Bab 1

1240 Words
Ada sepotong waktu yang dikenal dengan baik oleh yang menantikannya, waktu ketika kegelapan menyibak selubung senja sepenuhnya, jalan- jalan menjelma sunyi. Bayang- bayang merapat, menyatu, melebur. Waktu ketika mereka yang menderita tak meyakini bahwa fajar akan datang. Setiap kota memiliki sudut pandang masing- masing, Osaka memiliki pemandangan yang penuh hiruk pikuk. Malam ini, saat sebagian besar kota di negara adidaya itu terlelap, sementara sungai mengalir tanpa suara ke laut, penjual bertubuh gempal itu bergegas menyusuri pertokoan besar seperti angin kering dan menderu. Di antara Kidomi dan Masada , ia menerobos masuk melewati gerbang besi tempa, menuruni gang sempit dan masuk ke dalam klub pribadi bernama ‘Heaven’ sejumlah pengawas di ruangan menatapnya sejenak, kemudian mengalihkan pandangan mereka. Dalam tatapan penjual itu, mereka melihat satu portal menuju jiwa-jiwa mereka yang gelap, dan mereka tau bahwa jika berurusan dengannya, bahkan semenit saja, urusan bisa panjang dan memusingkan. Bagi mereka yang mengetahui barang dagangannya, mucikari itu adalah misteri tetapi, bukan teka-teki yang menarik perhatian orang untuk dipecahkannya. Ia bertubuh tinggi, sekitar 180 sentimeter dengan bahu lebar dan besar, tangan kasar yang menjanjikan peringatan buat mereka yang berurusan dengannya. Ia memiliki rambut berwarna pink moon dan pupil berwarna cokelat hazel, mata yang akan berkilat menjadi sedikit merah terang dalam cahaya lilin, mata yang sanggup melihat seluruh cakrawala dengan satu lirikan, tanpa meluputkan suatu noktah pun. Di atas mata kanannya ada luka keloid berkilau, uMoon jaringan yang tak rata dalam bentuk huruf V terbalik, meregang karena otot-otot yang menyembul di punggungnya. Ia telah datang ke klub itu selama lima malam berturut-turut, dan malam ini akan bertemu dengan sang pembeli. Pertemuan tak mudah dilakukan di Heaven. Pertemanan adalah sesuatu yang asing. Penjual itu duduk di bagian belakang ruang bawah tanah yang apek, di depan meja kendati tak dipesan untuknya meja tersebut sudah menjadi miliknya secara kebetulan. Meski Heaven selalu dipenuhi pengunMoon dari berbagai bentuk dan keturunan, sangat jelas bahwa penjual tersebut berasal jadi jenis berbeda. Para bartender di balik meja menawarkan Mingus, Miles, Monk, dan sebagainnya untuk penjual itu. Langit-langit dengan lampion China bernoda dan kipas angin berselubung kertas bergambar serat kayu. Berwadah-wadah dupa gaharu dibakar tergabung bersama asap rokok, membirukan udara dengan aroma manis buah mentah. Pada pukul 03.10, dua orang pria memasuki klub itu. Salah satu pembeli dan salah satu anak buah. Mereka berdua bertemu pandang dengan penjual tersebut. Dan, mereka tahu sama tahu. Pembeli itu, bernama Keiya Kondoh. Seorang pria pendek, gemuk, dan mulai botak di usia lima puluhan akhir, dengan pipi kemerahan serta mata hitam gelisah. Dagunya berlipat menggantung seperti lilin yang meleleh. Ia sendiri mengenakan setelan yang tak pas di badan dan jari-jarinya berbonggol-bonggol karena radang sendi. Napasnya berbau busuk, giginya renggang dan kekuningan. Di belakangnya, berjalan seorang pria yang lebih besar bahkan lebih besar dari penjual itu. Ia memakai kacamata hitam yang memantulkan bayangan dan kemeja denim. Wajah dan lehernya dihiasi serangkaian tato khas yakuza. Tanpa sepatah kata pun, tiga pria itu bergabung lantas melangkah ke ruang penyimpanan. Ruang belakang Heaven sesak dan panas, dipenuhi kardus-kardus minuman tanpa merek, sepasang meja logam penuh goresan, dan sofa compang-camping berjamur. Satu kotak musik kuno memancarkan cahaya biru. Begitu masuk ruangan dan pintu ditutup. Pria besar yang memiliki nama jalanan Bansho itu dengan kasar meraba-raba sang penjual untuk mencari kabel dan senjata, berusaha memamerkan kekuasaan. Saat ia memeriksa, penjual itu memerhatikan tato tiga kata di pangkal leher Bansho. Tulisannya adalah ‘b******n untuk selamanya’. Ia juga memerhatikan gagang revolver Smith & Wesson warna krom di pinggang pria itu. Puas karena penjual itu tak bersenjata dan steril dari alat penyadap, Bansho melangkah mundur ke belakang Keiya, melipat tangan dan mengawasi. “Apa yang kau miliki untukku?” tanya Keiya. Penjual itu menimbang sebelum menjawab. Mereka sudah tiba pada momen transaksi, saat penjual harus berterus terang dan meletakkan dagangan di atas meja beludru. Penjual itu perlahan merogoh saku mantel kulitnya tak ada hal tersembunyi di situ dan mengeluarkan sepasang foto polaroid. Ia menyerahkan dua lembar foto itu kepada Keiya Kondoh. Keduanya adalah foto gadis remaja dengan pakaian lengkap dan pose mengundang. Yang satu bernama bernama Tamia, duduk di teras rumah petaknya sembari meniupkan ciuman pada si pemotret. Taeko, adiknya berpose menggoda di lapangan lari sekolahnya. Saat Keiya mencermati kedua foto itu, pipinya merona kemerahan sejenak napasnya tercekat di d**a. “Sungguh... cantik,” komentarnya. Bansho melirik ke arah foto itu dan tak menunjukkan reaksi apa-apa. Ia berbalik kembali menatap penjual itu. “Siapa namanya?” ujar Keiya mengangkat salah satu foto. “Tamia,” jawab penjual itu. “Ta-mia,” ulang Keiya memisahkan suku kata seolah hendak menemukan sari pati gadis itu. Ia menyerahkan kembali salah satu foto, lalu melirik ke arah foto di tangannya. “Ini manis sekali,” tambahnya. “Gadis yang nakal, menurutku.” Keiya menyentuh foto itu, meraba dengan lembut permukaan yang mengkilap dengan uMoon jarinya. Ia seperti terhanyut untuk sesaat, menghilang ke dunia khayalan lalu memasukkan foto itu ke sakunya. Ia teringat kembali kepada momen itu, kembali ke urusan yang tengah mereka lakukan. “Kapan?” tanya Keiya. “Sekarang,” jawab penjual itu. Keiya bereaksi penuh keheranan dan sukacita. Ia tidak menduga. “Dia ada di sini?” Penjual itu mengangguk. “Di mana?” tanya Keiya. “Dia ada di dekat sini.” Keiya Kondoh meluruskan dasi, merapikan rompi di atas perut buncitnya, mengatur sejumput rambut yang masih menempel di kepala. Menarik napas panjang, menemukan porosnya, lalu memberi isyarat ke arah pintu. “Mari?” Penjual itu mengangguk lagi, lalu memandang Bansho untuk minta izin. Bansho menunggu sejenak, memperkokoh statusnya lantas bergeser sedikit. Ketiga pria itu keluar dari klub berjalan menyeberangi Masada ke Hikuo. Mereka melanjutkan langkah menyusuri Hikuo, masuk ke lahan parkir kecil di antara bangunan-bangunan. Di lahan parkir itu ada dua kendaraan Van karatan dengan jendela kaca buram dan Chrysler model terbaru. Bansho mengangkat satu tangan, melangkah maju dan mengintip ke jendela Chrysler, ia berbalik dan mengangguk kemudian Keiya dan penjual itu melangkah menaiki van. “Kau membawa uangnya?” tanya si penjual. Keiya Kondoh menepuk sakunya. Penjual itu memandang sejenak di antara kedua pria itu, kemudian meraih ke saku mantel dan mengeluarkan seikat anak kunci. Sebelum memasukkan ke kunci pintu van, ia menjatuhkan sebuah kunci. Keiya dan Bansho secara naluriah ikut memandang ke bawah, sejenak perhatian mereka teralih. Berikutnya, secepat kilat dan penuh perhitungan. Penjual itu merunduk seperti ingin mengambil kembali kunci tadi. Namun, alih-alih meraih kunci ia mencomot sebatang besi yang telah disiapkannya di balik ban depan kanan, sore tadi. Saat bangkit, ia memutar badan dan menghantamkan besi itu ke bagian wajah tengah Bansho, ke tulang hidung pria itu menghasilkan gumpalan darah merah dan tulang rawan yang rusak. Itu adalah hantaman dengan kecermatan seorang ahli bedah, yang dirancang untuk membuat cacat dan melumpuhkan tapi, tidak membunuh. Dengan tangan kirinya, penjual itu mencabut revolver Smith & Wesson dari pinggang Bansho. Pusing dan sejenak kebingungan, bergerak dengan insting k**********n dan bukan akal sehat, Bansho menyerang penjual itu. Jarak pandangnya sekarang dihalangi oleh darah dan air mata yang mengalir begitu saja. Gerakan ke depan itu di sambut dengan gagang Smith & Wesson, diayunkan dengan kekuatan penuh. Hantaman itu membuat enam gigi gigi Bansho melayang ke udara malam yang dingin dan lantas berjatuhan ke lantai seperti mutiara yang terlepas Bansho meringkuk di atas aspal, merintih kesakitan. Sebagai pejuang, ia bergulung dan berlutut, ragu-ragu kemudian mendongak mengantisipasi pukulan maut. “Lari,” kata penjual itu. Bansho terpaku sejenak, napasnya sekarang tersengal satu-satu. Ia meludah penuh darah dan lendir. Ketika penjual itu mengokang senjata dan menempelkan larasnya ke dahi Bansho, centeng itu melihat betapa bijaksananya jika mematuhi perintah pria itu. Dengan susah payah, ia bangkit terhuyung menyusuri jalan ke arah Masada dan menghilang tak pernah sekali pun melepas pandangan dari penjual itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD