Mas Moondy memang orang yang baik, beliau sopan, rajin ibadah, dan hormat pada orang tua. Baik itu orang tuanya sendiri ataupun orang tuaku. Maka tak heran jika orang tuaku suka memuji-muji mas Moondy dihadapan orang-orang. Mas Moondy pintar membawa suasana, layaknya orang yang berpendidikan tinggi maka pantas jika mas Moondy pandai berbicara.
"Bapak sama ibuk main-main ke Semarang, nanti Moondy ajak keliling Semarang. Sekalian kita piknik buk." Kata mas Moondy.
"Walah walah kamu kan di Semarang repot, sungkan to ya bapak ibuk kesana ngajak kamu piknik." Kata ibuku.
"Buat bapak sama ibu gak ada yang repot." Kata Mas Moondy dengan senyum yang aduhai bikin aku jadi ikut deg-degan.
Keluargaku bukan keluarga yang berada. Kehidupan kami jauh berbanding terbalik dengan keluarga mas Moondy. Tapi setidaknya kami bukan termasuk golongan orang yang kekurangan.
"Mau ya nduk. Moondy orang yang baik lho. Masa depan kamu juga akan baik kalau sama dia." Bujuk ibuku.
"Aku belum mau nikah buk, aku mau fokus kerja kemudian melanjutkan pendidikanku." Tolakku halus.
"Kamu tidak perlu kuliah lagi jika menikah dengan Moondy. Dia kan sudah mapan. Keluarganya juga kaya nduk."
"Aku tidak suka buk terlalu menggantungkan hidupku sama orang lain, selagi aku mampu selagi aku bisa aku akan berusaha bu."
"Nduk." Bapak mulai bicara setelah daritadi diam mendengar pembicaraanku dengan ibu.
"Perjodohan ini keinginan dari kakeknya Moondy. Dan itu berarti ini adalah wasiat orang yang sudah meninggal. Dan kalau bisa kita yang masih hidup mengabulkannya." Lanjut bapakku.
"Wasiat apa maksud bapak ?"
"Dulu kakeknya Moondy kecelakaan, dan bapakmu ini yang menolongnya, bapak yang bawa dia kerumah sakit dan merawatnya sampai keluarga besarnya datang. Dan alhamdulillah beliau selamat." Bapak kembali melanjutkan.
"Tapi kan sekarang juga sudah meninggal juga pak, jadi untuk apa harus dikabulkan juga ?"
"Tapi meninggal karena usia pak. Bukan karena kecelakaan itu."
"Pelangi dengar bapak dulu, wasiat terakhir sebelum kakek Moondy meninggal adalah menikahkan salah satu cucunya dengan salah satu anak bapak."
"Lalu kenapa harus Pelangi pak ?" Protesku.
"Ya karena kamu adalah anak tertua bapak. Ndak mungkin to bapak jodohin Moondy sama Embun ? Kan dia masih SMP nduk."
"Tapi kami kan belum saling kenal pak ?"
"Nanti kan kenalan dulu. Tidak juga hari ini langsung menikah." Kata bapak.
"Masalah cinta, itu bisa hadir seiring waktu. Witing tresno jalaran soko kulino. Jangan lupa sama pepatah itu nduk." Lanjut ibuk.
"Tapi selisih umur kita jauh pak." Kembali aku mencari alasan untuk menolak perjodohan ini.
"Hanya 10 taun. Tidak begitu jauh. Justru menikah dengan orang yang lebih dewasa itu malah lebih bagus. Suamimu bisa lebih ngemong kamu. Sama kaya bapak dan ibumu. Ketika yang satu sedang emosi tinggi yang satu bisa meredam. Dan itulah yang membuat keluarga menjadi harmonis." Kata ibu.
Aku mendengus kesal sebelum akhirnya meninggalkan bapak dan ibuku. Aku sudah tidak ada alasan lagi untuk menolak perjodohan ini.Jika bapak ibuku sudah bilang IYA maka pasti wajib harus terjadi. Tidak ada alasan apapun untuk menolaknya. Dan pada akhirnya pernikahan itupun terjadi.
*****
Keputusanku sudah bulat. Ada 2 koper besar dan 1 tas kecil yang sudah kupersiapkan. Semua berisi pakaianku dan pakaian Cilla. Besok aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Jarak antara kosku dan rumah orang tuaku hanya berjarak sekitar 60 menit. Berbeda kabupaten tapi masih satu karesidenan. Aku memang sengaja memilih kota ini untuk pelarianku dari keluarga dan suamiku. Kota pariwisata yang memiliki banyak lowongan kerja tanpa memandang ijasah. Bukan tanpa sebab aku melarikan diri, semua karena aku butuh waktu untuk sendiri. Untuk mengambil keputusan bagaimana kelanjutan rumah tanggaku nanti.
"Kamu hati-hati ya Ngi. Maaf kalau selama disini ibuk banyak salah sama kamu." Kata ibu kosku.
"Enggak buk, justru Pelangi yang banyak ngrepotin ibuk. Pelangi pergi ya buk, suatu saat nanti kalau boleh Pelangi boleh main kembali kesini buk ?"
"Ya tentu boleh, dengan senang hati to Ngi. Jangan lupa ajak suami kamu."
"Iya buk. Pelangi pamit ya."
Setelah berpamitan dengan ibu kos dan teman-teman kosku selama ini akupun segera pergi. Dengan menggendong Cilla aku menaiki bus umum menuju rumahku. Berbagai bayangan akan pertanyaan kedua orang tuaku sudah memenuhi pikiran dan otakku. Aku tak perlu memikirkan jawaban apa yang akan kuberikan, karena aku akan menceritakan semua terlebih dahulu sebelum mereka bertanya kepadaku. Ya aku akan jujur pada mereka tentang segalanya yang terjadi padaku selama pernikahanku dengan mas Moondy.
****
Selama perjalanan dalam bus, aku kembali mengingat peristiwa 8 bulan lalu saat aku pergi meninggalkan rumah suamiku dan datang kerumah orang tuaku. Peristiwa yang sempat membuatku merutuki nasibku.
Hoek..... Hoek....
Dalam sehari aku bisa sampai 3x muntah. Kepalaku sering pusing dan tak jarang mataku tiba-tiba menggelap.
"Kamu sakit nduk?" Tanya ibuku kuatir.
"Ndak tau buk, kepalaku pusing, perutku mual terus." Jawabku sambil terus memegang kepalaku.
"Ke dokter aja nduk, biar bapak yang antar."
"Ndak usah pak, aku pakai buat tidur aja, paling besok sembuh."
"Ibuk telponkan suamimu ya nduk. Biar dia jemput kamu."
"Eh gak usah buk. Mas Moondy lagi repot. Pelangi gak mau ganggu mas Moondy cuma gara-gara masuk angin buk." Jawabku ngasal.
"Yowes kalau gitu. Kamu istirahat dulu wae, besok nek gak sembuh ke dokter ya nduk." Kata ibu sambil mengelus tanganku.
"Njih buk."
Aku berbaring ditempat tidurku. Kubuka gawaiku, ku ketik di aplikasi google "tanda-tanda kehamilan" dan hasilnya pas ! Sama seperti yang kualami saat ini. Awalnya aku tidak berfikir sampai kesitu. Tapi entah kenapa semenjak peristiwa malam itu dan perubahan haidku membuatku berfikir kalau aku sepertinya hamil.
"Sial !" Aku bangun dari tempat tidurku, kuganti pakaianku dan kuambil tas slempangku. Aku berhampur keluar kamar dan mencari kunci motor milik bapakku.
"Mau kemana nduk ?" Tanya Ibuku.
"Ke apotik sebentar buk." Aku langsung menancap gas dan bergegas ke apotik yang jaraknya hanya 1 km dari rumahku. Kubeli tespek seharga Rp 3.500,- Rp 20.000,- dan Rp 35.000,- , sengaja aku membeli 3 tespek dengan harga dan merk berbeda dengan harapan hasilnya akan sama yaitu negatif.
Selesai memarkirkan motor di teras rumah, aku langsung berlari menuju kamar mandi, tak lupa kuambil air mineral yang isinya kubuang terlebih dahulu untuk wadah air seniku. Satu detik, dua detik, tiga detik, semakin lama hasilnya semakin terlihat begitu jelas. Dua garis merah. Dadaku memuncah mengetahui hasilnya. Aku menggeleng tidak percaya. Aku kembali masuk ke kamar dan menghamburkan diri di kasur sambil menahan tangis.
"Jam 11 siang. Mungkin hasilnya salah. Akan kucoba besok saat pipis pertama." Kusimpan sisa tespek yang kubeli tadi ke dalam tasku. Aku sungguh tak sabar menunggu hari esok. Aku berharap besok dua tespek yang kubeli hasilnya negatif. Kabulkan doaku Tuhan.
****
Aku mengerdipkan mataku begitu mendengar adzan subuh berkubandang. Sungguh semalam aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Pikiranku terus-terusan menuggu fajar tiba, tidak tau jam berapa tepatnya aku tertidur sendiri.
Kuambil tespek yang kusimpan kemarin, aku segera kekamar mandi dan kembali melakukan tes lagi. Aku sungguh terpukul begitu kedua tespek itu menunjukkan hasil positif. Aku manjatuhkan diri di kamar mandi. Aku terduduk lemas. Buliran air mata deras menjatuhi pipiku. Aku memukul-mukul perutku, tanda kebencianku pada kehamilanku. Aku benci anak ini. Aku benci mengandung darah daging Moondy.
"Pergi kamu dari perutku. Aku tidak sudi kamu disini." Kataku sambil menangis dan memukuli perutku.