1. So Stupid

2155 Words
Entah setan dari neraka mana yang membawa langkah kakiku datang ke sini, ke sebuah hotel berbintang di kawasan Jakarta Pusat. Pikiranku kosong, melakukan semua hanya dengan menuruti kata hati bukan lagi nalar dan logika yang bermain di otakku. Pernah dengar istilah patah hati hingga nyaris bunuh diri? Ya, itu untaian kalimat yang tepat untukku saat ini. Cara bunuh diri versiku adalah dengan datang ke resepsi pernikahannya. Damn! Sekuat itukah nama Alvino terpatri di hatiku? Hingga aku nggak bisa sedikit saja berpikir waras? But I dont care, i love him. Sial! Lagu 'You Are My Everything' milik Glen Fredly yang sedang melantun dari balik tembok ballroom, entah bagaimana bisa terdengar seperti lagu berjudul 'Sedih Tak Berujung' di runguku ini, sama-sama lagu milik Glen Fredly tapi maknanya jelas jauh berbeda. Dan lagu yang sedang berputar versiku lah yang paling cocok untuk menggambarkan suasana hatiku saat ini. Aku bisa menatapnya dari sini, dari pintu ballroom berjarak sekian meter ke tempatnya berdiri saat ini. Laki-laki dengan tinggi di atas rata-rata itu seolah sedang berdiri menanti kedatangan seorang kekasih. Yang jelas bukan menantiku. Seharusnya aku putar haluan dan meninggalkan ballroom, tapi sisi devil di otakku lebih mendominasi daripada sisi angel di hatiku. Ditambah lagi sepertinya semesta berpihak padaku, acara masih belum dimulai karena mempelai perempuannya saja belum terlihat. Whatever lah. Aku berjalan pelan memasuki ballroom lebih dalam, lalu menambah kecepatan langkahku dengan jalan cepat hingga berlari kecil. Hup! Aku sudah sampai tepat di hadapannya, tanpa pikir panjang aku memeluk tubuh atletis yang saat ini terbalut setelan tuxedo warna hitam. Aku bisa merasakan tubuh itu menegang seketika. Dia bukan Alvino yang biasanya, hari ini dia terlihat awesome. Tubuhnya memang nggak terlalu berotot seperti orang yang rajin nge-gym setiap waktu, tapi tetap terlihat pas mengenakan tuxedo dengan dasi kupu-kupu di lehernya. Meski tidak gempal, tapi aku akui perutnya rata bukan karena kurus--ada bulatan-bulatan di tengah perutnya berjumlah enam bulatan, cuma nggak terlalu menonjol--tapi entah kenapa tetap bisa membuat perempuan manapun yang melihatnya jika tanpa sehelai kain menutupi bagian atas tubuhnya, pasti akan menatap ingin melahap tubuh itu dan menggeliat seperti ulat bulu di atas tubuh Alvino. Aku sering melihat tatapan seperti itu setiap kali jalan dengannya, dulu. Dan dia pasti akan selalu dengan senang hati melingkarkan lengannya di leherku, seolah memberi pernyataan kepemilikanku pada perempuan yang menatapnya lapar, tanpa perlu mengatakan sepatah katapun. Ach, tapi itu dulu, ya dulu sekali. "Kak Alvin beneran nikah?" tanyaku masih dalam dekapannya. "Iya, Kakak sudah ijab kabul beberapa hari yang lalu." What the hell!!! Jadi gue lagi meluk laki orang ini sekarang? b**o gue, b**o! Karma tau rasa lo! Maki hati kecilku kepada kebodohan dan kenekatanku hari ini. "Kakak kenapa tega ninggalin aku?" "Kakak nggak pernah ninggalin kamu, kamu yang pergi sendiri dari aku. Lupa kamu? Ah ... sudahlah. Kita memang nggak jodoh. Semoga kamu menemukan seseorang yang lebih baik dari kakak," ujarnya dengan suara tenang masih tetap memelukku. Suaranya yang tenang selalu bisa membuat hatiku hangat dan luluh lantah. Ya Tuhan, hukuman apa yang sedang Engkau kirim padaku? Sebentar lagi aku tidak akan bisa lagi mendengar suaranya yang selalu bisa mendinginkan hati yang sedang terkobar api amarah. "Aku nggak bisa, Kak ..." "Please ..., Kakak percaya kalau kamu ke sini tujuannya bukan untuk merusak acara resepsi ini." Pengin sekali aku mencakar wajahnya, menghancurkan pelaminannya, mengacak-acak meja yang telah tertata rapi dengan hidangan makanan beragam jenis itu. Tapi aku bukan titisan Maleficent, yang mempunyai kekuatan luar biasa untuk menghancurkan apa pun dengan kekuatan sihir jahatnya. Saat ini aku hanya gadis nista yang benar-benar lemah dan tak berdaya. Akhirnya aku memutuskan mundur dan mengikuti saja langkah kaki kakak iparku yang mendekapku ke dalam pelukan hangat seorang kakak perempuan, meski tinggi tubuhnya hanya sebatas bahuku, dia seolah masih bisa mendekapku seutuhnya. Tak lama kakak laki-lakiku memberi pelukan juga, yang selalu bisa memberi ketenangan dan kekuatan bagi tubuhku yang rasanya seperti sedang terkena lumpuh lunglai. Nggak ada suara selama perjalanan pulang ke apartemen Kakak. Kedua suami istri ini memberi ruang bebas untuk aku menangis sepuasnya. Tanpa bertanya sedikitpun, apalagi menghakimi ketololanku beberapa waktu yang lalu. Setibanya di apartemen, aku masuk begitu saja ke dalam kamar tempat biasa aku tidur jika menginap di apartemen ini. Aku sudah tak peduli lagi pada apa pun saat ini. Yang aku pedulikan adalah kehancuran perasaanku, juga hatiku. Keesokan paginya, Alvin sudah ada di apartemen Kakak. Suasana apartemen yang biasanya hangat ini, terasa begitu dingin dan mencekam. Kakak masuk begitu saja ke dalam kamar disusul oleh mbak Kiara, meninggalkan aku berdua dengan Alvin. Tatapan dingin Alvin seolah menjadi pedang paling tajam saat ini, yang siap menghunus mataku kapan saja dia mau. "Apa yang ada di otak kamu, saat tiba-tiba datang di resepsi pernikahanku? Apa kamu mau bunuh aku secara perlahan, karena saking nggak kuatnya nahan malu?" Kami terdiam beberapa menit. "Alasannya karena aku mencintai kamu Kak, that's it." "Listen to me! Kamu boleh cakar aku, tampar aku, bahkan nancepin hak sepatu 13 cm kamu di kening aku juga nggak apa-apa kalau kamu memang marah sama aku. Tapi tidak dengan mempermalukan aku di depan semua orang, di depan keluarga besarku dan istriku. Itu sama aja kayak nyemplungin kepalaku ke kubangan lumpur penghisap!" Alvin munumpukan kedua siku di atas lututnya lalu sesekali menggigit ujung ibu jarinya, menandakan laki-laki ini tengah menahan emosinya agar tidak meradang. "Aku sama sekali nggak bermaksud kayak gitu, Kak." "So, give me a reason, kenapa kamu bisa senekat itu?" "Harus berapa kali aku bilang, i don't know, aku hanya taunya aku cinta kamu dan nggak ada alasan lain." Aku berteriak di depan wajahnya. Detik itu juga tubuhku bergetar hebat karena tangisku pecah. Kedua tangan Alvin kini mencengkeram erat lenganku, akan menyisakan rasa perih di sana karena dia menekankan kekuatan sepenuhnya saat ini. "Aku itu kenal kamu dengan baik. Dari mulai kamu yang suka lari-larian di dalam rumah cuma pakek kaus singlet dan celana dalam, nggak mau berangkat sekolah kalau nggak Kakak kamu yang ngantar, aku lihat bagaimana kamu tumbuh jadi gadis remaja sampai saat ini. Aku tahu kamu itu gadis yang baik, tapi kenapa kamu jadi nekat?" "Aku sakit kak, mengetahui kenyataan bahwa kamu memilih perempuan yang baru kamu kenal daripada aku yang sudah kamu kenal selama belasan tahun. Di mana perasaan kamu waktu memutuskan untuk menikahinya? Adakah tebersit di hati kamu sedikit aja perasaan bersalah sama aku? Jawab Kak!" Bagus, Alvin yang tadi bisa nyerocos itu, tiba-tiba menjadi kehilangan kata-kata kali ini. "Aku minta maaf. Aku udah pernah bilang kan kalau dijodohkan." "Kenapa nggak Kakak tolak?" Alvin terdiam menatapku datar. "Jawab, Kak! Jangan diam aja." "Aku jatuh cinta sama dia," ucapnya dengan suara pelan bahkan nyaris tidak terdengar. Aku serta merta memukuli d**a Alvin dengan sekuat tenaga, hingga kekuatanku sudah habis. Alvin meraih kedua tanganku lalu menggenggamnya. "Maaf. Maafin aku." Hanya kata itu yang terus dia ucapkan. "Kakak itu pernah cinta nggak sih sama aku?" tanyaku dengan suara lemah. Alvin lalu meletakkan telapak tanganku tepat di depan jantungnya. Degupnya tenang, tidak seperti jantungku saat ini yang detaknya saling berkejaran dengan napasku. "Dapat kamu rasakan kan, jantungku nggak berdebar kencang saat bersama kamu. Kamu tau artinya apa?" "Enough, Kak! Go away, now!?" Aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga agar dia segera beranjak dari duduknya di sofa panjang ini. Dia harus pergi dari hadapanku agar tidak menyakiti hatiku semakin dalam lagi. Luka itu sudah menganga sejak dia bilang mau menikah, dan sekarang rasanya luka itu seperti disiram air keras saat mendengar rentetan kalimat yang baru saja dia ucapkan. "I hate you, Alvino ...," "Begitu lebih baik. Kamu banyak berdoa, semoga Kakak kamu nggak membunuhku kalau kami ketemu di kantor." Alvin mengusap puncak kepalaku, kemudian pergi dari hadapanku yang masih terus menangis. Mendengar dentuman pintu apartemen ditutup, Kakak iparku keluar dari kamar, sepertinya ingin memastikan kalau aku baik-baik saja. Dia mendekat dan menawarkan pelukan untukku. "Mbak Kia, tolongin aku ya. Bantu ngomong sama kak Dastan, supaya dia nggak ngapa-ngapain kak Alvin. Aku juga nggak mau hubungan mereka sampai hancur gara-gara aku." "Sshh ..., sudah ya. Mereka itu laki-laki dewasa, punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalah mereka. Sekarang yang mesti kamu pikirkan adalah diri kamu, belajarlah bersikap dewasa, minimal dimulai dengan tidak bertindak sesuka hati atau asal mengikuti kata hati saja. Pikirkan dampak baik dan buruknya jika hendak mengambil suatu tindakan bodoh. Pikirkan perasaan orang-orang yang akan tersakiti karena tindakan bodoh itu." Aku mengangguk masih dalam dekapan kakak iparku yang sudah seperti kakak kandung bagiku. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku bertindak setolol itu. Tanpa memikirkan perasaan orang yang tersakiti karena ulahku, terutama Alvin. Lalu sekarang aku harus bagaimana untuk mengobati rasa sakit di dadaku sendiri? Baiklah, pertama-tama yang harus aku lakukan adalah melepaskan, merelakannya dan berhenti berharap dia akan memenuhi lagi mimpi-mimpi indahku. Apa bisa? Aku nggak yakin aku sanggup. Aku terlalu mencintainya. Bahkan untuk menyadari rasa cinta itu, aku butuh waktu bertahun-tahun, lalu bagaimana dengan melupakannya? Butuh waktu berapa lama? Malam ini, aku harus pulang ke rumah. Seandainya saja besok hari Minggu aku pasti bisa berlama-lama di sini. Ah, aku bahkan mulai lupa hari, menganggap bahwa hari ini adalah hari Sabtu. Sebentar lagi mungkin aku akan menjadi gila karena cinta yang nggak berujung ini. Aku sampai rumah kondisi rumah dalam keadaan sepi. Sepertinya orang tuaku sudah tidur. Bunda memang nggak mencariku dari kemarin, karena aku memberitahukan kalau akan menginap di apartemen Kakak sepulang dari resepsi pernikahan Alvin. Kuhempaskan tubuhku di atas ranjang queen size, namun kubiarkan kamar ini tetap dalam keadaan gelap gulita. Karena hanya dalam gelap aku bisa merasa tenang, nggak terbayang-bayang jejak kenangan yang diukir oleh Alvin. (***) Keesokan paginya rutinitas pagi rumah ini adalah suara televisi dengan volume memekakkan telinga, sedang menayangkan acara religi di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia. Bunda duduk di sofa panjang sambil sesekali menganggukkan kepalanya, seperti sedang memahami apa yang disampaikan oleh penceramah itu-- seorang laki-laki muda yang sudah mampu menjadi ustadz diusianya yang masih terbilang cukup belia itu. "Pagi dear. Gimana pestanya Alvin? Rame pasti ya yang datang?" sapa Bunda saat menyadari aku melintas di belakangnya. "Hm ...," aku hanya menjawab dalam gumaman. Pagi ini aku sudah rapi dengan pakaian pelantikan yang wajib dikenakan oleh seluruh pegawai sipil baru di lingkungan Departemen milik Kementrian yang bergerak di bidang Migas. Kemeja putih lengan panjang berbahan katun dan celana bahan dengan model pensil berwarna beige. Rambut sebahuku aku ikat rapi dan membentuk cepol mungil. Hanya Ayah dan aku yang menikmati sarapan pagi, Bunda biasa setiap Senin dan Kamis menjalankan ibadah puasa sunnah. Sudah rutin beberapa bulan terakhir ini, sejak pulang dari acara tabligh akbar di Masjid Istiqlal seingatku. Acara ceramah sudah selesai dan sekarang sudah berganti acara infotainment. Bunda hendak mengganti saluran tv ke stasiun televisi lainnya, tapi kegiatannya terhenti saat melihat berita yang muncul di tivi. "Pagi ini I news dihebohkan dengan kabar pernikahan seorang desainer muda dan berbakat, yang karyanya sudah melanglang buana ke berbagai peragaan internasional." "Ya, betul sekali. Meski ini merupakan pernikahan kedua bagi Meidina Az Zahra Tanjung--atau yang lebih dikenal dengan nama Meidina Tanjung--tidak mengurangi kemewahan acara yang digelar kemarin malam. "Tapiii ... Ada hot gossip dibalik gelaran acara pernikahan besarnya Meidina Tanjung. Ini dia liputannya." Setelah prakata yang disampaikan oleh dua pembawa acara gosip paling kondang se Indonesia itu, muncul sebuah tayangan di televisi. Awalnya menayangkan siapa tokoh hiburan yang akan acara ini bicarakan dan akan ditayangkan beritanya. Selang beberapa menit, sorotan kamera mengarah ke papan nama sebuah hotel besar di Jakarta--aku merasa tidak asing dengan hotel itu. Tak lama kemudian, menayangkan ruangan tempat pesta pernikahan akan digelar, dan terakhir menayangkan adegan seorang perempuan mengenakan dress warna hitam diatas lutut, berambut lurus sebahu sedang memeluk pria dengan setelan jas rapi di depan sebuah pelaminan. Sepertinya aku mengenali pemilik punggung laki-laki itu. What the hell, perempuan itu kan gue? Rutukku dalam hati saat kamera mengarahkan rekamannya ke arah perempuan berpakaian hitam tadi. Tapi bagaimana bisa aku sampai masuk televisi begitu? Wait, jadi semalam itu aku sudah merusak sweet moment orang terkenal? Ralat, tapi aku tidak merusak apa pun, bahkan aku pergi begitu saja sebelum acaranya sempat dimulai. Apa pun yang terjadi malam itu, aku udah disorot oleh banyak wartawan dari berbagai stasiun televisi dong? Oh, Dear God, please kirimkan padaku pintu ke mana saja milik Doraemon, aku pengin bersembunyi di black hole saja kalau kekacauan yang aku timbulkan ternyata separah ini. Bunda beranjak dari sofa sialan itu, dan menatapku seolah mengatakan 'apa maksudnya berita itu?' dari sorot mata bundarnya yang sangat mengintimidasi itu. Aku segera meneguk s**u uht coklat dan bergegas meninggalkan meja makan sebelum menjadi santapan berbuka puasa Bunda, yang akan membatalkan puasanya karena tak kuasa menahan emosi. Oke, aku memang bisa selamat dari serangan Bunda kali ini, tapi tidak yakin nanti, besok, maupun besoknya lagi. Ya Tuhan, apa nama bencana yang sedang terjadi di hidupku ini? Nggak cukup kah patah hati saja yang aku rasakan? Kenapa harus ada bencana ini lagi ? Mau ditaruh mana mukaku ini? Di p****t kuda liar Sumbawa? Semoga saja rekan-rekan calon pegawai sipil yang baru, tidak ada yang menonton acara gosip pagi ini, apalagi mengenali perempuan dengan dress hitam di dekapan pengantin pria itu. Amin. --- ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD