia selesai hanya dengan waktu dua puluh menit. “Terimakasih ya, Ren. Maaf tante ngerepotin, tadi sudah nyari diluar tapi nggak ada yang jual. Terpaksa beli sayur sama mangganya aja.”  Ucap Tantenya sembari mengusap perut bundarnya. Serena langusng melihat perut tantenya, “Sudah berapa bulan?” “Sudah masuk empat bulan tapi ngidam terus. Tante nggak ngerti juga.” “Nggak apa-apa tante, kalau besok-besok masih mau. Rena bisa bantu.” Ucap Serena. “Sekali lagi terimakasih ya, maaf tante ganggu kamu tidur.” Serena mengantar tantenya keluar bersama suaminya, dia tersenyum menatap mereka yang sangat bahagia karena menunggu anak kedua mereka yang akan lahir beberapa bulan lagi. Dia masuk ke dalam dan kembali masuk ke dalam kamar dan beristirahat. Pagi-pagi sekali, terdengar keributan di samping rumah dan membuatnya bangun. Serena keluar sembari mengusap matanya, dia melemaskan leher lalu berjalan ke luar dan melihat ibu serta ayahnya sedang mengintip di jendela. “Ma? Ada apa?” Ibunya menoleh, “Kamu sudah bangun? Itu ada anak tetangga yang datang dari luar provinsi. Katanya positif covid, jadi di jemput sama ambulans.” “Eh, kok bisa?” Serena ikut mengintip di jendela, “Kemarin itu di tes waktu dibandara, kan hasilnya butuh waktu lama. Jadi, baru ketahuan sekarang.” “Jadi, keluarganya gimana? Kan sudah berapa hari?” tanya Serena lagi. “Kata tante kamu sih, mau di bawa semua sekeluarga. Dia nggak keluar-keluar rumah katanya, tapi bapak sama ibunya sudah pergi kemana-mana.” Serena mengehela napas panjang, sejenak dia merasa takut tetapi hanya bisa memperhatikan sekitar. Mereka pergi dari jendela karena lelah berdiri dan tidak ada tetangga lain juga yang berani keluar dari rumah. Ini sangat menakutkan, tidak ada yang bisa beraktivitas seperti biasa karena wabah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD