Bab 3

1109 Words
Gadis itu menangis meratapi nasibnya yang malang. Biasanya hari pernikahan akan menjadi hari bahagia untuk pasangan yang akan menikah. Namun tidak dengan Minah. Hari ini hari yang paling tidak ia inginkan selama hidupnya. Bagaimana ia bisa bahagia jika ia akan menikah dengan kakek-kakek tua yang berusia jauh di atas ayahnya? Apalagi pernikahan mereka hanya secara siri karena umur Minah yang baru enam belas tahun termasuk golongan anak di bawah umur. Tapi demi ayahnya ia akan mengorbankan dirinya untuk lelaki tua hidung belang itu. Sebenarnya ayah Minah juga tak rela anaknya menikah dengan Juragan Surya. Lelaki tua hidung belang yang bahkan memiliki banyak istri bagaimana bisa membahagiakan putrinya? Tapi Prapto tak punya daya untuk menentang rentenir di kampung itu. Ia menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajahnya sudah cantik dirias sedemikian rupa, namun air mata masih saja tak mau berhenti membanjiri wajahnya. Untung saja perias menggunakan waterproof make up. Sehingga meskipun terkena air mata, riasan tidak akan berubah. Kalau tidak, mungkin sekarang wajahnya sudah seperti hantu dengan warna make up yang meleleh berantakan. "Nduk, jangan menangis lagi! Nanti make up-nya luntur loh?" pinta seorang laki-laki transgender, si perias yang berbicara dengan gaya kemayu. Mendengar ucapan tukang rias, air mata Minah malah semakin deras tak mau berhenti. "Haduh, mbok kalau dibilangin itu denger, Nduk. Mbak kan udah make up-in susah-susah. Nanti kalau Juragan Surya ndak puas sama hasil tangan saya, bisa-bisa digorok leher Mbak ini, Nduk. Kamu ndak kasihan sama Mbak Jessy," ucap laki-laki melambai itu dengan nada ketakutan. Mendengar kata-kata si tukang rias, Minah kembali ke realitas. Ia tidak boleh membuat orang lain menderita atau kehilangan nyawa hanya karena dirinya. Apalagi bapaknya, ia tak mau terjadi apa-apa pada satu-satunya keluarga yang ia miliki. "Mbak Jessy," panggil Minah pada tukang rias waria itu. "Iya, Kamu butuh apa?" tanya Jessy si tukang rias menghentikan kegiatannya merias. "Bisa panggilkan bapak Minah?" tanya Minah. "Bisa, sebentar ya." Jessy beranjak dari kamar Minah dan keluar memanggil Prapto. Tak lama Jessy sudah kembali bersama dengan Prapto ayah Minah. "Mbak, bisa beri saya waktu lima menit saja untuk berbicara dengan bapak saya?" tawar Minah. "Hah ... ya sudah boleh. Tapi hanya lima menit loh, ya? Tidak lebih." Jessy keluar dan menutup pintu kamar. "Bapak ...." "Minah." Mereka menangis dan saling berpelukan. Sungguh nasib tengah mempermainkan kehidupan mereka berdua. Bagaikan jatuh, masih tertimpa tangga. Luka kehilangan Juminten masih menganga lebar dan berdarah. Kini Prapto harus merelakan anak gadis kesayangannya yang masih sangat belia menjadi korban lelaki tua sebagai balasan hutang. "Nduk, mari kita kabur saja dari desa ini. Kita ke kota atau ke mana pun tidak masalah," ajak Prapto mulai putus asa. Karena sebagai ayah ia benar-benar tak rela anak gadisnya akan menjadi milik seorang tua bangka bau tanah. "Terus kita harus pergi ke mana, Pak?" tanya Minah. "Ndak tahu Nduk. Yang penting kita pergi saja yang jauh. Bapak sudah bicara dengan juragan, memohon untuk menukarmu dengan gubuk kita. Namun, tua bangka licik itu sengaja menaikkan nominal lagi agar rumah kita tak cukup untuk membayar hutang. Jadi tidak ada cara lain agar Kamu bisa terlepas dari jeratnya," ucap Prapto menangis. Sungguh d**a pria paruh baya itu sangat sesak memikirkan nasib putrinya. Jika saja bisa, ia akan menukarnya dengan nyawa. "Baiklah, Pak. Asal selalu bersama Bapak, Minah mau lari ke mana saja," kata Minah memeluk ayahnya lagi. "Ya sudah ikuti rencana Bapak ya, Nduk," ucap Prapto berbisik-bisik karena takut terdengar anak buah Juragan Surya yang sedang berjaga. "Mbak Jessy, kami sudah selesai bicara. Mbak boleh masuk," panggil Minah. "Ayo kita lanjut lagi," ajak Jessy ingin menyelesaikan riasan. "Mbak mau ndak kue ini? Ini Bapak yang bawakan tadi. Oh ya ... kalau abang penjaga di depan mau, Mbak Jessy bisa kasih juga sekalian. Karena eman-eman kalau terbuang, mubazir," ucap Minah ramah. "Hmm ... kelihatannya sih enak. Tapi Mbak harus cepat menyelesaikan riasan Kamu. Mana sempat untuk makan kue?" kata Jessy menolak walau sebenarnya teringin. "Alah ... ini kan sudah hampir siap. Makan kue berapa lama sih, Mbak? Lima menit juga selesai," bujuk Minah dengan niat tersembunyi. "Ya sudah kalau begitu, Mbak bagikan kue ini dulu ya?" Jessy berjalan melenggok membagikan kue pada para penjaga yang kemudian saling berebut. Setelah Jessy kembali masuk ke ruangan rias dan memakan kue, tak sampai satu menit, waria itu sudah tak sadarkan diri. Minah segera mengganti rok batiknya dengan celana jeans miliknya agar leluasa bergerak. Sementara kebayanya tak ia ganti takut akan memakan waktu yang lama. "Maaf ya Mbak Jessy, Minah pergi dulu," pamit Minah pada Jessy yang terkapar di lantai. "Ayo Nduk! Cepat kita pergi dari tempat ini," ajak Prapto. Mereka segera melarikan diri dari tempat itu. Keduanya lari sekuat tenaga, rasa lelah tak mereka hiraukan. Takut jika anak buah Juragan Surya mengejar mereka. "Nduk, kita berpisah di sini ya?" ucap Prapto dengan nada sedih. "Maksud Bapak apa?" tanya Minah kebingungan. "Kita harus berpencar Nduk. Kalau kita tetap pergi bersama akan susah. Bisa-bisa kita akan tertangkap," ucap Prapto menangis. "Bapak akan mencarimu nanti. Kita akan berjumpa lagi, jangan takut. Yakinlah kita akan bertemu lagi. Cepat pergi dari sini! Sebelum juragan menangkap kita." Prapto mengusap air mata bening yang melintas di pipi Minah. "Tapi Pak," protes Minah yang langsung ditanggapi dengan senyuman beserta anggukan kepala ayahnya. Seakan menyiratkan jika anaknya harus segera pergi dan mereka pasti akan bertemu kembali. Ia mengibas-ngibaskan tangan ke arah putrinya, meminta Minah agar segera meninggalkannya. Minah menuruti kata bapaknya. Ia menangis dan terus menangis sambil berlari entah ke mana langkah kaki membawanya. Sesekali ia menoleh ke belakang takut ada yang mengejar. Sepuluh menit kemudian terdengar suara deru mobil yang mendekat. Mobil masih jauh dan Minah belum melihat mobil tersebut. Tapi ia sangat yakin jika mobil itu adalah mobil Juragan Surya. Ia segera berhenti dan bersembunyi di sebuah kebun yang rimbun penuh dengan semak-semak. Deg. Benar, ada mobil jeep yang melintas tak lain adalah mobil Juragan Surya. Juragan Surya memimpin langsung pencarian. Tubuh Minah bergetar hebat karena ketakutan. Sampai sebegitunya kakek tua itu menginginkannya, hingga mengejarnya. Ia membekap mulutnya sendiri takut ketahuan. Setelah suara mobil menjauh ia segera melanjutkan perjalanan melewati sawah-sawah dengan jalan kecil yang sudah pasti tidak akan dapat dilalui motor bahkan mobil. Cukup jauh Minah berlari terseok-seok. Kaki dan celana jeans bagian bawahnya kumal dan kotor terkena lumpur. Riasan pada wajahnya berantakan terkena keringat dan air mata. Rambutnya yang semula disanggul, kini berantakan. Lama ia berjalan jauh, entah ia sampai di kampung mana ia juga tak tahu. Minah bimbang, ia tak tahu harus ke mana dan ke tempat siapa. Rasa lelah dan lapar kini menghampirinya. Hari juga sudah mulai gelap, pertanda malam akan segera datang. Minah meraba saku celananya, teringat dengan uang yang sempat bapaknya berikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD