CHAPTER TIGA : Distraksi Yang menjengkelkan (3)

1582 Words
            Seketika, baik Flora maupun Wenda langsung terbungkam. Entah lantaran sedang menyadari kesalahan yang mereka buat, ataukah sekadar terkejut saja dibentak macam itu oleh seorang Adi Surachman. Seumur-umur juga mereka tak pernah membayangkan, akan mendapat ‘hadiah’ seadil itu dari seorang Adi Surachman yang sehari-hari mereka kenal sebagai orang yang paling sabar serta berpembawaan kalem, gara-gara perdebatan dalam sebuah rapat internal.              “Ini rapat Internal. Yang kita bicarakan di dalam rapat ini adalah semata untuk kepentingan perusahaan. Jadi, bicarakan sewajarnya, dengan kepala dingin,” tambah Adi kemudian.              Ruangan rapat menjadi kian hening saja.              Ferdi yang notabene adalah kepala bagian Marketing, melayangkan pandangan mata ke seluruh peserta rapat. Ia menangkap kesan, akan sia-sia belaka, apabila memaksakan pembicaraan ini dilanjutkan sekarang. Bukannya akan mendapatkan titik temu, bisa jadi hanya akan membuang waktu dan memperuncing keadaan.              “Sudah, begini saja, sebaiknya kita sama-sama mutakhirkan data masing-masing. Setelah itu, saya sama pak Adi akan mendiskusikan secara detail permasalahan ini,” Ferdi mengemukakan pendapatnya, yang segera bersambut anggukan kepala singkat dari Adi.              “Ya, sebaiknya memang begitu,” Adi pun langsung menyepakati usulan yang dikemukakan oleh Ferdi.              Terdengar helaan napas lega dari yang lain saat beriringan meninggalkan ruangan rapat tersebut. Tetapi ada perkecualian. Ya, Flora. Dia masih saja konsisten mempertahankan tatapan bencinya ke arah Wenda. Andai saja tatapan mata Flora itu seumpama silet, bisa jadi sudah koyak-koyak itu wajahnya Wenda.              Wenda, yang sadar sepenuhnya arti dari tatapan Flora itu, memilih tak ambil pusing pada awalnya.  Dia sudah terlalu hafal tabiat Flora. Oleh karenanya, Wenda hanya mengedikkan bahu sekilas, tanpa bermaksud menantang barang sedikitpun dan  dalam kapasitas apapun juga. Murni ingin melupakan apa yang sempat terjadi dalam rapat barusan. Wajar, sebab Wenda merasa tidak mempunyai masalah pribadi dengan Flora, atau siapa pun di departemen Marketing atau departemen yang lainnya.              “Lho, aku kan hanya melakukan bagian dari pekerjaanku. Sederhana, kan? Kenapa harus ditanggapi dengan emosi? Baper?  Duh, please deh! Bisa profesional nggak sih?  Tanya Wenda dalam hati.              Namun bagi Flora, bahasa tubuh Wenda yang demikian itu, sama saja ulah orang yang terang-tengan mengejeknya, mengejek kekahan yang ia derita, di hadapan forum.             Di mata Flora, seolah Wenda berkata kepadanya, “Yeee... kamu kalah lagi!”, yach, mirip-mirip cuitan seorang artis sensasional yang kapan hari memenangkan sejumlah tuntutan kepada mantan suaminya itu lho!             Apabila kamu menjadi Flora, pasti panas hati, lah! Maka, maklumi saja, betapa sekarang tatapan tajamnya tetap terarah pada wajah Wenda yang cenderung menampilkan ekspresi santai. Mungkin kalau tidak ada Adi dan Ferdi di ruangan yang sama, dia sudah menanggapi secuil godaan yang menyapanya, untuk mencakar wajah Wenda, lantas memberikan ‘kenang-kenangan’ di sana, untuk diingat oleh Wenda.              Mata Adi yagn awas, memergoki hal tersebut.              “Wen,” ucap Adi sambil mengirimkan isyarat. Beruntung, otak Wenda cukup high speed. Dia menerima dengan baik isyarat dari Adi.              Jelas, dia sendiri pun tak ingin perdebatan berlarut, dan terbawa lebih jauh lagi hingga ke hubungan personal antara dirinya dengan Flora. Karenanya, Wenda mengambil inisiatif. Ia mendekati Flora yang belum sempat membuat gerakan menghindar darinya dalam tempo sesingkat itu. Bahkan, menggeser tubuh barang satu inchi pun belum!              “Maaf ya Flo, tadi terpaksa aku harus membuka data lama. Soalnya, terus terang saja, dari semua teman di departemen Marketing, kamu tuh yang paling kekeuh minta pelangganmu diistimewakan. Padahal, ujung-ujungnya seperti kita ketahui bersama, ngerepotin, kan? Kami kena tegur terus, Flo. Makanya, sori banget deh, kalau kamu merasa cara penyampaianku tadi, terlalu saklek. Tugas departemen kami kan, memang jagain stabilitas keuangan perusahaan. Nggak ada intensi pribadi, trust me,” kata Wenda sehalus mungkin, menghasilan tarikan napas lega dari Adi yang mencermatinya.              Walau hanya mendengar perkataan Wenda secara samar, Ferdi menganggukkan kepala. Pertanda  dia setuju akan cara Wenda berkomunikasi pada Flora, anggota tim-nya yang gemar membawa-bawa nama Pak Yuda mereka sebagai perisai untuk menutupi kesalahannya, setiap kali merasa terdesak. Ini saatnya bagi seorang Ferdi Reivaldo untuk memberi pengertian kepada anggota timnya yang satu itu.              “Benar Flo, don’t take it personally! Wenda memang berbicara berdasar fakta dan data. Ini perkara kepentingan perusahaan semata, bukan urusan pribadi antar kalian berdua. Oke?” tambah Ferdi yang berada di sebelahnya, setengah berbisik.              Ucapan Ferdi membuat Flora terpaksa menggangguk sekilas, merespons Wenda sekaligus Ferdi, atasannya. Tiada satu kata pun yang terucap lagi dari celah bibir gadis itu. Hanya embusan napasnya saja. Embusan napas yang mirip dengan sebuah cara untuk melepaskan beban.Ya, beban kekesalan yang membuat dadanya terasa sesak.              “Duluan, ya,” kata Flora setelahnya.              Adi dan Ferdi menganggukinya secara berbarengan.              “Mas Adi, Mas Ferdi, aku juga ya, balik duluan ke ruangan kerja,”  kata Wenda pula, yang juga diangguki oleh Ferdi serta Adi.              Wenda berjalan tepat di belakang Wenda, melintasi pintu ruangan rapat diiringi tatapan mata Adi serta Ferdi.             Ferdi masih menggeleng-gelengkan kepala dan berkomentar, “Tadi itu...! Ampun deh!”              Adi memainkan pulpen di tangannya.             “Biasa deh Fer. Wenda sama Flora itu kadang emosian. Dari pihak gue, gue akui bahwa Wenda orangnya memang responsif. Nanti gue set waktu, buat ngomong berdua sama dia. Lusa sore, kita lanjutin bahasan yang tadi,” ungkap Adi pada Ferdi, sewaktu mereka tinggal berdua di dalam ruangan rapat yang sempat memanas akibat perdebatan sengit Flora versus Wenda.              Ferdi tersenyum tipis. “Nggak apa Di, biasalah, itu. Sebagai atasan Flora, gue juga harus mengakui, Flora pun salah. Gue juga bakal ajak Flora ngomong berdua supaya dia memperbaiki sikapnya. Eh, gue duluan, ya. Ada kunjungan ke customer tiga jam mendatang, mau siap-siap, nih,” kata Ferdi kemudian. Sepertinya dia memahami benar posisi Adi yang telah tiga tahun terakhir ini berkarir sebagai analis kredit di perusahaan swasta nasional tempat mereka berkarya itu.              “Sip, sukses, ya!” balas Adi sembari menautkan ibu jari dan telunjuknya, membentuk bulatan,  tanda bahwa dia meng-oke kan perkataan Ferdi.              Ferdi segera berlalu dari ruang rapat, bersamaan dengan getaran telepon seluler Adi yang terasa kembali. Mengingat rapat telah usai, kali ini Adi tak menunda lagi untuk menjawab rasa ingin tahunya. Lagi pula, dia sendiri sudah lelah diganggu terus-terusan oleh getarannya. Namun anehnya, getarannya  justru terhenti begitu cepat.              ‘Apa sih! Sekalinya mau direspons, malah mati aja. Mau ngeledek?’ pikir Adi agak sebal.              Tangan Adi terulur,  merogoh saku kemeja. Tidak pikir panjang, ia memasukkan kombinasi pin untuk melihat siapa yang demikian konsisten mengganggunya semenjak tadi. Telunjuknya bergerak cepat di atas layar ponsel.              Mata Adi menelusuri informasi yang tertera di layar telepon selulernya. Ia melihat, terdapat sekitar delapan panggilan tidak terjawab dari dua nomor berbeda di sana. Persamaannya, kedua sama-sama nomor yang tak dikenalnya, dan jelas tidak ada dalam daftar kontak di perangkat telepon pintarnya itu.              Bukan itu saja. Ada hal lain yang menarik perhatiannya, yaitu pesan teks yang teramat panjang…. Terlampau panjang untuk dijadikan draft blurb novel, malahan.  Barangkali justru cenderung mirip synopsis novel.              “Nak Adi, ini dari Tante Sheila, mamanya Bima. Maaf kalau Tante mengganggu Nak Adi. Tante sudah berusaha menghubungi Nak Adi dari kemarin sebetulnya, tetapi tidak kunjung ada respon. Mungkin Nak Adi dan Bima sudah lama tidak saling ketemu. Padahal, walaupun Tante dan Om hanya beberapa kali ngobrol sama teman-teman Bima, setahu kami kalian sangat akrab. Seingat Tante, Bima itu paling sering cerita soal kalian bertiga. Sayangnya, semenjak kurang lebih tiga tahun lalu, Bima berubah. Dia menjadi lebih tertutup. Mungkin tepatnya, setelah kalian berempat pulang dari berliburan bersama untuk merayakan kelulusan kalian dari bangku kuliah. Bima tidak pernah menceritakan apa yang terjadi. Apakah kalian bertengkar hebat atau bagaimana selepas dari liburan bersama kalian, sehingga dia jarang menyinggung tentang kalia? Kalau Tante tanyakan sambil lalu kabar kalian masng-masing, Bima memperlihatkan keenggan untuk menjawab. Ada kalanya Bima bilang bahwa kalian masing-masing sibuk. Ada yang fokus kerja dan sebagainya. Bima bilang, memang sudah sepantasnya kalian sibuk, melakukan apapun yang tertunda sebelumnya. Setiap mendengar jawaban itu, Tante maklum, sebab kalian berempat termasuk yang terlambat lulus kuliah,” demikian awal pesan yang dibaca Adi.              Baru ‘bagian’ pertama saja, sudah membuat Adi tercenung.              “Tante Sheila..? Kenapa Tante Sheila yang menghubungiku, bukan yang lainnya?” gumam Adi perlahan, menujukannya kepada dirinya sendiri. Pesan teks yang demikian panjang dari tante Sheila, sontak menghadirkan gemuruh di d**a Adi. Sejumlah tanda menyembul begitu saja di pikiran Adi. Tanya yang tentu saja tak ia temukan jawabnya. Dia memerlukan mengambil jeda sejenak, usai membaca sebagian dari pesan tersebut.              Maka berikutnya tak terhindarkan lagi, bayangan ketiga teman akrab Adi hadir bergantian. Mata Adi memejam, tak mampu menepis kenangan masa lalu yang muncul.                                                                                                                                                          *^ Lucy Liestiyo ^*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD