Empat

1345 Words
Ara kini sedang berada satu mobil dengan kedua orang tuanya menuju rumah Rama. Sebenarnya dia takut rencana ini gagal. Rama tidak memberikan kepastian kepadanya. Pria itu hanya mengatakan kalau dia akan mempertimbangkannya. Tidak ada yang tahu kalau saat dia tiba di sana Rama malah menceritakan yang sebenarnya.  "Kamu yakin ini rumah pria itu?" tanya Andon saat mereka tiba di sebuah rumah kecil dan sederhana. Andon melihat sebuah motor sport terparkir di teras rumah itu. Rumah sekecil itu namun mampu membeli motor sport dengan harga puluhan juta. Andon merasa aneh. Dia meyakini kalau putrinyalah yang membeli motor itu. Mungkin sebagai hadiah atas sandiwara yang mereka lakoni. "Rama memang tinggal di sini, Pa." Andon mengangguk. Dia ingin melihat sejauh mana putrinya itu bersandiwara. Mereka kemudian turun dari mobil lalu Ara berinisiatif untuk mengetuk pintu lebih dulu. Terdengar sahutan dari dalam rumah kecil.  "Iya?" Rama membuka pintu dan mengerutkan keningnya melihat kedatangan tiga orang itu. Rama mengenal mereka kecuali wanita yang terlihat lebih tua. Siapa yang tidak kenal Andon Wijaya salah satu pengusaha di tanah air yang kekuasaannya cukup di perhitungkan. lalu Ara wanita yang akhir-akhir ini sering muncul di hdapannya.  "Hai, Rama. Boleh kami masuk?" tanya Ara seraya mengulas senyum manis di  bibirnya. Rama mengangguk masih dengan raut bingungnya. Ketiga orang itu masuk ke dalam rumah kecil Rama.  "Maaf saya tidak punya apapun untuk disajikan," ucap Rama pelan. Dia memang tidak belanja apapun. Rama baru saja kembali dari luar kota dini hari tadi. Andon tersenyum samar, dia menangkap bahwa Rama tidak tahu kalau mereka akan berkunjung.  "Tidak apa-apa. Kami datang bukan untuk meminta makan atau minum," kata Andon datar.  "Rama, kenalkan ini Papa sama Mama aku," kata Ara mengambil pembicaraan dengan cepat. Rama berdiri lalu menyalami kedua orang tua Ara. Sejenak Rama menoleh pada Ara dengan pandangan bertanya. Namun wanita itu hanya balas tersenyum tipis.  "Apa kita pernh bertemu sebelumnya? Kamu seprtinya tidak asing." Andon mengamati wajah Rama seraya mengingat-ingat di mana dia pernah bertemu dengan Rama.  "Saya Rama, Pak. Sekretaris sekaligus asisten Wingga Hadiantara." Andon mengangguk, pantas saja dia merasa pernah bertemu dengan pria itu. Mereka baru melakukan pertemuan minggu lalu untuk membahas kerja sama dengan perusahaan yang Wingga pimpin.  "Saya dengar kamu dekat dengan putri saya. Berapa usiamu?" tanya Andon. Dia pernah mendengar rumor kalau asisten Wingga sangat pintar dan kompeten. Banyak pengusaha yang penasaran dengannya terlebih pria itu masih sangat muda.  "Dua puluh tiga, Pak," jawab Rama. Tidak hanya Andon yang terkejut Amira juga terkejut mendengar usia Rama yang masih sangat muda dan berbeda tiga tahun dengan putri mereka. Ara tiga tahun lebih tua.  "Kamu terpaut tiga tahun dengan Ara. Apa itu tidak masalah bagimu?" tanya Amira penasaran. Jika tadi dia belum mendengar apa pekerjaan Rama, mungkin dia akan berpikiran kalau Rama hanya memanfaatkan putrinya. Namun sekarang itu terlihat tidak mungkin dilihat dari pekerjaan pria itu yang cukup menjanjikan. "Saya tidak masalah dengan usia, Bu."  "Jangan panggil Ibu. Tante Amira saja," kata Amira yang di angguki oleh Rama. Obrolan kemudian mengalir lancar. Ara yang paling banyak berbicara, Rama hanya menimpali lalu sesekali dia hanya mengangguk menjawab pertanyaan yang di lontarkan kedua orang tua Ara.  Andon kini sudah membaca situasinya. Bagaimana hubungan Rama dengan putrinya. Rama terlihat bingung dan tidak tahu banyak tentang Ara sementara Ara seperti mengetahui informasi tentang Rama hingga paling kecil sedikit pun. Sepertinya dia sudah meminta orang untuk menyelidiki Rama. Andon yakin kalau Ara hanya memanfaatkan kelemahan Rama. *** Rama sedang berkutat di dengan pekerjaannya saat ponselnya berdering keras hingga mengejutkannya. Rama menoleh sejenak lalu mengabaikan ponselnya karena nomor yang masuk tidak memiliki nama alias nomor baru.  "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Rama melihat Wingga yang berdiri di hadapannya. Wingga mengangguk.  "Dering ponselmu sangat menggagu," kata Wingga lalu pria itu berlalu masuk ke dalam ruang kerjanya. Rama menoleh pada ponsel yang terus berdering dari nomor yang tidak di kenal itu. Rama mengambil ponselnya lalu menyentuh layar ponselnya menerima panggilan itu.  "Halo." Rama menjepit ponselnya diantara bahu dan kupingnya.  "Rama, maaf mengganggu kamu. Ini saya Andon, papanya Ara. Saya ingin meminta waktu kamu untuk makan siang bersama. Apa kamu ada waktu?" Gerakan tangan Rama yang menari di atas keyboard terhenti. "Bisa, Om." Setelah berpikir beberapa detik Rama akhirnya menyetujui untuk bertemu dengan pria itu. Andon menyebutkan nama sebuah restoran sebagai tempat makan siang mereka. Rama melanjutkan pekerjaannya, masih ada waktu satu jam sebelum jam makan siang.  "Ram, saya istirahat duluan, iya," kata Wingga yang baru keluar dari ruang kerjanya.  "Baik, Pak," jawab Rama. Sejak tadi pagi memang Wingga sudah mengatakan kalau dia akan istirahat lebih awal. Pasalnya atasannya itu sekarang lebih sering makan siang di rumah bersama istrinya. Rama melihat penunjuk jam dia layar komputer. Dia segera membereskan pekerjaannya mematikan komputernya lalu keluar dari ruangannya. Rama melajukan motornya menuju restoran yang Andon sebutkan di telepon tadi. Menempuh waktu lima belas menit dari gedung perusahaan Wingga. Rama kini tiba di depan restoran Italia. Sejak bekerja di sebelah Wingga, Rama tidak lagi terkejut memasuki restoran yang berlabel bintang lima. Rama sering menyusun pertemuan bisnis sekaligus makan siang dengan para klien mereka. Rama bahkan punya list dari restoran yang paling mahal hingga paling murah. Hal itu memang dibutuhkan karena lidah para kliennya tidaklah sama. Mereka memiliki ragam makanan yang mereka sukai.  "Selamat siang, Mas," sapa waiters yang berjaga di pintu menyapa Rama dengan ramah. "Sudah reservasi?" tanya waiters itu lagi. Rama mengangguk kecil. "Atas nama Andon Wijaya," kata Rama. Wanita memeriksa cacatannya sejenak.  "Baik, meja nomor delapan iya, Mas." Waiters tersebut kemudian menuntun Rama ke meja nomor yang dia sebutkan tadi. "Kamu sudah datang?" tanya Andon basa-basi. Rama mengangguk lalu duduk di hadapan Andon. Tidak lama setelahnya waiters datang membawa makanan yang sudah Andon pesan.  "Saya sudah memesan makan, semoga kamu suka." Andon mengerti waktu untuk berbicara dengan Rama tidaklah banyak. Waktu istirahat hanya satu jam. Andon tidak ingin membuang waktu bahkan satu detik sekali pun.  "Terima kasih, Pak." Rama tidak masalah dengan menu yang di pilihkan Andon. Dia bukan orang pemilih dalam hal makanan.  "Saya menemui kamu bukan untuk masalah pekerjaan jadi, panggil saya Om saja."  "Baik, Om."  "Saya ingin tahu, apa yang Ara tawarkan ke pada kamu sehingga kamu mau mengambil peran dalam sandiwara ini?" Rama baru saja ingin menyuap makannnya, namun urung dia lakukan karena pertanyaan Andon.  "Sandiwara? Saya tidak mengerti apa yang Om katakan." Andon tersenyum kecil. Reaksi Rama begitu natural entah apa yang Ara katakan sehingga pria itu mau menjadi tameng untuk menutupi hubungan Ara dengan Dirga.  "Sejak kapan kamu kenal dengan putriku?"  "Belum lama ini," jawab Rama jujur.  "Umurmu masih sangat muda, kenapa kamu mau menjalin hubungan dengan Ara yang usianya terpaut tiga tahun lebih tua dari kamu?" Rama menatap Andon sejenak, haruskah aku jujur? Tanya Rama dalam hatinya.  "Saya tidak memiliki jawaban yang tepat. Semua berjalan begitu saja," jawab Rama tidak yakin.  "Saya tidak percaya dengan hubungan kalian. Karena itu saya ingin tahu apa yang Ara janjikan kepada kamu? Uang atau jabatan?" Rama tersenyum. Dia sudah menebak pertanyaan ini sejak awal jadi, dia tidaka begitu kaget.  "Sebelum saya menjawab pertanyaan Om. Ijin saya bertanya lebih dahulu."  "Silahkan," kata Andon mempersilahkan Rama mengeluarkan satu pertanyaannya untuknya. "Apa Om memiliki riwayat penyakit jantung?" Wajah bingung Andon adalah hal yang pertama Rama lihat. Namun ekspresi bingung itu tidak memberikan jawaban bagi Rama.  "Saya tidak mengerti kenapa kamu bertanya seperti itu. Akan tetapi akan saya jawab pertanyaan kamu. Saya tidak memiliki riwayat penyakit jantung atau penyakit lainnya. Saya sehat dan bersih," jelas Andon. "Om yakin tidak sakit jantung?" tanya Rama lagi memastikan. Gelengan tegas Andon membuat Rama mendengus kesal. Mutiara, wanita itu membohonginya. "Karena Om sudah menjawab pertanyaan saya. Maka saya juga akan menjawab pertanyaan Om tadi. Ara tidak menjanjikan apapun pada saya. Baik uang maupun jabatan, kami tidak pernah membahasnya." Setelah mengetahui kenyataa ini, Rama akan berpikir ulang untuk menikah kontrak dengan Ara.  "Apa Ara mengatakan kalau saya punya penyakit jantung?" Rama mengangguk sebagai jawaban.  "Saya juga setuju menikah dengan Ara. Dia mengatakan kalau penyakit Om membuat om tidak akan hidup lebih lama lagi." Perkataan terkahir itu tentu saja hanya karangan Rama saja.  "Anak kurang ajar," maki Andon pelan. Tidak menyangka kalau dia dijadikan alat untuk membohongi Rama.  Bersambung...

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD