2. Ditinggalkan Di Malam Pertama

1728 Words
Cukup lama Embun menghabiskan waktunya dengan menangis di kamar mandi. Baskoro, ayah mertuanya memintanya untuk menyusul Putra lantaran ada kerabat jauh yang datang dari luar negeri demi bisa menghadiri acara pernikahan tersebut. Embun melangkah dengan hati berbunga menyusul suaminya, tapi ternyata hanya luka yang dia dapatkan dari percakapan suaminya bersama wanita lain yang berhasil Embun dengar. Saat mendengar pengakuan cinta suaminya untuk perempuan lain, saat mendengar bahwa tak ada satu pun hal dari dirinya yang mampu memikat hati Putra, saat itulah Embun merasa dunianya hancur seketika. "Kenapa harus perempuan itu, kak? Kenapa harus Kak Giska? Dia juga sudah aku anggap seperti kakakku sendiri," Lirih gadis itu, pilu. Embun berdiri di depan cermin. Kristal bening terus berjatuhan di pipinya, tak peduli jika riasannya sampai rusak karena terlalu lama menangis. Embun merasa tak hanya hatinya yang sakit, sekujur tubuhnya juga remuk redam terlebih saat Putra dengan jelas mengatakan tak ada sedikit pun rasa di hati lelaki itu untuknya. Bayangkan saja, hanya dalam hitungan menit setelah janji suci pernikahan diucapkan dan Embun sudah dihadapkan dengan kenyataan pahit seperti ini. Wanita mana yang akan sanggup menahan lara di dadanya mengetahui fakta kalau suaminya mencintai perempuan lain. Tak ada yang lebih menyakitkan dari ini. Puas menikmati kesedihannya seorang diri, Embun pun membasuh wajahnya dan kembali ke pelaminan. Ia harus berakting untuk terlihat bahagia sekali pun fakta yang baru saja dia ketahui sudah menghancurkan hati dan impiannya. Semua sudah terjadi dan akan sangat terlambat jika Embun harus mundur. Untuk saat ini dia tak ingin memikirkan apa pun selain menikmati lakonnya agar tak ada seorang pun yang tahu badai yang baru saja menghantam rumah tangga yang bahkan baru dibentuk. "Embun, Sayang. Dari mana saja kamu? Mertuamu menyuruhmu untuk memanggil suamimu, kenapa malah kamu lama sekali padahal Putra sudah kembali sejak tadi." Bella menghadang Embun dan langsung menyuruhnya berdiri di dekat pria yang baru saja menikahi adik iparnya. "Maaf Kak, tadi perutku agak mulas. Aku benar-benar gugup tadi sampai aku merasa nggak karuan." Embun berdalih. "Ya sudah. Bersiaplah karena sebentar lagi para tamu akan memberikan restu untuk kalian," Kata Bella sebelum kembali ke tempatnya. Sementara itu tatapan Satria terus tertambat pada wajah sang adik. Lelaki itu menaruh curiga karena Embun berada cukup lama di kamar mandi dan kembali dengan wajah sembab seperti itu. Akan tetapi Satria berusaha menahan diri untuk tak banyak bertanya mengingat situasinya sedang tidak mendukung saat ini. Embun meraih tangan para tamu undangan yang berbaris memberikan selamat dan doa restu padanya. Perhatiannya terus tertuju pada tamu undangan yang bergantian menyalaminya, tanpa sedikit pun menatap ke arah Putra. "Kamu dari mana saja?" Bisik Putra tanpa mengalihkan pandangannya. Bibirnya terus membingkai senyum tipis yang terkesan dipaksakan kala menyambut tamu undangan. "Dari kamar kecil, Kak." Embun menjawab dengan setengah berbisik juga. Jika teringat kata-kata yang dilontarkan suaminya di belakang tadi, seperti anak panah beracun yang menghujam jantung Embun. Sakit tak terperi, tapi berkali-kali wanita itu berusaha menguatkan hati untuk tetap tegar. Sesekali Embun memijit tengkuknya, setelah berjam-jam lamanya berdiri menerima tamu Embun merasa letih. Satria mendekati adiknya saat tamu tak lagi seramai tadi. "Minum dulu, Mbun," Ujar sang kakak menyodorkan sebotol minuman dingin. "Terima kasih Kak." Embun menyedot cairan dalam botol itu hingga tersisa setengahnya. "Apa ini?" Satria menatap tajam adiknya, menyentuh pipi Embun yang masih basah dan sembab. "Maksud Kakak apa?" Embun gelagapan. "Jangan bohong sama Kakak. Kakak tahu kamu nggak ahli bohong." Tatapan kakak lelaki Embun itu meredup. "Beneran aku nggak ngerti apa maksud Kakak," Sanggah Embun. "Kamu habis nangis? Apa perlu Kakak perjelas maksud Kakak?" Satria mencecar adiknya, dia tahu ada yang sedang Embun sembunyikan darinya. Embun tersenyum. Ya, senyum yang sejak tadi ia paksakan untuk menyembunyikan luka hatinya. "Wajar aku nangis Kak, aku terharu karena akhirnya impianku bisa menikah dengan Kak Putra pada akhirnya terwujud. Tanya sama Kak Bella, dulu dia juga menangis waktu kalian menikah." Embun mencari alasan agar Satria tak curiga padanya. "Benar hanya karena itu?" Embun mengangguk. "Kenapa Kakak merasa seperti ada yang sedang kamu sembunyikan dari Kakak," Imbuh Satria. Tatapannya terus memindai manik mata Embun, menelisik kejujuran dari ucapan adik satu-satunya itu. Embun tergelak. Sungguh akting yang sempurna. Embun hampir saja menangis jika tak teringat untuk menjaga perasaan kakaknya. Takdir cintanya sungguh menyedihkan, dan Embun mentertawakan kemalangannya. "Memang Kakak cenayang apa yang tahu perasaan orang tanpa orang itu menceritakannya pada Kakak? Ada-ada saja." Embun menggeleng. "Syukurlah. Kakak hanya khawatir." Diusapnya kepala Embun. "Aku baik-baik saja, Kak." Embun memeluk kakaknya, mencoba mengusir kegelisahan dalam diri pria itu sementara dalam hatinya terus terjadi peperangan batin. 'Maafkan aku, kak. Sungguh aku tidak bermaksud untuk membohongimu. Aku hanya tidak ingin kamu kecewa.' Embun membatin. Embun memejamkan matanya menghalau genangan yang sudah terkumpul di pelupuk matanya agar tak jatuh dan menambah kecurigaan Satria. Gadis berusia 20 tahun itu membuka mata dan terkejut bukan main saat melihat perempuan yang dicintai suaminya sedang menaiki anak tangga menuju ke arahnya. "Sayang, mau sampai kapan kamu akan memeluk adikmu seperti itu? Dia sudah menikah sekarang, aku takut suaminya cemburu padamu," Ucap Bella menggoda suaminya dan melirik Putra. Satria reflek melepas pelukannya dan tersenyum lebar menanggapi ucapan sang istri. Keduanya baru menikah lima bulan yang lalu setelah cukup lama menjalin hubungan sejak bangku sekolah menengah atas. "Embun." Yang dipanggil menoleh, Embun gegas memutus pandangannya saat tatapannya tak sengaja bertemu dengan Giska. Ya, Giska. Wanita yang baru ia ketahui statusnya sebagai kekasih dari suaminya. Hanya kamu satu-satunya wanita yang aku harapkan untuk menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Ucapan itu terus terngiang di telinga Embun, seperti kaset rusak yang setiap kali dapat ia dengar setiap saat, setiap dia menatap sepasang kekasih yang selama ini membohonginya dengan menyembunyikan hubungan mereka di belakangnya. "Selamat atas pernikahan kalian. Aku turut bahagia," Tutur Giska seraya memeluk Embun. "Terima kasih, Kak." Embun menepuk pelan punggung perempuan yang juga merupakan sahabat kakaknya itu. Pelukan keduanya pun terlepas, Giska bergantian memberikan ucapan selamat pada Putra. "Selamat atas pernikahanmu. Aku do'akan semoga pernikahan kalian langgeng dan segera mendapatkan momongan." "Terima kasih," Balas Putra. Embun tak melepaskan pandangannya pada sepasang kekasih yang sedang reuni itu. Mereka seperti sedang mengungkapkan salam perpisahan. 'Seharusnya bukan do'a itu yang kamu berikan pada kekasihmu kak. Harusnya kamu mendoakan agar selamanya Kak Putra tidak pernah mencintaiku agar kalian bisa menikah dan hidup bahagia selamanya,' batin Embun. Ingin rasanya Embun memberikan tepuk tangannya pada sepasang aktor yang sedang berakting itu. Baik Putra maupun Giska, keduanya benar-benar mengecoh keluarga dan teman mereka. Berpura-pura tak terjadi sesuatu di antara mereka padahal nyatanya diam-diam keduanya menjalin hubungan di belakang tanpa seorang pun tahu. Embun merasa beruntung sekaligus menyesal di waktu yang bersamaan setelah mengetahui suaminya menjalin hubungan dengan wanita lain. Namun, satu hal yang sangat ia sayangkan. Mengapa Tuhan membongkar kebenaran itu di saat Embun telah resmi menikah dengan Putra. Seandainya saja dia mengetahui hal itu sejak lama, maka pernikahan ini tak mungkin akan terjadi. Embun berjalan dengan Putra yang mengekor di belakangnya memegangi ekor gaunnya yang menjuntai panjang. Setelah seharian berdiri di pelaminan akhirnya acara berakhir sudah, membuatnya lega karena tak harus berpura-pura tersenyum di depan orang. Wajahnya sampai terasa sangat kaku sekarang, dan Embun ingin cepat-cepat istirahat. "Kamu saja duluan yang mandi, aku mau cek ponsel karena pasti ada banyak pesan masuk yang harus aku balas," Kata Putra, sesampainya mereka di kamar hotel. 'Termasuk pesan dari kekasihmu itu kan, kak? Ya, kamu memang harus membalasnya karena aku yakin kamu nggak akan bisa tidur dengan nyenyak sebelum menenangkan hati kekasihmu itu.' Embun mengangguk, ia kesusahan membawa gaunnya dan melepasnya di kamar mandi. "Sia-sia saja perawatan yang aku lakukan. Tahu begini aku nggak akan ambil paket perawatan lengkap sekujur badan kemarin. Lumayan uangnya kan bisa ditabung daripada dibuang percuma," Monolog Embun sambil melucuti helaian kain di tubuhnya dan mempercepat ritual mandinya. Embun yakin saat ini suaminya itu sedang asyik berbalas pesan dengan Giska, kekasihnya. [Aku tidak akan menyentuhnya, percayalah padaku.] Send. Bibir Putra melekuk indah mendapati balasan pesan dari sang kekasih. [Lakukan saja jika kamu berani, maka aku akan benar-benar pergi dari kehidupanmu.] bunyi pesan yang dikirimkan Giska untuknya. [Dan aku nggak nyakin kamu akan sanggup melakukan itu. Jangan tidur terlalu malam, kamu harus kembali ke rumah sakit besok pagi.] [Aku tidak yakin malam ini bisa tidur.] Giska dengan cepat kembali mengetikkan balasan. [Kenapa? Membayangkanku ya? Tenang saja, berapa kali aku bilang kalau aku nggak akan menyentuh bocah manja itu. Percaya sama aku.] [Aku ada di balkon kamar di lantai yang sama dengan kamar yang kamu tempati.] [Tunggu aku. Aku akan ke sana setelah mandi dan memastikan Embun tidur.] Putra gegas mematikan ponselnya saat mendengar pintu kamar mandi berderit. "Aku sudah selesai, Kak. Gantian kamu." "Iya." Putra bangkit dari duduknya. Saat lelaki itu telah sampai di depan pintu kamar mandi, Putra berbalik badan dan berkata, "Jangan menungguku, aku tahu kamu lelah jadi tidurlah lebih dulu," Pesannya pada Embun. Embun menjawab dengan sebuah anggukan dan gegas membanting tubuhnya di atas pembaringan yang membuat kelopak bunga mawar merah yang dihias membentuk hati di atas seprai menjadi berhamburan. "Sungguh membuang uang untuk hal yang sia-sia. Dekorasi kamarnya terlalu cantik padahal tidak akan terjadi sesuatu yang indah di antara aku dan suamiku," Gumam Embun. Tak lama berselang Putra keluar dengan handuk yang melilit di pinggangnya, air yang berjatuhan dari rambutnya yang setengah basah menerpa d**a bidangnya, membuat pria itu terlihat maskulin. Buru-buru Embun memejamkan mata berpura-pura tidur. Dengan ekor matanya yang sedikit terbuka dapat Embun lihat suaminya itu tengah berhias di depan cermin. 'Apa dia juga berdandan saat akan pergi tidur?' Embun membatin. Putra tak hanya mengoles pomede di rambutnya tapi juga menyemprotkan parfum di beberapa titik tubuhnya. Jantung Embun kembali menghentak kencang saat melihat Putra berjalan ke arahnya. Setiap detik terasa lambat berjalan, Embun menantikan apa yang akan dilakukan suaminya itu padanya. Embun masih berpura-pura tidur saat Putra membetulkan letak selimut yang menutup tubuhnya. Lama ia menunggu, tapi apa yang dia bayangkan tak terjadi. Tak ada kecupan di kening atau apa pun pergerakan Putra. Hingga detik berikutnya Embun dipaksa kembali menelan kepahitan saat mendengar suara pintu yang terbuka dan dengan cepat menutup kembali. Gadis itu membuka matanya menyadari suaminya pergi meninggalkannya seorang diri. Jika bukan penghinaan, lalu apa namanya saat seorang suami pergi meninggalkan istri tepat di malam pertama mereka demi menemui wanita lain? Embun meyakini kalau suaminya pasti pergi menemui Giska. Wanita itu bangun perlahan, meremas selimutnya hingga ujung kukunya menembus kulit menyisakan noda merah tapi tak ia hiraukan. Sakit yang dia rasakan di hatinya jauh lebih perih ketimbang hanya tangannya yang tergores kuku. Kejam sekali perbuatan pria itu padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD