Sagara menggamit tangan Diajeng di depan mata Anindya tanpa keraguan. Namun, benak Anindya justru teringat kata-kata pria itu bahwa dirinya tak suka disentuh orang asing. Hal itu semakin membuat hati Anindya terasa hancur lebur. Bukankah semua sudah jelas? Bahwa orang asing yang dimaksud hanyalah dirinya. Sementara Diajeng … ah sudahlah!
Anindya terus menatap kepergian pria itu tanpa mengedipkan mata. Setelah mereka melewati lobi dan hendak masuk ke dalam lift, Anindya gegas berlari. Bagaimanapun ia memiliki hak yang sama dengan Diajeng. Ia tak ingin terlihat menyedihkan disana.
Ketika langkahnya hampir lolos ke dalam pintu lift, sebuah kalimat menyadarkan Anindya bahwa dirinya memang tidak berarti apa-apa.
“Kamu tunggu lift selanjutnya.”
Kalimat yang lolos dari bibir Sagara kontan membuat hatinya hancur tak bersisa. Sementara Diajeng, tersenyum dibalik kesedihannya.
Mampus!
Bahkan Anindya melihat gerakan bibir Diajeng yang menyumpahi serapahinya.
Hening. Anindya benar-benar membeku di atas pijakan kakinya. Sementara manik hazel itu beralih pada pria yang kini memandangnya dengan wajah datar. Anindya tak bisa menebak ekspresi apa yang ada di wajah suaminya. Tatapan mereka terkunci cukup lama sebelum pintu lift tertutup sepenuhnya.
Ting!
Anindya kian membeku dengan perasaan yang tak menentu.
‘Aku cemburu, Mas.’
“Mari Nona, silakan.”
Seorang kepala pelayan, pria paruh baya menyadarkan lamunan ketika lift itu terbuka kembali.
“Terima kasih.”
***
Di dalam kamar Diajeng, Sagara membuka jas dan jam tangan dengan gerakan lambat. Sikap teliti dan kehati-hatiannya cukup dominan. Lihat saja bagaimana gerakan itu terlihat tenang namun didominasi dengan aura yang tak menyenangkan.
Sejak mereka tiba di kamar, tak ada sepatah katapun yang terucap dari bibir pria disana. Dan Diajeng cukup tahu, Sagara tak bisa diintervensi dengan sebuah pertanyaan. Alhasil, ia hanya bisa bungkam. Duduk di tepi ranjang seraya memperhatikan betapa mempesona tubuh suaminya. Meski masih berbalut kemeja putih, otot bisep dan dadaa bidangnya tercetak sangat jelas.
“Mas …,” panggil Diajeng yang tak tahan dengan suasana dingin disana.
“Jangan bicara sebelum saya tanya.”
Diajeng menunduk dengan bibir cemberut. Hatinya semakin gondok, bahkan tangannya sudah membentuk tinju. Sungguhan, jika Sagara tidak setampan dan seberpengaruh itu, Diajeng pasti sudah mencari penggantinya. Siapa juga yang ingin menikah dengan robot tak berperasaan seperti putra mahkota itu? Mungkin itu memang sebutan yang cocok untuk Sagara. Sebab, ia akan menjadi generasi selanjutnya untuk memimpin Jayanegara. Semua aset, tanah, dan bahkan perusahan keluarga akan dipercayakan sang kakek agar ia kelola setelah ayahnya.
Sosok cerdas dan kejam Sagara, membuat Argana percaya bahwa tidak ada yang bisa mengintervensi kedudukan Jayanegara. Itu sebabnya, kandidat terkuat untuk pemimpin selanjutnya adalah pria bermata elang tersebut.
Jika Diajeng tidak berpikir bahwa mendapatkan Sagara bisa menjadi sumber kejayaannya, mungkin ia lebih baik menikah dengan adik pria itu, Raden Arshaka Putra Jayanegara. Atau sepupunya, Raden Cakra Bayu Jayanegara. Ketiga pria dari garis keturunan Jayanegara memang memiliki kelebihannya masing-masing. Dibanding Sagara yang berhati dingin, Arshaka lebih friendly dan easy going. Atau Cakra yang pendiam tapi selalu menaruh perhatian.
“Diajeng Sekar Ayu Nararya, apa kamu tahu kesalahanmu?”
Ketika Diajeng mendongak, Sagara sudah berdiri dihadapannya, berkacak pinggang dengan lengan kemeja yang ditarik sampai ke siku.
“Mas,” lirih Diajeng dengan jemari beradu dipangkuannya. Suaranya bahkan dibuat semendayu mungkin. Karena ia tahu, jika Sagara sudah memanggilnya dengan nama lengkap, itu artinya Sagara benar-benar marah.
“Jawab, Diajeng?!”
“I-iya, Mas.”
“Bisakah kamu tidak bertindak ceroboh?”
“…”
“Kamu itu istri saya, tindak tanduk kamu selalu menjadi pusat perhatian. Apalagi kamu berteriak cuma karena perempuan itu. Jangan sampai rendahkan dirimu dihadapan pelayan.”
“Mas, aku cuma ….”
“Saya tidak mau dengar apapun, Diajeng. Kalau kamu masih mau jadi istri saya, silakan perbaiki sikapmu.”
Benar ‘kan? Sagara bukan sosok yang bisa diintervensi dengan apapun. Bahkan mau selembut apapun tutur kata Diajeng, pria itu akan selalu memperlakukannya sama.
“Iya, Mas.”
Sagara yang tidak bisa dibantah, hanya bisa menerima kata ‘iya’.
Detik berlalu hingga keheningan menyelimuti. Diajeng memberanikan diri, meraih jemari yang bercokol di pinggang pria itu perlahan-lahan. Diajeng ingin memanfaatkan waktu selama seminggu ketika mereka tidak bisa bertemu untuk merayu pria itu.
“Mas, aku mau …,” cicit Diajeng dengan sorot mata penuh nafsu. Bahkan wanita itu sengaja menyingkap gaun lalu menyilangkan kaki di hadapan pria tersebut. Memperlihatkan betapa indah paha putihnya bak s**u. Jelas saja, Diajeng selalu merawat diri. Tidak ada yang ia pikirkan di dunia ini selain mempercantik diri dan jalan-jalan keluar kota maupun negeri.
“Silakan goda saya kalau kamu bisa,” tantang Sagara dengan nada dingin namun mendominasi.
***
Setengah jam sudah Anindya menunggu di depan pintu kamar Diajeng. Entahlah kegilaan apa yang ia miliki. Rasa cemburunya tiba-tiba saja menguasai. Alih-alih menyiapkan rahim untuk sang pewaris. Namun, sudah seminggu Anindya sama sekali tak disentuh, bahkan seakan tak berarti.
Anindya mondar mandir di depan kamar itu sambil sesekali menghela nafas lalu memandang jarum jam yang ada di tangan. Waktu hampir menunjukkan tengah malam. Tapi, Anindya merasa enggan beranjak dari tempat itu. Seolah ada gejolak yang tak bisa ditahan. Hanya membayangkan Sagara tengah bercumbuu mesra dengan Diajeng, membuat hati Anindya jadi melemah. Perasaan yang sudah tertanam sejak lama, kini meronta. Anindya juga ingin diperhatikan dengan cara yang sama, yaitu menggenggam tangan suaminya dan mendengar nada lembut dari bibirnya.
Denting waktu terus berbunyi samar-samar. Di lorong itu, hanya ada dirinya yang tengah bolak-balik tak menentu. Jika ada pengawal yang berjaga di beberapa sudut, mereka sama sekali tak diizinkan ikut campur.
“Haruskah aku ketuk?”
Anindya tampak begitu cemas. Bukankah Sagara seharusnya menghabiskan malam dengannya agar bisa segera menuntaskan kewajiban melahirkan seorang pewaris?
Maafkan jika Anindya tampak seperti pelacurr. Selain memang memiliki perasaan terhadap pria itu. Anindya juga memiliki janji yang harus dipenuhi pada Eyang Putri.
Anindya hendak mengetuk pintu tersebut, namun tiba-tiba saja terbuka. Hal pertama yang ia lihat kala itu adalah sosok Sagara berbalut bathrobe dengan rambut basah. Luluh lantak lah sudah perasaannya. Orang bodoh sekalipun tahu apa yang sudah mereka lakukan setelah mendapati kondisi Sagara begitu segar.
“Mas …,” lirih Anindya yang sudah membelah jarak antara mereka. Wanita itu langsung mundur ketika bersitatap dengan mata tajam suaminya.
“Sedang apa kamu disini?”
“A-aku ….”
Saat pintu sedikit terbuka, Anindya tak sengaja memandang ke arah sosok wanita yang sudah tertidur di balik selimut berantakan disana. Denyut jantungnya pun seolah tertatih, merasa sedih melihat sang suami lebih memilih Diajeng untuk menemaninya malam ini.
Tak terdengar ada jawaban, Sagara berlalu tanpa sepatah kata.
Tiba-tiba saja terbesit ide di kepala Anindya. Satu-satunya cara agar ia bisa merebut posisi itu, dengan cara hamil anak Sagara secepatnya. Namun, bagaimana ia bisa hamil jika pria itu enggan menyentuhnya.
“Mas …,” ucap Anindya menahan langkah kaki Sagara yang hendak membuka pintu kamarnya.
Lagi-lagi Sagara tak bersuara. Sedetik, dua detik, tiga detik, bahkan sepuluh detik berlalu Sagara tak menyahuti dan menanti wanita itu berbicara. Namun, entah keberanian darimana, Anindya tiba-tiba saja nekat meraih pergelangan tangan Sagara. Pria itu refleks menarik pergelangan tangan Anindya lalu mengunci ke sisi tembok.
“Apa yang kamu lakukan, Anindya! Bukankah saya sudah bilang jangan sembarangan sentuh saya?!”
Suara itu menggema di sepanjang lorong. Beruntung setiap kamar di desain dengan pengendali kedap suara yang baik. Jadi, mustahil bagi Diajeng mendengar suara pekikan itu.
“A-aku ….”
Tenggorokan Anindya tercekat kala mendapati wajah Sagara yang begitu dekat, menatapnya dengan sorot mata berkilat. Bahkan ia bisa mencium aroma kayu manis yang begitu menenangkan. Jangan tanya segugup apa dirinya, namun Anindya tetap harus menjalankan tugasnya.
“A-aku sedang subur, Mas.”
***