Bab 10

1330 Words
NAZARENE ACADEMY adalah sekolah putri Katolik terbe di Philadelphia. Dengan lebih dari seribu murid dari sembilan sampai dua belas. Menempati lahan seluas dua bel hektare di Philadelphia Timur Laut, sekolah itu dibuka  1928 dan, sejak saat itu, telah meluluskan sejumlah bintang antaranya para industrialis, politisi, dokter, pengacara, dan am Kantor-kantor administrasi untuk lima sekolah keuskupe lain berlokasi di Nazarene.   Ketika Lilian belajar di sana, sekolah itu menduduki pe ringkar pertama di kota ini. Secara akademis, memenangi semua lomba pendidikan di seluruh kota yang pernah diikuti memukau pemirsa televisi dalam College Bowl ketika satu kelompok remaja umur lima belas dan enam belas tahun dengan kawat gigi duduk di meja berhias taplak kerut dan menyuarakan perbedaan antara vas Etruscan dan vas Yunani, atau menjelaskan urutan Perang Crimean. waktu   Di sisi lain, Nazarene menjadi pecundang paling sial dalam lomba atletik di kota tersebut. Satu rekor yang belum werpecahkan, dan sepertinya tidak akan pernah tergoyahkan. Jadi mereka dikenal di antara para kaum muda Philadelphia, high hari ini, sebagai acar Kenka Yuta dan Lilian memasuki pintu utama, dinding   gelap mengkilap dan bentuk mahkota, dikombinasikan dengan aroma manis adonan makanan sekolah, menyeret Lilian kembali ke kelas sembilan. Meski ia selalu menjadi murid yang baik, dan sangat jarang bermasalah-bertolak belaka sepupunya. Angela, yang sering melakukan kenakalan ulasan kakar lingkungan akademis dan kedekatan dengan kantor kepala sekolah masih menggenangi benak Lilian dengan ketakutan yang tak jelas. la membawa pistol sembilan milimeter di pinggang hampir berumur tiga puluh tahun, dan ia ketakutan setengah mati. la membayangkan dirinya akan selalu seperti itu ketika memasuki gedung besar ini.   Mereka berjalan melintasi aula menuju ke kantor utama tepat saat kelas bubar, memuntahkan ratusan gadis berbalut tartan ke koridor. Kebisingan yang terdengar menulikan telinga. Lilian sudah 173 sentimeter dengan berat 62 kilogram di kelas sembilan-satu statistik yang dipertahankannya dengan susah payah hingga hari ini, turun atau naik 2,5 kilogram, kebanyakan turun. Saat itu, ia lebih tinggi dibanding 90 persen teman sekelasnya. Sekarang sepertinya separuh dari gadis-gadis di sini sama tinggi atau bahkan lebih tinggi ketimbang dirinya   Mereka mengikuti satu kelompok yang terdiri dari tiga gadis, menyusuri koridor, menuju ruang kepala sekolah. Ketika Lilian memerhatikan, ingatannya menjulur ke belakang, bertahun tahun silam. Saat itu, gadis paling kiri, yang berbicara sedikit terlalu nyaring pasti Tina Mannarino. Tina adalah gadis pertama yang melakukan manikur ala Prancis, pertama menyelipkan sekaleng schnapps peach ke dalam paduan suara Natal. Dara gemuk di sebelah Tina, yang menggulung bagian atas rok dan menentang aturan bahwa keliman harus tiga sentimeter dari lantai saat berlutut pasti Judy Babcock. Terakhir kali terdengar, Judy, yang sekarang adalah Judy Pressman, mempunyai empat anak perempuan Bicara soal rok pendek, Lilian pasti menjadi 170 பெசி   gadis yang paling kanan; sedikit terlalu tinggi, terlalu persegi dan kurus, selalu mendengarkan, memandang, memperhitungkan takut pada segala hal tidak pernah memperlihatkannya. Lima bagian sikap, satu bagian besi baja.   Para gadis itu membawa pemutar MP3, bukan Sony Walkman. Mereka mendengarkan Christina Aguilera dan Cent, bukan Bryan Adams dan Boyz II Men. Mereka mendesah saat melihat Ashton Kutcher, bukan Tom Cruise.   Oke, mereka mungkin masih mendesah ketika menatap Tom   Cruise.   Segalanya berubah   Tetapi ada yang tidak berubah.   Dalam kantor kepala sekolah, Lilian memerhatikan bahwa tak banyak yang berubah. Dindingnya masih suram dengan enamel motif kerang, udaranya masih dipenuhi bau campuran lavender dan pengharum ruangan aroma lemon.   Mereka bertemu kepala sekolah, Suster Veronique, seorang wanita penuh kewaspadaan di usia enam puluhan, dengan mata biru tajam dan bahkan gerakan yang gesit. Ketika Lilian bersekolah di sini, kepala sekolahnya adalah Suster Isolde. Suster Veronique mungkin kembaran dari biarawati terdahulu itu: gagah, pucat, dengan kepala selalu menunduk. la bergerak dengan keyakinan atas tindakannya, yang hanya bisa dilakukan berkar sekian tahun mengajar dan mendisiplinkan remaja putri.   Mereka memperkenalkan diri dan duduk di hadapan mejanya "Ada yang bisa saya bantu?" tanya Suster Veronique.   "Saya rasa kami membawa kabar kurang baik tentang salah   seorang murid Anda," kata Yuta. Suster Veronique dibesarkan di era Vatikan 1. Pada zaman itu berita kurang baik di sebuah SMU Katolik biasanya mengarah pada kebandelan kecil, merokok, menenggak minuman keras, terkadang kehamilan. Sekarang tak ada gunanya berspekulasi. Gadis yang paling kanan sedikit terlalu tinggi terlalu persegi dan kurus selalu mendengarkan memandang  memperhitungkan takut pada segala hal, tak pernah memperlihatkannya lima bagian sikap, satu bagian besi baja.         Para gadis itu membawa pemutar Mp3,  bukan sony walkman. Mereka mendengarkan AKB48 dan Yui Hakibara. Oke, mereka mungkin masih mendesah ketika menatap Ton Cruise   Segalanya berubah   Tetapi ada yang tidak berubah.   Dalam kantor kepala sekolah, Lilian memerhatikan bahwa tak banyak yang berubah. Dindingnya masih suram dengan enamel motif kerang, udaranya masih dipenuhi bau campuran lavender dan pengharum ruangan aroma lemon.   Mereka bertemu kepala sekolah, Suster Veronique, seorang wanita penuh kewaspadaan di usia enam puluhan, dengan mata biru tajam dan bahkan gerakan yang gesit. Ketika Lilian bersekolah di sini, kepala sekolahnya adalah Suster Isolde. Suster Veronique mungkin kembaran dari biarawati terdahulu itu: gagah, pucat, dengan kepala selalu menunduk. la bergerak dengan keyakinan atas tindakannya, yang hanya bisa dilakukan berkat sekian tahun mengajar dan mendisiplinkan remaja   putri. Mereka memperkenalkan diri dan duduk di hadapan mejanya.   "Ada yang bisa saya bantu?" tanya Suster Veronique. "Saya rasa kami membawa kabar kurang baik tentang salah seorang murid Anda," kata Yuta.   Suster Veronique dibesarkan di era Vatikan 1. Pada zaman itu berita kurang baik di sebuah SMU Katolik biasanya mengarah pada kebandelan kecil, merokok, menenggak minuman keras terkadang kehamilan. Sekarang tak ada gunanya berspekulasi.   Yuta mengangsurkan selembar foto polaroid close up wajah gadis itu. Suster Veronique melirik ke arah gambar itu, kemudian   dengan cepat mengalihkan pandangan dan membuat tanda salib   di d**a.   "Anda mengenali gadis ini?" tanya Yuta. Suster Veronique memaksa diri untuk memandang foto itu lagi. Tidak, maaf saya tidak mengenalnya. Tetapi kami punya seribu murid. Sekitar tiga ratus murid baru pada semester ini.   la terdiam sejenak, lalu mencondongkan tubuh dan menekan satu tombol di interkom di mejanya. "Tolong panggilkan Dr. Parkhurst dan minta datang ke ruanganku."   Suster Veronique jelas sangat terguncang. Suaranya agak   bergetar. "Apakah dia...?"   "Ya." kata Yuta. "Dia sudah tewas. Suster Veronique membuat tanda salib lagi. "Bagaimana dia... siapa yang. kenapa?" Perempuan itu berusaha mengeluarkan suara   "Ini masih penyelidikan awal, Suster."   Lilian melirik ke sekeliling ruangan kantor itu, yang boleh jadi persis seperti yang diingatnya la merasakan lengan kursi uang tempatnya duduk, menebak-nebak jumlah gadis yang dengan gelisah pernah duduk di kursi ini selama puluhan tahun.   Setelah beberapa saat, seorang pria memasuki ruangan itu "Ini Dr. Brian Parkhurst." kata Suster Veronique. "Beliau adalah kepala bimbingan dan penyuluhan kami."   Brian Parkhurst berusia tiga puluhan awal, seorang pria jangkung, semampai dengan garis wajah halus, rambut merah keemasan menempel di kepala, dan bercak-bercak tipis sisa wajah masa kanak-kanak. Ia berpakaian dengan gaya konservatif, jaket sport dari kain tweed warna kelabu gelap, kemeja biru oxford dikancing hingga ke atas, dan sepatu tipis berkilat. la tidak   memakai cincin kawin. "Mereka dari kepolisian," kata Suster Veronique.   "Nama saya Detektif Yuta," ujar Yuta "Ini rekan saya Detektif Lee."   Mereka berjabat tangan "Ada yang bisa saya bantu?" tanya Parkhurst.   "Anda guru pembimbing di sini?" "Ya," jawab Parkhurst. "Saya juga psikiater sekolah ini." "Anda seorang dokter?   "Ya."   Yuta menunjukkan foto Polaroid itu. "Ya, Tuhan," ucapnya, dengan wajah berubah pucat pasi. "Anda mengenalnya?" tanya Yuta.   "Ya." jawab Parkhurst. "Ini Tessa Wells." "Kami perlu menghubungi keluarganya." ujar Yuta.   "Tentu saja." Suster Veronique menarik napas untuk mene nangkan diri, sebelum berbalik ke komputernya dan menekan beberapa tuts. Dalam sekejap, catatan sekolah Tessa Wells muncul di layar, sekaligus data pribadinya. Suster Veronique memperlakukan layar itu seperti obituari, kemudian menekan satu tuts dan menghidupkan mesin pencetak di pojok ruangan. "Kapan terakhir kali Anda melihatnya?" Yuta bertanya kepada Brian Parkhurst.   Parkhurst terdiam sejenak. "Saya yakin hari Kamis." "Kamis minggu lalu?" "Ya," jawab Parkhurst. "Dia mampir ke kantor untuk men   diskusikan pendaftaran ke college."   "Ada yang bisa Anda ceritakan tentang dirinya, Dr. Parkhurst?" Brian Parkhurst diam sejenak untuk memanggil ingatan. "Ya, dia sangat cerdas. Agak pendiam." "Seorang siswa yang baik?"   "Sangat," jawab Parkhurst. "Rata-ratanya 3,8 kalau saya tidak salah." "Apakah dia ke sekolah pada hari Jumat?" Suster Veronique menekan beberapa tuts. "Tidak." "Jam berapa kelas dimulai? "07.50," jawab Parkhurst
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD