Episode 2 : Buku Usang Pemberian Shean

1420 Words
“Pernikahan Tuan Putri Rosella, wanita yang menikahi kakaknya sendiri ...?” Episode 2 : Buku Usang Pemberian Shean *** Derap langkah sepasang kaki berbalut sepatu flat, mengusik keheningan sebuah rumah megah berarsitek Eropa dan di beberapa sudutnya dihiasi patung dewa berukuran melebihi ukuran tubuh manusia. Di tengah suasana minim penerangan kecuali lampu remang di setiap sudut ruangan, langkah itu menjadi memelan tatkala akan menuruni anak tangga. Bahkan, gadis bertubuh semampai yang mengenakan sepatu flat berwarna merah tersebut, sengaja melepas sepatunya, memegangnya erat masing-masing di tangan, kemudian menapaki satu persatu anak tangga yang akan mengantarkannya ke lantai bawah. Setelah harap-harap cemas bahkan buih keringat sampai mengalir dan berjatuhan dari ujung kepalanya, hamparan pintu dua muka berwarna putih di hadapannya menjadi tujuan akhirnya. Namun, ketika jarak hanya tinggal tiga meter, suara ceklek tanda terbukanya kunci diikuti kedua muka pintu yang terbuka dari luar, membuat gadis tersebut terdiam tak ubahnya patung. Mata besarnya bergetar menatap tak percaya sesosok tinggi tegap yang membelakangi sorot lampu dari luar, di tengah jantungnya yang kembali berdegup kencang di setiap pertemuan mereka. “Shelena, kendalikan dirimu. Jangan sampai Kak Shean tahu kalau kamu ... mencintainya!” batin Shelena. “Membawa ransel dengan dandanan rapi,” ucap pria itu terdengar berwibawa kemudian memastikan waktu melalui arloji yang menghiasi pergelangan tangan kirinya. “Sudah pukul ...,” lanjutnya tertahan. Tentunya, tanpa melihat atau mengatakan waktu yang baru saja ia pastikan, sedangkan jam klasik di sudut ruang keberadaan mereka juga berdendang tak lama setelah ia memastikan waktu, membuat wanita di hadapannya sadar diri. Sudah nyaris perlepasan hari, apa maksud Shelena selaku gadis di hadapannya dan merupakan adiknya, justru terkesan akan melarikan diri dengan ransel yang menghiasi punggung? Shean berdeham kemudian merentangkan kedua tangannya—posisi akan memeluk—yang pada tangan kanannya menenteng tas kerja. “Selamat ulang tahun, Shelena ... kemarilah.” Embusan angin dari luar menyibak rambut sepinggang Shelena yang hampir di setiap kesempatan selalu tergerai. Shean terpaku menatap adik semata wayangnya. Kedua mata besar dengan bulu mata yang begitu lentik itu berkedip sendu dan terlihat begitu jernih walau dalam suasana yang remang. Sedangkan bibir mungil berisi warna merah jambu di bawah hidung yang memiliki pahatan sempurna, berangsur mengerucut. Shean tahu, bila sudah seperti itu, Shelena sedang kesal kepadanya. Bahkan gadis yang ia anggap sebagai gadis kecilnya dan baru menginjak usia dua puluh tahun, marah kepadanya. Menjadi satu-satunya keluarga setelah ibu mereka tiada setelah melahirkan Shelena, sedangkan Roy ayah mereka tidak pernah peduli pada hal lain kecuali bisnis, tentu keduanya menjadi begitu dekat. Selain Shean yang sangat menyayangi Shelena, Shelena juga begitu peduli dan akan menyiapkan segala keperluan pria berusia dua puluh enam tahun itu. Shean dan Shelena selalu menyempatkan waktu walau hanya sepuluh menit dalam seharinya, untuk mengobrol, dikarenakan semakin ke sini, Shean semakin sibuk. “Ya ... ya ...,” ujar Shean mengalah sambil menghampiri Shelena tanpa mengubah kedua tangannya yang siap mendekap tubuh Shelena. Shelena menyerahkan diri dan mendekap erat tengkuk Shean. Saking semangatnya, Shean sampai membuat tubuh Shelena berputar dan melayang di udara. Kenyataan yang langsung membuat hati Shelena berbunga-bunga mewakili senyum lepas yang mengguncang wajah cantiknya. “Selamat ulang tahun, Lena,” ucap Shean sambil mengulas senyum dan menatap Shelena dengan jarak yang terlampau dekat, sedangkan sebelah tangannya menahan sebelah tangan Shelena. “Kak Shean tega! Ulang tahunku dua hari lagi, tetapi Kakak justru sudah mengucapkan dua kali yang berarti usiaku sudah bertambah dua tahun!” Shelena merajuk. Ia benar-benar lupa mengenai misi kaburnya demi menghindari perjodohan, hanya karena kebersamaannya dengan Shean, apalagi kali ini Shean kembali peduli sekaligus memanjakannya. “Selamat ulang tahun, Lena. Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun ....” Shean sengaja terus mengulang ucapannya hingga akhirnya ia berkata, “sudah dua puluh enam tahun, berarti umur kita sama!” soraknya jail. Sedangkan yang bersangkutan menjadi semakin jengkel. “Kalau umur kita sudah sama, ayo kita menikah! Bukankah dulu, Kakak janji kepadaku, akan menikahiku setelah aku dewasa?” Shean tergelak dan sampai menggunakan sebelah tangannya untuk membekap mulut demi mengendalikan tawanya. Masih ia ingat, janji-janjinya pada Shelena di setiap menenangkan Shelena yang menangis karena kesepian. Melihat balasan Shean, Shelena patah hati. Sudah ia duga jika janji-janji Shean di masa lalu memang hanya janji untuk menenangkannya. Bodohnya, hingga detik ini, Shelena masih percaya jika suatu saat, Shean akan menikahinya. “Sebentar,” ucap Shean yang kemudian membuka tasnya.  Shean mengeluarkan sebuah buku usang yang ukurannya tebal sekaligus lebar menyerupai buku mewarnai untuk anak-anak. “Ini hadiah untukmu. Tetapi aku masih punya banyak hadiah dan baru akan aku berikan besok,” ucap Shean sembari memberikan bukunya. Shean masih sibuk mengendalikan tawanya. Shelena menerimanya. “Buku? Ini terlihat sangat tua?” ucapnya sembari mengamati buku yang ia tafsir berberat nyaris satu kilo gram. “Aku memesan itu. Itu yang kamu inginkan, kan?” balas Shean santai sambil mengunci kembali tasnya. “Memangnya aku pernah minta hadiah bahkan hadiah ulang tahun pada Kakak? Nggak, tuh!” tepis Shelena. “Baca baik-baik bukunya. Itu yang kamu mau, kan?” balas Shean. Shelena mencebik kemudian membaca judul buku yang ia dapatkan dari Shean. “Pernikahan Tuan Putri Rosella, wanita yang menikahi kakaknya sendiri ...?” “Nah, janjinya sudah Kakak kabulkan, kan?” sela Shean, setelah Shelena membaca judul bukunya. Shelena tersenyum masam. “Sudah kuduga. Kak Shean memang nggak pernah serius apalagi mencintaiku. Kalau dia mencintaiku, mana mungkin ada Kak Fify. Wanita yang Kak Shean cintai hanya Kak Fify!” batin Shelena mencoba menyadarkan dirinya sendiri. Dengan d**a yang menjadi terasa sesak, Shelena berdeham. “Kapan, Kakak menikah? Memangnya, Kak Fify nggak mau cepat-cepat menikah dengan Kakak?” Shean menertawakan pertanyaan Shelena. “Kamu ini kenapa?” Sebelah tangannya mengacak puncak kepala Shelena. Shelena tetap diam dan kenyataan tersebut membuat Shean bingung. Biasanya adik perempuannya itu akan sangat marah atau setidaknya merajuk ketika ia mencubit atau mengacak susunan rambut panjang yang selalu tergerai cantik itu. Namun kini? Shelena tetap diam. “Baiklah. Aku dan Fify belum ada rencana menikah. Memikirkannya saja belum,” ucap Shean enteng layaknya apa yang baru saja ia sampaikan. Shelena mengulas senyum kemudian berdeham. “Berarti, aku akan lebih dulu menikah karena hari ini Papa menerima lamaran untukku, sedangkan dalam waktu dekat, aku akan segera menikah.” Mengatakan itu, hati Shelena terasa begitu sakit. Bahkan ia sampai menangis tanpa berani menatap Shean. Meski sempat terkejut, Shean kembali menertawakan Shelena. “Apakah pria itu aku?” godanya. Karena selama ini, Shelena benar-benar tidak mengenal dunia luar. Jadi, mustahil jika gadis di hadapannya tiba-tiba akan menikah. “Kalau boleh, aku maunya begitu. Tapi lihat saja nanti,” balas Shelena yang memilih buru-buru meninggalkan Shean lantaran ia sudah tidak bisa mengendalikan tangisnya. “Shelena menangis?” batin Shean. Dan Shean yakin itu.  “Dia serius akan menikah? Memangnya Papa menerima lamaran dari siapa?” Shean masih sibuk berbicara dalam hatinya.  “Apa ini hanya akal-akalan Shelena yang marah padaku, karena aku tidak menepati janji?” Shean melepas kepergian Shelena yang sampai berlari dalam menaiki anak tangga dengan hati yang begitu risau. Ia merasa bersalah karena dulu memberikan janji palsu pada Shelena. Apa yang Shean takutkan kini, membuat pria itu teringat pada kejadian di masa lalu. Lebih trpatnya, lejadian lima belas tahun lalu ketika Shean memberikan janji palsu kepada Shelena kecil. “Aku ingin main. Aku ingin pergi ke tempat yang sangat jauh. Aku ingin bebas seperti Kakak! Aku ingin hidup jauh dari Papa dan menikah dengan Kakak!” teriak Shelena kecil. “Iya. Suatu saat, Kakak akan mengajakmu pergi ke tempat yang jauh. Kita akan menikah dan hidup jauh dari papa. Jadi, sekarang jangan menangis, ya?” balas Shean berusaha menyeimbangi. “Iya. Aku sayang Kakak. Aku sayang Kak Shean!” Shelena keci menjadi begitu girang. “Tapi kapan, kita menikah, Kak?” Bahkan Shelena kecil menjadi tidak sabar. “Kelak, setelah kamu dewasa, kita akan menikah!” janji Shean remaja. “Kalau begitu, aku akan cepat dewasa agar cepat menikah dengan Kakak, terus kita hidup bahagia tanpa papa!” sambut Shelena kecil yang seketika mendekap erat Shean. Shean masih ingat, saat itu, tubuh kecil Shelena langsung loncat kegirangan dan ia juga dengan sigap menyambut hingga kebersamaan mereka berakhir dengan tawa bahagia, di tengah hamparan rumput hijau di halaman rumah mereka yang sangat luas. Mengingat itu, Shean menjasi semakin resah. “Seharusnya aku enggak bohong dan enggak kasih janji palsu ke Shelena. Tapi kalau saja Shelena bukan adikku, tentu tidak perlu diminta, aku lebih memilihnya,” sesal Shean yang sampai merasa sangat bersalah. *** Di kamar, di balik pintu yang tertutup, Shelena terduduk sambil menangis terisak-isak. Gadis itu menekuk tubuhnya. Sedangkan buku usang pemberian Shean yang turut Shelena dekap, menjadi dibanjiri air mata gadis itu. Namun ada yang membuat Shelena bingung. Kenapa ia merasa ada yang bergerak-gerak bahkan terasa panas dan itu dari dekapannya?  Dan ketika Shelena memastikannya, ternyata buku itu penyebabnya. Buku usang berjudul Pernikahan Tuan Putri Rosella tersebut, terus bergerak bahkan terjatuh dari pangkuan Shelena. Buku itu tergeletak dalam keadaan terbuka. Di mana tak lama kemudian, dari buku tersebut juga sampai mengeluarkan cahaya yang begitu menyilaukan. “Apa ini? Kenapa bukunya sampai bercahaya, bahkan ... cahayanya menarikku untuk masuk?” batin Shelena. Shelena ingin berteriak, tetapi gadis itu tak kuasa melakukannya lantaran lidahnya menjadi kelu. Bahkan kedua tangan yang Shelena gunakan untuk menutupi wajah demi menghalau silau dari buku tersebut, mulai terasa panas seperti terbakar. #Bersambung ... Terus ikuti dan dukung ceritanya, yaa ^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD