CHAPTER 2

2908 Words
Gue terus-terusan merasa gelisah. Gue terus memikirkan masa depan yang gue lihat tadi. Ya kali gue nyium cowo duluan. Dan ini adalah pertama kalinya gue melihat masa depan seperti itu. Gue hanya diam menatap ke arah luar jendela tanpa mendengarkan penjelasan dari guru gue. Otak gue serasa hanya terisi oleh bayangan masa depan itu saja. Tiba-tiba Senju mencolek gue. Gue menatapnya dan mengangkat sebelah alis. Dia menggerakkan matanya ke arah depan. Entah mengapa gue merasa takut sekarang. Perlahan gue melihat ke arah depan. Teman-teman gue sudah memandang gue sinis. Gue melihat ke arah guru pengajar, yang kebetulan wali kelas gue. Dia nampak menghelas nafas. "Lili, kamu tidak mendengarkan apa yang ibu bilang tadi?" tanya Bu Devi penuh kesabaran. Gue hanya tersenyum bodoh. Bu Devi wali kelas gue, jadi dia ga mungkin marah. Semoga... "Nanti istirahat, kamu ke ruang guru. Temui ibu!" Tak lama kemudian bel tanda istirahat berbunyi. Setelah mengucapkan salam, Bu Devi segera meninggalkan kelas. Tanpa basa-basi lagi gue langsung berlari ke kelas Mark. Untungnya kelas Mark udah keluar duluan. Baru saja gue keluar, gue telah melihat senyuman bodohnya itu di depan pintu kelasnya. Gue langsung menariknya ke area yang agak sepi. Dia menatap gue datar dan semakin membuat gue bingung harus bereaksi seperti apa. Gue hanya berjalan bolak-balik, ke kanan dan kiri di depannya. Arah pandangnya terus mengikuti setiap gerak-gerik gue. "Jadi, gue di sini cuma lihat lo mondar mandir?" Gue menatapnya dengan pandangan melas. Haduh gue bingung. "Mark ini gila." "Yah lo emang gila," jawabnya yang membuat gue bertambah frustasi. "Serius!" ucap gue sedikit keras. Dia tetap menatap gue datar. "Gue lihat masa depan lagi," ucap gue pada akhirnya. "Hmmm." "Dan gilanya. Gue...." "Lo?" Gue memejamkan mata "Gue nyium Regar." "Ya terus?" gue menatapnya jengah. Lalu gue  berjalan menuju tembok dan membentur-benturkan kepala gue di tembok, pelan tentunya. "Masa depan ga pernah berubah Mark. Gue harus gimana?" "Yah cium aja," ucapnya santai. Gue langsung menangkup kedua pipinya. Gue menekan pipinya keras hingga bibirnya manyun. "Lo gila hah?! Gue natap matanya aja ga berani apa lagi nyium dia." "Lo mau nyium Regar apa nyium gue?" tanyanya dengan mulut yang masih manyun. Gue menghela nafas dan melepas tangan gue dari pipinya. Gue menyender di tembok dengan pandangan kosong. Masa iya sih gue sampe nyium Regar? Aneh banget. "Yah masa depan emang ga berubah. Tapi lo bisa menghindarinya kan?" jawaban yang sederhana namun cukup melegakan. "Oh iya. Tumben lo pinter," gue langsung merangkul lehernya dan mendekatkan ke arah gue. Setelah itu gue memukul-mukul kepalanya. Gue sudah biasa melakukan ini sejak kecil. Jadi kami hanya menganggapnya sebagai candaan. Mark juga membalas apa yang gue lakukan. Jadilah kami saling memukul satu sama lain. "Permisi," kami langsung menghentikan kegiatan itu, namun masih saling mengunci. Lalu Mark mendorong gue saat tahu siapa yang datang. Ternyata Senju yang datang. Gue lihat Mark merapikan rambutnya yang membuat Senju tersenyum canggung.  Tebar pesona setan. “Lo yang kemarin kan? Sudah mendingan? Ga terlalu parah kan?” tanyanya bertubi-tubi seakan tak memberi kesempatan lawan bicaranya untuk menjawab. "Gapapa kok. Hmm, kalian udah makan?" "Su-" "Belom, yuk ke kantin bareng." Mark memotong ucapan gue dan merangkul Senju berjalan menuju kantin. Gue memutar bola mata kesal melihat tingkahnya. Di kantin sangat ramai. Gue lihat Mark duduk di sebelah Jean. Gue dan Senju langsung duduk didepan mereka. Sambil menunggu pesanan datang, Mark dan Jean sudah saling mengobrol tentang hobi masing-masing. Gue yang pada dasarnya memang pendiam hanya mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Lalu gue lihat Naya dan teman-temannya mulai heboh yang membuat semua mata tertuju ke arah mereka. Naya mengeluarkan kertas seperti brosur. Entah apa yang mereka bicarakan, gue mencoba untuk tidak peduli. "Kalian tau ga, katanya CTS diadakan minggu ini lho."  CTS atau Camping tahunan sekolah adalah acara yang sekolah adakan untuk mengatasi pergaulan bebas yang semakin marak akhir-akhir ini. Acaranya dilakukan per-angkatan. Jadi bisa tiga hari berturut-turut. Siang dilakukan sosialisasi dan malam mulai menjelajah. Lebih seperti pramuka, hanya saja pakaiannya bebas. Dan gue paling anti ikut kaya begituan. Katanya untuk menyadarkan diri dan menguatkan mental. Namun menurut gue itu hanya menghabiskan uang. Toh tak ada perubahan kalau gue perhatikan.  "Lo ikut kan, Li?" tiba-tiba Senju bertanya. Mark dan Jean sudah memperhatikan gue sekarang "Kayanya nggk deh," jawab gue sambil sedikit memaksakan senyuman. "Tahun kemarin lo ga ikut, masa sekarang lo ga ikut juga," kata Senju dengan nada sedikit sedih. Gue hanya tersenyum. "Oh iya gue harus ke ruang guru. Duluan yah," alibi gue untuk menghindari obrolannya. Setelah itu, gue pun langsung pergi dari kantin. *** Gue memasuki ruang guru dengan hati-hati. Gue lihat Bu Devi tengah berbicara dengan murid yang duduk di hadapannya. Gue berjalan mendekat dan sekarang gue di belakang anak itu. "Kenapa kamu bolos?" tanyanya lembut. Bolos? Pasti anak ini Regar. "Kamu kan pelajar, tugas kamu yah belajar." Gue perhatikan Regar hanya diam mendengarkan nasehat dari Bu Devi. "Kalau kamu seperti ini terus, kamu bisa dikeluarkan dari sekolah." "Keluarkan saja. Sekolah pun tak ada gunanya buat saya," jawabnya ketus. "Sadar, kamu?! Kamu sudah menyusahkan banyak orang. Bikin onar dimana-mana. Memalukan sekolah. Persis orang tak berpendidikan," ucap Pak Akbar tajam, beliau adalah guru olah raga. "Kalau kamu merasa kamu benar, lakukan sesukamu. Jangan setengah-setengah!" kata Pak Akbar pada akhirnya dengan nada sedikit menyindir. "Okay, saya akan melakukan seperti yang bapak bilang. Jangan setengah-setengah, ya?" ucapnya sambil sedikit menyunggingkan senyum sinisnya, lalu dia pergi begitu saja. Dia sempat berhenti dan menatap gue. Setelah itu dia terus berjalan sampai menubruk bahu kiri gue. "Gara-gara lo dia di anggap sumber masalah!" Seketika perkataan Chandra teringiang dibenak gue. Lagi-lagi gue merasa bersalah. "Bapak kok bilang gitu sih, dia malah tambah berandal itu," Bu Devi mulai memarahi guru Pak Akbar. Namun Pak Akbar hanya mengangkat bahu bersikap acuh. Bu Devi menghela nafas dan menundukkan kepalanya. Mungkin terlalu lelah menghadapi sikap Regar. Setelah beberapa saat sepertinya dia sadar keberadaan gue. "Oh Lili, sini duduk" gue langsung menuruti perintahnya untuk duduk. "Ada apa ya bu?" "Kamu sudah tau kalau camping akan diadakan dalam minggu ini?" Gue mengangguk mengiyakan pertanyaannya. "Kamu ikut kan?" Gue hanya diam. Gue berpikir beberapa saat. "Ibu ngerti kekhawatiran kamu. Tapi kamu tau sendiri kan ulah Regar. Karena dia, sekolah kita dikenal sebagai sekolah yang buruk. Setumpuk prestasi kita, seketika tak berarti hanya karena satu, dua perbuatan mencoreng." "Seperti yang kita tahu, camping ini diadakan untuk mengurangi pergaulan bebas. Persentase anak yang ikut akan di periksa langsung oleh pihak-pihak dinas terkait. Kalau masih ada anak yang tidak ikut, semakin buruk juga persepsi masyarakat akan sekolah kita."  "Mereka pasti mengira kami membebaskan pergaulan kalian. Jadi mau ga mau semua anak harus ikut. Tak terkecuali Regar dan kamu." Kok gue sih? Penting sekali citra di masyarakat, sampai tak memikirkan keadaan muridnya. Cukup puas untuk tersenyum miris sekarang. "Pasti ada biayanya kan, Bu. Saya ga mau jadi beban untuk kakak saya" "Tahun lalu kamu sudah ga ikut, Li. Ibu tak ingin membeda-beda murid sebagai wali kelas kamu. Lagi pula kakak kamu sudah menyetujuinya." "Kapan?" Gue mulai panik "Tadi kakak kamu sudah ke sini. Dan kakak kamu setuju kamu ikut," gue terdiam. Beberapa detik kemudian bel tanda masuk berbunyi. "Pikirkan baik-baik, Lili. Demi sekolah kita. Sekarang kamu balik ke kelas. Nanti, pulang sekolah kamu ke ibu lagi" "Baik, Bu." setelah itu gue keluar dari ruang guru. "Sekolah apaan sih ini?! Masa iya harus ikut begituan. Bukan gue banget," gerutu gue sepanjang jalan menuju kelas. Sekolah gue bukan sekolah yang semerta-merta menyediakan fasilitas gratis dengan gamblangnya. Pasti ada saja siasat untuk terus menambah biaya kedepannya. Dari itu, gue tak pernah mau ikut acara begituan. Saat hampir sampai dikelas, gue melihat Regar. Kebetulan gue berjalan dibelakang tanpa disadari olehnya. Regar berjalan sendirian namun ada 'murid' perempuan yang mengikuti di belakangnya. Yah murid itu hantu. Jelas sekali dari wajahnya yang pucat dan tubuhnya yang sedikit transparan. Saat dia melewati tubuh Regar, gue lihat Regar memegang tengkuknya. Energi hantu itu tidak jelas, apakah dia positif atau negatif gue tak bisa merasakannya. Saat Regar memasuki kelas hantu itu pun mulai meninggalkannya. Gue cuma berharap hantu itu tak akan berbuat yang macam-macam kepada Regar atau siapapun. Saat gue ingin mengikuti kemana hantu itu pergi, guru pengajar gue sudah datang. Jadi gue memutuskan untuk masuk kelas. *** Setelah pulang sekolah gue langsung menemui wali kelas gue. Gue sudah memikirkan ini matang-matang. Gue telah memutuskan bahwa gue akan mengikuti camping gila ini. Wali kelas gue tersenyum lega setelah gue mengatakan bahwa gue ikut. Lalu dia menyuruh gue untuk segera pulang. Sebenarnya gue takut mengikuti camping itu. Di siang hari gue tak  masalah dengan keberadaan mereka. Tapi di malam hari, memikirkannya saja membuat gue pusing. Di malam hari, hantu yang keluar kebanyakan berenergi negatif. Sering kali gue merasa pusing dan mual saat berada di dekat 'mereka'. Kalau energi negatifnya terlalu besar, tak jarang gue pingsan bahkan bisa sakit berhari-hari. Gue juga tak mau menyusahkan Mbak Airin. Selama ini gue cuma jadi beban untuk dia. Gue jadi takut untuk pulang. Gue memutuskan untuk duduk di kursi penonton lapangan basket. Gue hanya menatap megahnya sekolah ini. Lama-lama, semakin terasa betapa tak bergunanya gue. Kalau saja bukan karena Mbak Airin, gue ga bakal mau sekolah di sini. Sekolah ini cukup populer, dan banyak diminati oleh masyarakat. Nilai di sekolah ini tidak main-main. Hanya saja kedudukan uang juga tidak main-main. Ga adil memang, tapi mau bagaimana lagi? Gue cuma punya otak untuk bertahan disekolah ini. Cukup lama gue duduk di tempat ini. Sampai gue lihat dari pojok sekolah ada Regar, Chandra, dan Kevin yang menuju ke arah lapangan basket. Sepertinya mereka akan bermain basket. Chandra juga membawa bola basket. Tapi yang aneh, hantu itu mengikuti Regar lagi. Gue berpikir lagi, seberapa menggodanya sih Regar itu? Dari junior sampai senior bahkan alumni pun banyak yang ngejar dia. Belom lagi dari sekolah lain. Ga selesai gue ngitungin jumlah fans Regar, lah nambah satu hantu ini. Saking gantengnya, perempuan dari kalangan manusia sampai hantu pun juga suka sama Regar. Kesel deh Hantu yang ga jelas gitu aja bisa dekat sama Regar. Lah gue yang udah jelas-jelas kaya gini ga pernah dianggap ada sama Regar. Mereka bertiga tak menyadari keberadaan gue. Mereka bermain dengan bersemangat. Mereka juga saling bersenda gurau dalam bermainnya. Regar juga lebih banyak berekspresi, biasanya kan mukanya datar mulu.  Gue  jadi seneng lihatnya. Hantu yang ngikutin Regar duduk di bangku penonton diseberang gue. Jadi ga cuma gue yang nonton mereka main basket. Setelah beberapa menit mereka bermain basket. Gue lihat mereka memutuskan untuk break sebentar. Chandra masih bermain basket, Kevin tertidur di bawah ring, dan Regar mengambil sebotol air di dalam tasnya. Tas Regar letaknya dekat dengan tempat hantu itu duduk. Mata hantu itu mengikuti  kemana pun Regar pergi. Ngeselin banget sih Hantu itu lumayan cantik. Hanya saja dia hantu, secantik apapun tetap saja seram. Wajahnya juga dari tadi datar. Kembali, atensi gue tertuju pada Regar. Dia tengah meminum airnya dengan gaya yang benar-benar bikin mata terhipnotis. He's look so hot Keringat yang bercucuran dari pelipisnya, dan terus turun ke lehernya. Angin sepoi yang menerpa wajahnya membuat rambutnya tertiup. Mata gue benar-benar dimanjakan dengan pemandangan ini. Semua seolah terjadi secara slow motion. Gue segera menggeleng-gelengkan kepala setelah sadar dari kegilaan yang haqiqi ini. Regar menuangkan sisa air yang ada dibotol itu ke kepalanya. Airnya pun bercucuran sampai ke dadanya. Bajunya yang terkena air itu, membuat gue bisa lihat d**a bidangnya. Kalau cewek lain lihat mungkin udah teriak-teriak kaya orang kesurupan. Gue sendiri telah menahan agar tak mengeluarkan suara. Gue cuma bisa menelan ludah berkali-kali. Gimana bisa dia semenggoda itu? "Tolong dia," suara itu menyadarkan gue bahwa gue tak sendiri di sini. Gue menoleh ke arah kiri dimana suara itu berasal. Ternyata di samping gue adalah hantu bunuh diri yang sering bergentayangan. Orang yang melakukan bunuh diri, arwahnya akan selalu melakukan tindak bunuh dirinya setiap hari di jam yang sama sampai ajal yang sesungguhnya datang. Gue melihat jam ditangan gue. Sekarang sudah saatnya dia pergi ke balkon atas sekolah dan menjatuhkan dirinya. Namun, mengapa dia masih disini? Mana dia juga ngeliatin Regar lagi. Huh "Ngapain lo masih di sini?" tanya gue ketus, tanpa melihat ke arahnya. Penampakan hantu bunuh diri di samping gue tak terlalu menakutkan. Dia hanya terlihat pucat dan transparan. Tapi gue ga tau kalau dia sudah menunjukkan penampakan aslinya. Mungkin gue udah pingsan duluan. Energi yang gue rasakan pun penuh dengan kesedihan dan dendam. "Mungkin kamu tau mengapa aku sudah tak melakukan 'itu' lagi," gue berpikir sejenak. Apa ajalnya sudah datang? Mengapa dia masih di sini? "Ajal lo udah nyampe?" dia tak menjawab. Tiba-tiba gue merasa gelisah sendiri. "Lindungi dia," ucapnya lirih. Apa sih maksudnya? "Hanya dia yang bisa menolong kami," ucapnya menunjuk Regar. Hantu ini kenapa sih? "Maksudnya?" "Hanya dia yang bisa membebaskan kami," gue menoleh ke arahnya. Gue ga ngerti apa maksudnya. "Membebaskan? Apa kalian dijebak? Atau malah terjebak? Apa itu sebabnya lo masih disini sekarang?"  Tanpa menjawab pertanyaan dari gue dia sudah menghilang. Meninggalkan gue yang masih kebingungan dengan apa yang dia tuturkan. Kenapa gue harus ngelindungi Regar, orang dia gapapa ini kok. Gue kembali menoleh ke arah Regar. Gue lihat dia tengah menyibak-nyibakkan bajunya. Detik berikutnya dia membuka bajunya, memperlihatkan otot sixpack-nya. Mata gue. Haduh mata gue. Gue membelalakkan mata melihat kejadian itu. Seketika gue jadi mengingat masa depan, dimana gue nyium Regar duluan. Gue menggeleng-gelengkan kepala pelan. Setelah itu, gue memutuskan untuk pulang sebelum mata gue yang polos ini semakin ternodai. *** Sampai di rumah gue perhatikan Mbak Airin sedang memasak. Gue membersihkan diri selagi Mbak Airin memasak. Entah mengapa gue merasa jadi orang yang paling membebankan. "Mbak," gue mencoba untuk menyapanya. Mbak Airin masih berkutat dengan piring-piring kotor. "Kamu ikut aja campingnya," ucapnya seakan tau isi pikiran gue. "Biayanya mahal, Mbak. Aku ga mau jadi beban," setelah itu, Mbak Airin menghentikan aktivitasnya. "Tugas kamu itu cuma belajar. Kamu jangan sibuk mikirin biayanya. Mbak akan usahakan, biar kamu ga terus dikucilkan di sekolah kamu" "Ga ikut camping pun aku tetap dikucilkan. Ga ada pengaruhnya, Mbak." "Lili!" bentaknya keras. "Apa Mbak tau perlakuan mereka selama ini gimana? Mau aku ga bikin masalah pun mereka tetap akan membuatku seperti orang yang bermasalah. Keperluan kita lebih penting dari pada camping ini, Mbak." "Kamu ikutin aja peraturan dari sekolah dan jangan banyak ngebantah! Jangan egois!" "Bener kan aku cuma jadi beban," ucap gue lirih "Masuk ke kamar kamu sekarang!" perintahnya ketus "Kapan sih Mbak mau dengerin aku?" Setelah itu gue memasuki kamar dan menutup pintu dengan keras. Gue membaringkan tubuh di kasur dengan nyaman. Terlalu kesal untuk memikirkan nasib kedepannya seperti apa. Gue hanya memandang dalam langit-langit kamar. Lama-lama gue rasa kantuk pun mulai melanda. Gue pun memejamkan mata secara perlahan. *** Gue membuka mata, terbangun karena rasa kering di kerongkongan gue. Suasana di kamar gue juga semakin terasa panas dan sesak. Terbukti dari banyaknya keringat gue yang bercucuran. Sepertinya gue harus segera minum agar tidak dehidrasi. Dengan sedikit menguap, gue pun berjalan terhuyung-huyung menuju dapur. Dari setengah kesadaran ini, samar-samar gue mendengar tangisan. Gue memekan indra pendengar gue untuk mengetahui dari mana sumber tangisan itu. Saat sumber suara sudah semakin dekat, dari situ gue tahu bahwa tangisan itu berasal dari kaka gue sendiri. Mengapa dia menangis seperti ini? Posisinya yang membelakangi gue, membuat gue kesulitan untuk melihat apa yang dia lakukan. “Lili sudah besar ma, pa,” ucapnya disela tangisnya itu. Setelah gue menelisik lebih jauh, ternyata Mbak Airin memegang sebuah foto keluarga. Dalam foto itu terdari dari mama, papa, Mbak Airin yang masih remaja, dan gue yang masih berusia lima tahun. Dan foto itu diambil seminggu sebelum mama dan papa pergi untuk selama-lamanya. “Dia tumbuh menjadi gadis yang cantik dan cerdas tentunya. Mama dan Papa pasti bangga,” ucapnya sambil mengusap foto itu. “Tapi maaf, Airin belum membuatnya bahagia. Airin bahkan tak mengenal ‘bahagia’ itu lagi setelah kalian pergi,” ucapnya sambil terus menangis. “Mengapa kalian meninggalkan kami? Bagaimana kami melalui semua itu tanpa kalian? Bagaimana aku mengatakan pada Lili bahwa aku menyayanginya?” Gue menutup mulut mendengar itu. Jadi ini yang dia tangiskan. Dia masih memikirkan gue disaat gue telah membuatnya menangis seperti ini. Tanpa sadar pun air mata gue juga turut mengalir. Setelah itu, hanyalah tangisan yang menemani malamnya. *** Sekarang waktunya istirahat dan gue hanya berdiam diri dikelas. Gue sendirian, karena Mark tidak masuk sekolah. Entah mengapa? Gue memperhatikan murid-murid yang bermain basket di bawah sana. Sampai gue merasakan bangku gue di tendang. Gue menoleh ke arah si penendang. Siapa lagi kalau bukan Naya pelakunya. "Gue denger lo ikut camping juga ya?" ucapnya sambil tersenyum sinis. "Lo tahu kan, orang kaya lo ga pantes ikut begituan," gue hanya diam dan menunduk. Lalu dia menjambak rambut gue memaksa gue menatapnya. "Dan lo tetap akan ikut? Maksud lo apa hah? Lo mau nyaingin gue di acara cerdas cermatnya?" ucapnya penuh penekanan. Gue hanya bisa meringis dan menahan tangannya agar tak menarik terlalu keras. Tiba-tiba Maudy dan Jihan membawa Yovna ke kelas. Yovna yang di seret pun memberontak. Tapi mereka berdua menahan Yovna lebih keras dan akhirnya pun Yovna tak berkutik. Yovna itu teman sekelasnya Mark. Bisa dibilang dia itu Dewi-nya sekolah karena parasnya yang ayu bak artis Korea itu. Dengar-dengar kabar burung, ada yang bilang Regar juga menyukainya. Gue sih ga heran, memang secantik itu orangnya, "Jaga di depan kelas jangan sampai ada yang masuk!" perintah Naya dan langsung mendorong gue. Setelah keluar dari kelas gue pun menutup pintu. Gue menghalangi setiap anak yang ingin masuk dengan tetap menunduk. Jadi gue ga lihat orangnya. "Jangan masuk!" itulah yang gue ucapkan saat ada yang ingin masuk. Mereka sepertinya sudah tahu akan hal ini. Karena mereka tidak protes saat gue melarangnya masuk. "Jangan masuk!" ucap gue saat melihat langkah kaki yang menuju arah kelas. Tapi kali ini anak itu tetap diam di hadapan gue. Gue pun menatapnya. Regar Yovna kan cewek yang dikejar Regar. Haduh gimana nih? "Minggir!" ucapnya ketus tanpa melihat gue. "Ta.. Tapi Naya ga bolehin siapa aja masuk," cegah gue saat dia melangkahkan kakinya. Setelah itu dia mencondongkan wajahnya pas di depan wajah gue. Reflek gue pun memundurkan wajah dan membelalakkan mata. Untuk beberapa detik gue terpaku pada mata coklat indahnya yang terlihat jelas saking dekatnya. "A..aa ap," gue terbata hanya untuk mengatakan 'apa'. Lidah gue serasa kelu. "Minggir!" ucapnya sambil menggeser gue. Lalu dia memasuki kelas, setelah itu gue tak tahu apa yang terjadi di dalam sana. "Lili. Lo sama Regar ngap-" gue langsung menutup mulut Senju. "Sssttt," gue meletakkan telunjuk di depan mulut untuk mengingatkannya. "Gue lihat semuanya," kata Senju sambil menunjukkan wajah paniknya. Ya Tuhan jantung gue.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD