Tepat dua minggu setelahnya dokter Abimanyu menepati janjinya untuk membawaku pergi ke Jakarta, lebih tepatnya untuk menemui makam keluargaku yang ada di sana. Aku bersama dengan dua pria yang dulu pernah bertengkar di danau, siapa lagi kalau bukan dokter Abimanyu dan Ziko. Hmm... sebenarnya ada yang cukup membuatku terheran. Kalau tidak salah Ziko pernah berkata kalau dia pengen ikut ke Jakarta untuk menemui keluarganya juga, sama seperti dokter Abimanyu. Berarti ada kemungkinan sejak aku bernyanyi di depannya dan depan banyak orang itu, dia masih belum balik ke Jakarta? Iya, ada kemungkinan terjadi hal seperti itu. Aku tidak tahu, aku tidak melihat. Bisa saja dia diam-diam memperhatikanku dari kejauhan, atau semacamnya. Tidak bisa ditebak.
Aku tidak tahu perjalanan ke kota Jakarta membutuhkan waktu berapa lama karena aku tidak bisa melihat jam berapa kami berangkat dan jam berapa kiranya kami akan sampai di Jakarta. Aku hanya bisa mengetahui waktu dari sebuah adzan yang berkumandang. Aku hanya bisa mengetetahui itu sudah mau pagi, sudah mau siang, sudah mau sore, atau sudah mau malam. Aku hanya bisa membedakan itu, bukan tepat jamnya berapa.
Terlalu lama di perjalanan, rasanya cukup membosankan meski pada awalnya terasa sangat senang karena sebentar lagi menjenguk mama dan papa yang sudah sampai di surga. Rasa bosan ini dengn beraninya mengundang rasa kantuk dalam diriku. Aku ingin tidur, tapi takut tidak menghargai dua pria itu.
Khooaammm!
Astaga, kelepasan. Aku menguap di depan kedua pria itu. Bagaimana reaksi mereka? Mereka menilaiku seperti apa setelah ini? Astaga, aku lupa. Bagaimana ini?
"Kalau kamu ngantuk, tidur aja Diandra. Perjalanan ke Jakarta masih lama kok. Kamu pasti lelah nunggu." Katanya Ziko, terdengar jelas suaranya yang punya perbedaan yang cukup signifikan dengan dokter Abimanyu.
"Ah, tidak apa. Aku tadi cuman kelepasan aja, gak beneran ngantuk kok," kataku padahal sebenarnya mengantuk sekali. Mungkin kalau aku bertemu dengan bantal, aku akan menyerang mereka dan ikut bersama mereka mengarungi lautan mimpi yang mengasyikkan dibandingkan dipaksa menyadari takdir yang tidak seindah itu, tapi pelajaran yang diberikannya sungguh sangatlah luar biasa.
"Tidak masalah, Diandra. Mungkin Anda bisa tidur saja, beristirahat. Jangan biarkan tenaga Anda terforsir dengan tidak baik. Akan kami bangunkan jika sudah sampai di Jakarta, Anda tenang saja kami tidak akan melakukan apapun pada Anda." Itu suara dokter Abimanyu, suara berat khasnya, dan dengan nada bicaranya yang selalu formal padaku.
"Tidak masalah nih?" Tanyaku.
Entah mereka mengangguk atau tidak di sana, tapi yang akudengar setelahnya adalah, "iya, tidur saja. Istirahat selama perjalanan ke Jakarta."
Oke, baiklah, karena mereka yang menyuruhku, maka aku akan melakukannya. Aku mulai membaringkan badanku di kursi penumpang, kebetulan dokter Abimanyu dan Ziko ada di kursi depan dekat kemudi. Berbantalkan tangan, aku siap mengarungi mimpi indah sebelum bertemu dengan makam mama dan papa dan kemungkinan bisa membuatku bermimpi buruk setelahnya.
***
Entah sudah berapa jam berlalu, Ziko membangunkanku karena katanya kita sudah smapai di Jakarta. Bukan di pemakaman, tapi di rumah Abimanyu karena kita sampainya ketika hampir petang. ternyata sejauh itu jarak yang harus kami habiskan. TApi yang membuatku merasa ragu adalah, apa yang harus aku lakukan di depan keluarganya dokter Abimanyu dan apa penilaian mereka terhadapku? Mereka pasti akan penasaran anaknya membawa seorang perempuan yang tidak dikenal dan cacat? Ya, pasti aku sangatlah berbeda dibandingkan mereka.
"Maaf dokter Abimanyu, apakah saya bisa bertanya?" Tanyaku, takaut-tkut dia merasa risih ditanyakan ini itu olehku.
"Iya, tanya aja." Katanya, cukup membuatku lega. Setidaknya langkah pertama sudah terlewat.
"Begini dokter Abimanyu-"
"Di luar rumah sakit, panggil aku Abi saja, biar terdengar akrab. Mungkin aku juga akan melakukan sama, aku akan panggil kamu dengan nama tanpa embel-embel keformalan." Katanya, tapi kalau tidak salah beberapa jam sebelumnya dia pernah berbicara formal padaku bahkan sebelum sampai di rumahnya, lalu apa yang membuatnya berubah pikiran seperti ini? Aku kan cukup merasa heran.
Tapi ya mau gimana lagi? Aku hanya bisa nurut dan nurut. "Iya, Abi." Cukup canggung memanggilnya dengan hanya sekedar nama, terkesan aku sangat kurang ajar sama dia selama ini. Ya sudah lah, sudah terlanjur juga. Toh dia yang meminta, bukan aku. "Aku mau tanya, kan sekarang kita ada di rumahmu, Abi. Apa aku juga menginap di sini? Terus kapan kita ke pemakaman? Terus satu lagi, kalau kita sudah ke pemakaman, kita langsung pulang, kan? Aku gak enak lama-lama merepotkanmu." Setiap kali mengatakan panghgilan kamu atau memanggilnya dengan nama saja, rasanya begitu.... Ah seketika aku ingin menghajar diriku sendiri. Bisa-bisanya seperti ini akhirnya.
"Kita akan di sini selama semingguan lebih, Diandra. Aku sudah izin di rumah akit dua minggu, jadi sebelum waktu dua minggu habis, kita bisa tetap tinggal di sini. KAmu tenang saja, keluargaku semuanya baik, mreka akan mengurusmu dengan baik. Aku juga akan membawamu ke tempat yang kamu mau. Hitung-hitung aja kalau kamu sedang liburan, daripada seharian di kamar rumah ssakit terus, iya kan?"
Memang iya sih, tawarannya juga bagus, tapi aku tidak enak dengan keluarganya. Selama kurang dari dua minggu di sini, berapa orang yang akan aku repotkan? Berapa biaya yang kubutuhkan dalam setiap harinya. Aku hanya tidak mau mereka rrugi membiayai aku, sedangkan aku tidak bisa memberikan mereka apa-apa. Aku merasa sangat bersalah, titik!
"Aku boleh minta tolong yang lain gak dokter Abi? Kalau bisa setelah ke pemakaman, aku bisa diantar pulang saja. Aku takut merepotkan, aku tidak punya uang untuk ganti rugi biaya hidup di sini. Lagian aku tidak bawa baju ganti. Pasti sangat merepotkan keluargamu. Aku gak enak, apalagi aku sudah memintamu untuk mengantarku ke Jakarta, jauh-jauh gini." Kataku. Aku lebih baik jujur sekarang dibandingkan harus merepotkannya kemudian. Aku tidak tahu bagaimana ekspresinya sekarang, rasanya abu-abu sekali jika memiliki kekurangan seperti ini.
"Tidak apa-apa, Diandra. Aku punya seorang adik yang bisa meminjamkan baju ganti untukmu, dan untungnya aku punya keluarga yang baik yang bisa menerimamu di sini. KAmu tidak perlu berpikiran terlalu kemana-mana, cukup tinggal di sini beberapa hari denganku,, kemudian setelah cuti selesai, kita akan balik ke rumah sakit sama-sama. Lgipula kalau kamu balik ke rumah sakit sendirian, ataupun aku mengantarmu lebih dulu, aku tidak yakin kamu akan aman sampai di sana," ujarnya.
Astaga, benar juga katanya. Ya udah lah, mau gimana lagi? Ini semua berawal dari aku yang mau menjenguk orang tuaku, dan berakhir seperti ini. Maka salahnya berpiusat padaku. Tentu sekali aku akan sangat bersyukur mengenal dokter Abimanyu dan keluarganya, sudah mau menerima kehadiranku di sini dengan tangan terbuka. Aku hanya bisa mengucapkan rasa terima kasih tanpa bisa memberikan suatu barang penghargaan apapun. Aku miskin, sejati.
"Kalau begitu terima kasih, dokter. Aku tidak akan melupakan kebaikan dokter sama aku."
"Ya, sama-sama."
Kurasakan dia merangkul bahuku, mungkin mau masuk ke dalam rumah, katrena dia sempat membisikkan agar aku berhati-hati menaiki undakan tangga. Ya, mungkin undakan tangga menaiki teras rumahnya. Mungkin rumahnya sangat besar. Baru saja masuk ke dalam rumahnya, terasa sekali perbedaan suasananya dengan suasana dunia luar. Sunguh luar biasa terasa beda. Di dalam terasa sejuk sekali.
"Abiiiiii!"
Aku mendengar suara cempreng seorang gadis, mungkin itu adalah adiknya dokter abimanyu.
"Kakak kok lama banget kerja di sana, betah banget. Liana heran deh, Liana pikir kakak udah gak mau lagi ketemu sama Liana. Kan Liana jadi sedih," Terdengar jelas pula kalau gadis itu bersedih, suaranya bergetar. Dan mungkin sekarang mereka berdua sedang berpelukan.
"Iya, maafkan kakak. kakak kan harus kerja, dan memang harus di sana. Lagipula, kamu lebih beruntung dibandingkan kakak. Kamu bisa tinggal dengan mama dan papa, sedangkan aku malah jauh dari kalian. Kalian harusnya bersyikur," ucapan dokter Abimanyu yang seperti ini membuatku setuju dengannya. Jauh dari keluarga itu sangatlah tidak enak, apalagi aku yang tidak bisa bertemu dengan mereka lagi sampai kapanpun, mungkin aku harus meninggal dulu baru bisa bertemu dengan mereka. Saking ngenesnya nasib yang Tuhan takdirkan untukku.
Aku hanya tersenyum saja mendengarkan percakapan dua orang yang sepertinya saling sayang ini. Pantas lah, mereka kan bersaudara. Kemudian tidak lama setelahnya terdengar lagi suara seorang wanita, sepeertinya mama dokter Abimanyu yang memanggil anaknya. Iya, mungkin saja dugaanku yang ini benar.
"Kenapa kamu lama banget pulangnya, nak. Kita semua sudah sangat kangen kamu. Udah beribu kali mama minta kamu buat pulang, tapi kamu selalu nolak. Alasannya kerja dan kerja, seketika mama merasa kalau mama menyesal telah menyekolahkan kedokteran padamu," aku bisa merasakan bagaimana rasa kehilangan mamanya dokter Abimanyu, meski aku bukanlah seorang ibu yang ditinggal anak-anaknya. Tapi setidaknya aku pernah merasakan kehilangan kedua orang tuaku, kehilangan kelurgaku, kehilangan mataku tuk bisa melihat dunia lagi, rasanya aku merasakan telah kehilangan semua yang ada dalam diriku. Kalau aku mau menyerah, pantas.
"Maafkan Abi, ma. Abi gak bermaksud buat mama sedih kayak gini. Abi juga pengen sering pulang, tapi kan gak semudah itu, ma. Abi sudah berkomitmen bekerja menjadi dokter di tempat itu, bukan karena pemngen pisah dari kalian semua."
Aku hanya bisa berdiam diri saja di tempatku, menunggu diriku di perkenalkan oleh dokter Abimanyu. Iya lah, masa hampir dua minggu di sini aku tidak dikenalkan sama sekali olehnya, lalu bagaimana caraku bisa dekat dengan mereka? Bisa berkomunikasi dengan mereka, bisa menjalani setiap detik harinya. Ya, tentu saja dokter Abimanyu harus memperkenalkanku dulu baru aku bisa tinggal nyaman di rumahnya yang terasa hangat oleh kasih sayang keluarganya ini.
"Eh, siapa itu Abi? Diam-diam kamu bawa gandengan pulang ke rumah."Tanya mamanya, aku mendengarnya seperti itu.
"Pacar aku, ma."
Apa?! hey, aku tidak pacaran dengannya, sama sekali.